Entah apa yang ada dalam pikiran Aldi saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, untungnya kata-kata tadi hanya ada dalam hati saja. Sebenarnya aku belum bicara pada Aldi setelah memanggilnya tadi. Aku diam dengan masih menatap dia yang sekarang mulai kebingungan."Ada apa?" tanya Aldi lagi seraya mengibaskan tangannya. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis pada dia. Dia yang merasa dipermainkan, langsung memalingkan wajah seraya berdecak kesal. Semakin sore kerjaku semakin tidak fokus. Aku terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kunci lemari yang selalu dia sembunyikan?"Sepertinya kamu kelelahan, Aruna. Dari tadi banyak bengongnya," ujar Aldi seraya membuka tutup botol air mineral. "Iya, Bang. Sepertinya aku masuk angin, tubuh rasanya tidak enak begini.""Makanya, kalau tidur pake baju."Aku langsung menoleh pada dia yang sedang tersenyum seraya mengusap bibirnya yang basah. Kekehan kecil aku berikan sebagai tanggapan canda dari suamiku itu. "Pulang kerja mau ja
"Eh, Bang. Ini ... yang punya kontrakan. Dia ... nagih uang sewa," kataku dengan gugup. Aldi yang tadi hanya diam di ambang pintu, kini dia masuk dan menghampiriku. Aku gelisah, takut jika dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan. "Kamu belum bayar kontrakan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk demi untuk menutupi kebohongan. Aldi mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu denting notifikasi tiba-tiba masuk ke ponselku. Aku tertegun saat melihat rupanya pemberitahuan jika ada uang masuk ke rekeningku. "Sudah masuk, 'kan? Besok kamu bayarkan," ujar Aldi lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena telah membohonginya. Bukan hanya bohong, aku bahkan telah menipu dia dengan berbagai cara. "Ma–makasih, Bang." Aku berucap pelan seraya menatapnya nanar. Dia sudah baik sekali padaku, tapi perbuatanku mendzoliminya. Aku jahat telah memanfaatkan kebaikannya demi seseorang yang ingin menghancurkan dia. Tuhan ... aku benar-benar salah. "Jangan ditekuk lagi, do
"Ya Allah, ya Robb ...." Aku dan Aldi sama-sama kagetnya saat melihat penampakan kaca depan yang sudah pecah berantakan. Tanganku langsung memegang lengan Aldi yang berdiri tak jauh dariku. "Den, ada apa, tad—"Bi Narsih tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Wanita itu menutup mulut dengan wajah yang sama kagetnya denganku. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Aldi seraya berjalan ke arah pintu, lalu keluar dari rumah dan berdiri di teras. Matanya ke sana kemari mencari sekiranya ada orang yang mencurigakan di sini. Saat aku hendak mengikutinya, mataku menangkap benda yang menjadi pemicu pecahnya kaca rumah. Aku berjongkok di samping sofa, memungut batu yang dibungkus kertas putih. [Jangan bermain-main denganku, atau habislah riwayatmu,] bunyi pesan yang tertulis pada kertas tersebut. Cepat-cepat aku melipat kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku piyama yang aku kenakan. Untung saja, Bi Narsih mengikuti Aldi ke luar. Jadi, dia tidak tahu
"Bang."Aldi tidak memberikan jawaban atas panggilanku. "Bang Aldi," panggilku lagi seraya menggoyahkan tubuhnya. Akan tetapi, suamiku tidak merasa terganggu. Dia tidur, dia terlelap sangat nyenyak setelah satu jam yang lalu pertempuran kami selesai. Tadi setelah selesai, aku tidak langsung beranjak dan mencari kunci lemari. Aku sengaja menemani Aldi tidur hingga dia benar-benar terlelap. Tentu saja cara ini agar bisa membuatku leluasa mencari barang yang aku inginkan. Setelah memastikan Aldi tidur pulas, aku pun beringsut turun dari ranjang. Kukenakan semua pakaian, lalu mulai beraksi mencari kunci lemari Aldi. "Tas. Tadi, dia mengatakan di dalam tas. Tas yang mana?" kataku bicara sendirian. Aku mengambil tas kerja milik suamiku. Menggeledah isinya untuk bisa menemukan kunci lemari itu. Namun, sayangnya tidak ada. Isinya hanya kertas-kertas yang berhubungan dengan pekerjaan."Tas mana, sih?" kataku lagi menyisir seluruh ruangan untuk mencari barang yang kumaksud. Pandanganku la
"Dapur, Bang," kataku dengan kedua mata yang terpejam. Beberapa saat diam di ambang pintu dengan tidak berani untuk menoleh ke belakang, tapi suara Aldi tidak terdengar lagi. Aku pun memberanikan diri untuk menoleh, dan ... Aldi tidur lagi? Oh, astaga. Apa sebenarnya tadi dia hanya mengigau? Kuembuskan napas kasar membuang sesak yang tadi menumpuk. Kemudian melanjutkan langkah untuk sampai ke samping rumah di mana Damar sudah menunggu. Hati-hati sekali aku berjalan agar tidak mengeluarkan suara. Takutnya, tidur Bi Narsih terganggu dan akan memergokiku. "Dam," panggilku saat keluar dari pintu samping. Pria itu tidak terlihat karena penerangan yang temaram. "Damar." Aku memanggil pria itu lagi dengan setengah berbisik. Aku turun dari teras, menginjakkan kaki telanjangku pada rumput yang terasa dingin di kulit telapak kaki. Saat akan melangkah lagi, tiba-tiba saja rambutku ditarik dari belakang membuatku hampir berteriak karena kaget. Untungnya, Damar membekap mulutku meredam s
Aku terlonjak kaget saat Bi Narsih ada di depan wajahku. Kaki yang baru saja masuk, terpaksa harus berhenti berjalan dengan mengatur detak jantung yang selalu berdebar kencang. "Anu, Bi. Tadi ... seperti ada suara gitu, makanya saya turun buat lihat. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa," ujarku seraya menutupi kegugupan. "Kirain Bibi aja yang mendengar ada suara, ternyata Neng Runa juga dengar?"Aku mengangguk membenarkan perkataan Bi Narsih. Kami pun kembali ke ruang tengah dengan berjalan beriringan hingga akhirnya terpisah di bawah tangga. Aku naik ke lantai dua, sedang asisten rumah tangga itu kembali ke kamarnya di belakang. Malam ini Bi Narsih terpaksa tidur sendiri karena suaminya menginap di rumah Alina bersama Dinata dan Nyonya Marta. Sesampainya di kamar, aku segera naik ke atas ranjang seraya menyusupkan wajah ke dada Aldi. Kulingkarkan tangan ke pinggangnya mencari kenyamanan dalam dekapan yang hangat ini. "Maaf," lirihku nyaris tanpa suara. Betapa jahatnya diriku sebag
"Nipu? Nipu apa?" tanyaku tidak mengerti dengan kata-kata Damar. Aku bingung antara mengejar Aldi atau mendengarkan Damar yang sepertinya sedang marah. Dan yang terjadi sekarang ialah, aku mematung di ambang pintu kamar. "Lo nipu gue, Aruna! Katamu, semua aset Aldi ada di dalam brankas, nyatanya gak ada! Isinya cuma duit dua puluh juta saja!!" teriak Damar sangat marah. "Dua puluh juta saja? Tidak mungkin, Dam." "Kamu gak percaya? Akan aku alihkan pada panggilan video agar kamu bisa melihat isi dari brankas itu!" ujar Damar lagi. Buru-buru aku menutup pintu kamar, lalu masuk ke kamar mandi agar bisa sedikit leluasa membahas masalah brankas bersama Damar. Dan benar saja, saat Damar mengalihkan panggilan, aku bisa melihat brankas yang sudah dirusak itu berisikan uang saja. Tidak ada surat-surat penting seperti kepemilikan usaha, ataupun emas batangan seperti yang ada dalam pikiran Damar. "Damar, itu tidak mungkin. Mana bisa aku percaya padamu yang tukang bohong! Aku tahu, kamu pa
"Ada apa, Mah?" tanya Aldi setelah kami sampai di lantai satu. Tepatnya di teras rumah."Lihat, lihat itu, Aldi!" Nyonya Marta menunjuk kardus di bawah kakinya yang mengeluarkan aroma amis. Aldi yang ingin tahu isi dari kardus tersebut, menghampiri dan membuka tutup dari benda tersebut. "Astaghfirullah!" ujar Aldi kaget. Aku menutup hidung seraya melongok melihat apa gerangan di dalam kardus berisikan ayam mati dengan berlumur darah. Di atasnya ada secarik kertas bertuliskan ancaman yang ditujukan untuk ...?[Adikmu dalam kuasaku.]"Luna.""Alina."Aku dan Aldi menyebutkan nama adik kami masing-masing. Ingatkanku langsung tertuju pada Luna yang saat ini masih bersama Damar. Dan aku sangat yakin, jika pria itulah yang mengirim ayam mati tersebut. "Mama telepon Alina sekarang. Pastikan kalau dia baik-baik saja!" Aldi memberikan perintah pada ibunya. Mereka pun sibuk. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta menghubungi putrinya dan mewanti-wanti Alina agar berhati-hati. Sedangkan aku, h
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan