"Papamu, Al. Dia makan semaunya begitu, kalau kolesterolnya kambuh, gimana?" "Mamamu terlalu khawatir, Al. Sudah, jangan dengarkan dia, sekarang kamu duduk, dan cobain masakan istrimu ini. Gak sangka Papa, kalau ternyata Aruna pintar masak," ujar Dinata membantah ucapan istrinya. Aku yang melihat ayah mertuaku makan dengan lahap, juga makanan di meja makan yang sudah tidak utuh lagi, merasa bangga pada diri sendiri. Kerja kerasku tidak sia-sia. Nyonya Marta mendengkus kesal karena upaya dia untuk mencegah suaminya makan terlalu banyak, tidak diindahkan. Dinata malah semakin kalap dan makan sesuka hatinya. "Abang mau lauk apa?" tanyaku pada Aldi. Piring pria itu masih kosong. Dia masih memindai beberapa menu makanan yang aku masak. Dan semuanya bersantan. Hanya ada satu sayur bening yang masih utuh tidak disentuh Dinata. "Sup saja," jawab Aldi. "Hanya sup? Tidak mau ikan atau rendang seperti yang dimakan Papa?" Aku bertanya kembali. "Nanti aku ngantuk di tempat kerja, Run. Sis
"Aku seneng banget disamerin Kakak ke sini. Emangnya Kak Aldi tidak marah, Kakak ke sini?" Aku berdiri dari dudukku, lalu menghampiri adikku yang tengah berhias di depan cermin. Kuusap pundaknya, kemudian memeluk dia dari belakang. "Kakak datang ke sini secara diam-diam. Makanya, kita cepat pergi sebelum hape Kakak berbunyi.""Sembunyi-sembunyi? Jadi, Kak Aldi tidak tahu Kakak datang ke sini?" Luna kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala seraya melepaskan rengkuhanku. Entah kenapa, rasanya sedikit sendu ketika bertemu dengan Luna. Aku menyadari kelalaianku sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga dia setiap waktu. Jangankan untuk selalu ada di saat dia butuh, menemuinya pun harus dengan sembunyi-sembunyi. "Makanya, lebih baik kita pergi sebelum Damar dan suamiku menyuruh Kakak pulang. Yuk, cepetan kita berangkat," ujarku lagi bersiap pergi. Luna pun berdiri, dia mengambil tas selempang miliknya, dan kita pun keluar dari rumah dengan tidak berisik. Aku tidak mau rencana u
"Tentu saja tidak," jawabku penuh dusta. "Sudah, ah, aku mau pulang. Takutnya, mertuaku sudah di rumah, dan dia pasti akan mencurigaiku.""Oke, tapi ingat satu hal, Aruna. Kamu, musuh Aldi Wiratmadja. Rebut hartanya, buat dia sengsara."Aku mengangguk lemah. Saat akan pulang, Damar menghentikanku. Dia menyuruhku untuk menunggu, sedangkan dia masuk ke kamarnya. "Kak Damar ngapain, Kak?" tanya Luna melirikku. Aku mengedikkan bahu tidak tahu. Beberapa saat kemudian, Damar kembali dengan membawa ... seperti obat. Ah, iya benar. Itu obat. Untuk apa dia memberikan itu padaku, sedangkan aku baik-baik saja. "Ini obat apa?" tanyaku kemudian. "Bukankah kamu menginginkan sentuhan dari Aldi? Ini akan membantumu.""Ini obat—""Yes, tidak usah diperjelas. Larutkan satu tablet obat itu ke dalam minuman suamimu, dan nikmati hasilnya," ujar Damar dengan seringai percaya diri. Aku ikut tersenyum. Tangan ini meraba tablet berwarna putih yang ada di dalam plastik bening. Jika dengan obat ini aku b
"Gimana tadi malam?" "Apanya yang gimana?""Reaksi suamimu lah, apa lagi? Jangan-jangan, pagi ini kamu tidak bisa berjalan karena dia terlalu bersemangat dan tidak ada capeknya. Iya, 'kan?" Aku berdecak. Kepalaku menoleh ke belakang, takutnya orang yang dibicarakan ada di sana. "Gagal, Dam.""Hah, apa? Gagal? Kenapa bisa begitu?" tanya Damar dari sebrang telepon. "Air yang ada larutan obatnya, diminum Dinata."Suara tawa menggema dari sebrang sana. Damar menertawakan kesialanku yang pada akhirnya harus menelan kekecewaan. Pagi-pagi sekali, pria buruk rupa itu sudah menelepon menanyakan tentang Aldi malam tadi. Menyebalkannya lagi, sekarang dia menertawakanku sesuka hatinya. "Tenang, Aruna. Kan masih ada dua lagi. Masih ada waktu, bukan? Tapi ... aku lelah menunggu, Aruna. Aku ingin segera mendapatkan apa yang aku inginkan.""Sabarlah, Dam .... Aku pun sedang berusaha untuk itu," kataku dengan diakhiri desahan panjang. "Secepatnya, Aruna. Aku tunggu kabar darimu secepatnya. Kita
"Aku mau turun di sini aja," kataku lagi seraya bersidekap dada. "Kenapa? Kamu tersinggung dengan kata-kataku?" Aku diam. Aldi pun demikian. Kami tidak saling berbicara dan fokus dengan pemikiran masing-masing. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin turun di sini dan berjalan kaki menuju pabrik. Kata-kataku hanya gertakan saja sebagai tindakan protes karena dia menganggapku wanita matre. Ya, meskipun kenyataannya begitu. Aku menikah dengan Aldi demi materi. "Aku tersinggung dengan kata-kata Abang," ucapku. "Aku tulus mencintai Abang, bukan karena uang.""Masa?" tanya Aldi terdengar menyebalkan. "Kalau aku nikah karena uang, atau karena Abang kaya raya, lalu ngapain aku tetap bekerja? Kenapa tidak pergi belanja dan bersenang-senang saja seperti istri-istri pengusaha yang sering nongkrong sambil arisan?" "Karena kamu tidak aku kasih uang untuk itu. Benar, bukan?" Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Benar juga apa yang dia katakan. Aldi memang tidak memberika
"Gara-gara kamu, hampir saja aku malu di depan karyawanku sendiri. Dan karena perbuatanmu, aku seperti orang bego yang tidak lancar bertutur kata."Aldi marah-marah. Dia meluapkan emosinya padaku setelah orang yang datang ke ruangan tadi, pergi. Dan sekarang aku pun keluar dari tempat persembunyian seraya mendengar omelan suamiku. Tak apa. Aku tidak sakit hati dan marah karena luapan kekesalan dia yang masih di batas wajar. Justru yang terdengar di telinga ialah, syair cinta Aldi yang membuatku lupa diri. Aku mesem-mesem membayangkan kejadian tadi yang nyaris membuatku tidak sadarkan diri. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri, jika tidak, mungkin saat Aldi menciumku tadi, mulut ini sudah berteriak kegirangan. "Aruna, kamu dengar, gak, sih apa yang aku ucapkan?" Aldi berbalik badan melihatku tajam. "Dengar, Abang .... Sudah, ah jangan marah-marah terus, nanti ubanan sebelum waktunya, loh. Yuk, mendingan sekarang kita pergi," kataku seraya menarik tangan Aldi. Pria itu men
"Ini gak salah?" ucapku masih menatap ponsel. "Apanya?" "Eh, ini, Bang. Emh ... lagi baca komentar di Instagram." Aldi mengangguk pelan. Lalu pandangannya kembali fokus pada air jernih yang berwarna biru di depannya. Sedangkan aku, membalas komentar yang diberikan mantan calon istri suamiku, sekaligus sepupunya itu. Naima. Iya, wanita itu yang memberikan komentar, hingga aku tersenyum penuh kemenangan. [Aamiin, Bu Nai. Saya sedang menikmati takdir ini,] ujarku. Setelahnya, dia tidak membalas ataupun memberikan komentar lagi. Mungkin dia sakit hati melihatku tampil mesra di sosial media bersama pria yang dicintainya. Hari semakin sore, dan langit pun mulai menggelap. Aldi mengajakku pulang, karena orang-orang di sekitar kami pun satu per satu meninggalkan tempat ini. "Boleh gandeng?" tanyaku saat kami mulai melangkahkan kaki. "Memangnya kalau aku melarang, kamu akan menurutku? Padahal dari tadi tanganmu sudah memegang lenganku. Alasan saja."Aku mengulum senyum seraya menempe
Maafkan aku, Rindu. Maaf karena telah mengingkari janjiku padamu. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Rasa ingin memiliki seutuhnya suamimu. Kugenggam seprai demi untuk menahan rasa perih di bawah sana. Bibir kugigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara yang mungkin akan membuat suamiku menghentikan aksinya. Aku tidak sanggup mengakhiri ini. Aku begitu terbuai oleh naluri yang membawa diri merasakan indahnya surga dunia. Meskipun sakit menyertai, aku tidak mempedulikannya. "Ah ... Runa ...." Aku membuka mata menatap langit-langit kamar saat Aldi menyebut namaku seraya menjatuhkan diri dengan memelukku. Demi Tuhan aku tidak percaya jika baru saja dia menyebut namaku, bukan Rindu. Benarkah ini? Benarkah aku yang ada dalam bayangannya?Apakah aku hanya berkhayal saja? Rasanya tidak mungkin Aldi mengucapkan namaku di saat alam bawah sadarnya dipengaruhi obat perangsang. Kini Aldi menjatuhkan tubuhnya di sampingku dengan keringat yang masih membanjiri wajah serta tubuhnya. Dia tid