Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / Bab 249 mengunjungi Luna

Share

Bab 249 mengunjungi Luna

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Papamu, Al. Dia makan semaunya begitu, kalau kolesterolnya kambuh, gimana?"

"Mamamu terlalu khawatir, Al. Sudah, jangan dengarkan dia, sekarang kamu duduk, dan cobain masakan istrimu ini. Gak sangka Papa, kalau ternyata Aruna pintar masak," ujar Dinata membantah ucapan istrinya.

Aku yang melihat ayah mertuaku makan dengan lahap, juga makanan di meja makan yang sudah tidak utuh lagi, merasa bangga pada diri sendiri.

Kerja kerasku tidak sia-sia.

Nyonya Marta mendengkus kesal karena upaya dia untuk mencegah suaminya makan terlalu banyak, tidak diindahkan. Dinata malah semakin kalap dan makan sesuka hatinya.

"Abang mau lauk apa?" tanyaku pada Aldi.

Piring pria itu masih kosong. Dia masih memindai beberapa menu makanan yang aku masak. Dan semuanya bersantan. Hanya ada satu sayur bening yang masih utuh tidak disentuh Dinata.

"Sup saja," jawab Aldi.

"Hanya sup? Tidak mau ikan atau rendang seperti yang dimakan Papa?" Aku bertanya kembali.

"Nanti aku ngantuk di tempat kerja, Run. Sis
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewi Lastina
ya udah la naimah udah tutup buku
goodnovel comment avatar
Eka Setiawati
ceritanya ini gmn ya ko sinaima sdh tidak diceritakan lagi kasihan orang baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 250 menginginkan kehamilan

    "Aku seneng banget disamerin Kakak ke sini. Emangnya Kak Aldi tidak marah, Kakak ke sini?" Aku berdiri dari dudukku, lalu menghampiri adikku yang tengah berhias di depan cermin. Kuusap pundaknya, kemudian memeluk dia dari belakang. "Kakak datang ke sini secara diam-diam. Makanya, kita cepat pergi sebelum hape Kakak berbunyi.""Sembunyi-sembunyi? Jadi, Kak Aldi tidak tahu Kakak datang ke sini?" Luna kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala seraya melepaskan rengkuhanku. Entah kenapa, rasanya sedikit sendu ketika bertemu dengan Luna. Aku menyadari kelalaianku sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga dia setiap waktu. Jangankan untuk selalu ada di saat dia butuh, menemuinya pun harus dengan sembunyi-sembunyi. "Makanya, lebih baik kita pergi sebelum Damar dan suamiku menyuruh Kakak pulang. Yuk, cepetan kita berangkat," ujarku lagi bersiap pergi. Luna pun berdiri, dia mengambil tas selempang miliknya, dan kita pun keluar dari rumah dengan tidak berisik. Aku tidak mau rencana u

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 251 salah sasaran

    "Tentu saja tidak," jawabku penuh dusta. "Sudah, ah, aku mau pulang. Takutnya, mertuaku sudah di rumah, dan dia pasti akan mencurigaiku.""Oke, tapi ingat satu hal, Aruna. Kamu, musuh Aldi Wiratmadja. Rebut hartanya, buat dia sengsara."Aku mengangguk lemah. Saat akan pulang, Damar menghentikanku. Dia menyuruhku untuk menunggu, sedangkan dia masuk ke kamarnya. "Kak Damar ngapain, Kak?" tanya Luna melirikku. Aku mengedikkan bahu tidak tahu. Beberapa saat kemudian, Damar kembali dengan membawa ... seperti obat. Ah, iya benar. Itu obat. Untuk apa dia memberikan itu padaku, sedangkan aku baik-baik saja. "Ini obat apa?" tanyaku kemudian. "Bukankah kamu menginginkan sentuhan dari Aldi? Ini akan membantumu.""Ini obat—""Yes, tidak usah diperjelas. Larutkan satu tablet obat itu ke dalam minuman suamimu, dan nikmati hasilnya," ujar Damar dengan seringai percaya diri. Aku ikut tersenyum. Tangan ini meraba tablet berwarna putih yang ada di dalam plastik bening. Jika dengan obat ini aku b

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 252 cinta karena uang

    "Gimana tadi malam?" "Apanya yang gimana?""Reaksi suamimu lah, apa lagi? Jangan-jangan, pagi ini kamu tidak bisa berjalan karena dia terlalu bersemangat dan tidak ada capeknya. Iya, 'kan?" Aku berdecak. Kepalaku menoleh ke belakang, takutnya orang yang dibicarakan ada di sana. "Gagal, Dam.""Hah, apa? Gagal? Kenapa bisa begitu?" tanya Damar dari sebrang telepon. "Air yang ada larutan obatnya, diminum Dinata."Suara tawa menggema dari sebrang sana. Damar menertawakan kesialanku yang pada akhirnya harus menelan kekecewaan. Pagi-pagi sekali, pria buruk rupa itu sudah menelepon menanyakan tentang Aldi malam tadi. Menyebalkannya lagi, sekarang dia menertawakanku sesuka hatinya. "Tenang, Aruna. Kan masih ada dua lagi. Masih ada waktu, bukan? Tapi ... aku lelah menunggu, Aruna. Aku ingin segera mendapatkan apa yang aku inginkan.""Sabarlah, Dam .... Aku pun sedang berusaha untuk itu," kataku dengan diakhiri desahan panjang. "Secepatnya, Aruna. Aku tunggu kabar darimu secepatnya. Kita

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 253 membuka kancing kemeja

    "Aku mau turun di sini aja," kataku lagi seraya bersidekap dada. "Kenapa? Kamu tersinggung dengan kata-kataku?" Aku diam. Aldi pun demikian. Kami tidak saling berbicara dan fokus dengan pemikiran masing-masing. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin turun di sini dan berjalan kaki menuju pabrik. Kata-kataku hanya gertakan saja sebagai tindakan protes karena dia menganggapku wanita matre. Ya, meskipun kenyataannya begitu. Aku menikah dengan Aldi demi materi. "Aku tersinggung dengan kata-kata Abang," ucapku. "Aku tulus mencintai Abang, bukan karena uang.""Masa?" tanya Aldi terdengar menyebalkan. "Kalau aku nikah karena uang, atau karena Abang kaya raya, lalu ngapain aku tetap bekerja? Kenapa tidak pergi belanja dan bersenang-senang saja seperti istri-istri pengusaha yang sering nongkrong sambil arisan?" "Karena kamu tidak aku kasih uang untuk itu. Benar, bukan?" Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Benar juga apa yang dia katakan. Aldi memang tidak memberika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 254 jalan-jalan sore

    "Gara-gara kamu, hampir saja aku malu di depan karyawanku sendiri. Dan karena perbuatanmu, aku seperti orang bego yang tidak lancar bertutur kata."Aldi marah-marah. Dia meluapkan emosinya padaku setelah orang yang datang ke ruangan tadi, pergi. Dan sekarang aku pun keluar dari tempat persembunyian seraya mendengar omelan suamiku. Tak apa. Aku tidak sakit hati dan marah karena luapan kekesalan dia yang masih di batas wajar. Justru yang terdengar di telinga ialah, syair cinta Aldi yang membuatku lupa diri. Aku mesem-mesem membayangkan kejadian tadi yang nyaris membuatku tidak sadarkan diri. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri, jika tidak, mungkin saat Aldi menciumku tadi, mulut ini sudah berteriak kegirangan. "Aruna, kamu dengar, gak, sih apa yang aku ucapkan?" Aldi berbalik badan melihatku tajam. "Dengar, Abang .... Sudah, ah jangan marah-marah terus, nanti ubanan sebelum waktunya, loh. Yuk, mendingan sekarang kita pergi," kataku seraya menarik tangan Aldi. Pria itu men

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 255 menghisap madu cinta

    "Ini gak salah?" ucapku masih menatap ponsel. "Apanya?" "Eh, ini, Bang. Emh ... lagi baca komentar di Instagram." Aldi mengangguk pelan. Lalu pandangannya kembali fokus pada air jernih yang berwarna biru di depannya. Sedangkan aku, membalas komentar yang diberikan mantan calon istri suamiku, sekaligus sepupunya itu. Naima. Iya, wanita itu yang memberikan komentar, hingga aku tersenyum penuh kemenangan. [Aamiin, Bu Nai. Saya sedang menikmati takdir ini,] ujarku. Setelahnya, dia tidak membalas ataupun memberikan komentar lagi. Mungkin dia sakit hati melihatku tampil mesra di sosial media bersama pria yang dicintainya. Hari semakin sore, dan langit pun mulai menggelap. Aldi mengajakku pulang, karena orang-orang di sekitar kami pun satu per satu meninggalkan tempat ini. "Boleh gandeng?" tanyaku saat kami mulai melangkahkan kaki. "Memangnya kalau aku melarang, kamu akan menurutku? Padahal dari tadi tanganmu sudah memegang lenganku. Alasan saja."Aku mengulum senyum seraya menempe

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 256 masih perawan?

    Maafkan aku, Rindu. Maaf karena telah mengingkari janjiku padamu. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Rasa ingin memiliki seutuhnya suamimu. Kugenggam seprai demi untuk menahan rasa perih di bawah sana. Bibir kugigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara yang mungkin akan membuat suamiku menghentikan aksinya. Aku tidak sanggup mengakhiri ini. Aku begitu terbuai oleh naluri yang membawa diri merasakan indahnya surga dunia. Meskipun sakit menyertai, aku tidak mempedulikannya. "Ah ... Runa ...." Aku membuka mata menatap langit-langit kamar saat Aldi menyebut namaku seraya menjatuhkan diri dengan memelukku. Demi Tuhan aku tidak percaya jika baru saja dia menyebut namaku, bukan Rindu. Benarkah ini? Benarkah aku yang ada dalam bayangannya?Apakah aku hanya berkhayal saja? Rasanya tidak mungkin Aldi mengucapkan namaku di saat alam bawah sadarnya dipengaruhi obat perangsang. Kini Aldi menjatuhkan tubuhnya di sampingku dengan keringat yang masih membanjiri wajah serta tubuhnya. Dia tid

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 257 harga sebuah keperawanan

    Pertanyaan apa itu? Aku bergeming seraya menatap matanya yang juga melihatku lekat. Sumpah, aku tidak mengerti dengan pertanyaan Aldi yang sama sekali tidak ada dalam pikiranku. Masih perawan? Untuk apa pertanyaan itu dia layangkan padaku? Bukankah dia seorang lelaki yang pernah menikah dan menggauli istrinya? Harusnya dia bisa merasakan dan membedakan mana perawan atau bukan. "Aruna," panggil dia lagi. "Kenapa Abang bertanya seperti itu?" Aku balik bertanya. Dia menyibak selimut hingga jatuh ke lantai. Lalu dia menunjuk seprai dengan ada noda bercak kemerahan di sana. "Aku minta maaf, harusnya ini tidak terjadi. Aku telah merenggut kesucianmu," ujarnya lagi terlihat menyesal. Aku mengembuskan napas kasar. Kukira dia kecewa karena aku tidak memuaskannya. Tapi ternyata, ini soal bercak merah yang mengotori seprai. Juga penyesalan dia yang telah membuatku kehilangan keperawanan. "Abang," kataku seraya mengangkat dagunya menggunakan telunjuk. "Kenapa Abang begitu terlihat sedi

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status