Dua jam telah berlalu, kini aku dan Alina sudah berada di rumah besar Dinata Wiratmadja. Seperti yang sudah direncanakan adik iparku itu, untuk malam ini dia akan menginap di rumah orang tuanya hingga besok suaminya datang menjemput. Suasana rumah yang tadinya sepi pun, berubah rame dengan kehadiran cucu-cucu Dinata Wiratmadja. Mereka disambut hangat oleh kakek dan neneknya, juga selalu mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari kedua mertuaku itu. Melihat kebersamaan Nyonya Marta dan Saffa serta Syafiq, membuat pikiranku berkelana sangat jauh. Mungkinkah, Nyonya Marta dan Dinata Wiratmadja akan menyayangi anakku, jika suatu saat nanti aku dan Aldi memiliki keturunan? Inginnya begitu, tapi ... akan sampai kah kisahku dan Aldi di momen itu? Harus! Aku harus punya anak dari Aldi, dan kami akan hidup bahagia bersama selamanya. Akan aku tutupi mata dan hatinya dari masa lalu, dan kuhapus kenangannya bersama Rindu. "Aruna!" "Eh, apa, Mbak?" jawabku kaget saat Alina memanggil se
"Ya, saya turun sekarang," ujarku dengan bibir bergetar. Kuambil tas selempang yang ada di atas kasur, lalu melangkah keluar melewati Aldi yang masih mematung di tempatnya semula. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga tidak sama sekali bereaksi saat adiknya berteriak dari bawah sana. Mungkinkah menyesal telah mengucapkan kata yang membuatku terluka? Mustahil! Mana mungkin pria sombong seperti dia memiliki rasa sesal. Sengaja kututup pintu sedikit keras agar Aldi siuman dari lamunannya, dan ikut turun bersamaku. Dan berhasil. Suara sepatunya terdengar menyentuh anak tangga di belakangku. "Lama banget," ucap Nyonya Marta saat aku sudah berada di tangga paling bawah. "Maaf, Mah," kataku pelan."Tidak apa-apa, Runa. Mama hanya becanda saja."Aku mengangguk seraya memaksakan tersenyum saat Dinata Wiratmadja merasa tidak enak dengan kata-kata yang diucapkan istrinya padaku. "Yasudah, kita berangkat sekarang." Alina memberi komando, dan semua orang mulai melangkahkan kaki kelua
"Aaahh ...! Rindu, Rindu, Rindu terus!!" Aku berteriak seraya menjambak rambut frustrasi. Kaki kuentakan kasar menginjak rerumputan yang tumbuh tebal di area taman. Tadi, aku izin pulang duluan dari restoran dengan alasan kurang enak badan. Padahal, bukan badan yang tidak enak. Melainkan hati yang sudah tidak tahan lagi mendengar Aldi membahas Rindu.Di sinilah aku berada. Duduk di bangku panjang yang ada di taman kota. Sendirian. Tidak ada rasa takut sama sekali, tidak ada rasa sepi. Yang ada sakit hati karena Aldi terus menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa, sih harus Rindu terus yang dia bahas? Kenapa dia tidak menghargai aku? Aku istrinya, loh. Dan aku masih hidup, belum mati seperti Rindu!!" teriakku lagi mengeluarkan unek-unek. Kepala kutadahkan ke atas, melihat langit yang dihiasi bintang. Mata kupejamkan sejenak, hingga akhirnya kurasakan pergerakkan pada bangku yang kududuki. "Kamu?" kataku setelah tahu siapa yang ada di sampingku. "Kamu butuh ini," ujar pria seraya m
"Tidak semudah itu, Aruna.""Mudah saja jika Abang mau melakukannya," timpalku kembali membungkam mulut Aldi. "Oke, kalau begitu, buat aku lupa pada Rindu. Ajari aku jatuh cinta padamu," ujar Aldi kemudian. "Abang yakin mau melakukannya?" Aldi mengangguk pasti. Segurat senyum langsung terbit dari bibirku saat ini juga. Apakah sekarang aku sedang mimpi? Dia mau melupakan Rindu demi diriku? "Tiga bulan rasa itu tidak tumbuh, kita akhiri semuanya.""Hah?!" Aku berucap kaget. "Aruna, sebenarnya aku sudah menyukaimu. Kamu dengar? Aku sudah menyukaimu, tapi tidak bisa melupakan Rindu. Jadi, jika dalam waktu tiga bulan ke depan aku masih tidak melupakan Rindu, lebih baik kita berpisah. Aku tidak ingin menyakitimu seumur hidup karena hatiku masih terjebak masa lalu."Hati yang sempat berbunga, kini gamang kembali. Sanggupkah aku membuang bayang-bayang Rindu dalam kurun waktu tiga bulan? *Malam semakin larut hingga sekarang waktu sudah hampir tengah malam. Dan aku baru saja tiba di rum
"Sarapan dulu, Di.""Tidak usah, Mah. Aku mau ajak anak-anak sarapan di luar saja, sekalian antar Saffa sekolah.""Oh, yasudah. Kalian hati-hati, ya?" "Iya, Mah. Kami pamit, ya?" ujar Adikara seraya menjabat tangan mertuaku. Alina beserta anak-anaknya keluar dari ruang tengah di mana Mama berada. Aku yang baru saja turun dari lantai dua, hanya melambaikan tangan kepada mereka. Terutama pada anak-anak yang begitu gembira karena dijemput ayahnya. "Mah, Mama hari ini mau dimasakin apa?" tanyaku setelah tidak ada lagi Alina di rumah ini. Rencananya, hari ini aku akan libur kerja. Dan hal ini pun sudah aku sampaikan pada Aldi. Seharian ini aku ingin ada di rumah untuk menghabiskan waktu bersama mama mertua. Ini salah satu strategi agar Aldi jatuh hati. Jika Aldi melihatku dan Mama kompak, mungkin hatinya akan terbuka sedikit demi sedikit. Mengejar cinta suami, lewat ibunya. "Tumben kamu nanya itu? Ada apa?" Mama balik bertanya. Matanya tidak melihat ke arahku. Sepertinya, ponsel pi
"Papamu, Al. Dia makan semaunya begitu, kalau kolesterolnya kambuh, gimana?" "Mamamu terlalu khawatir, Al. Sudah, jangan dengarkan dia, sekarang kamu duduk, dan cobain masakan istrimu ini. Gak sangka Papa, kalau ternyata Aruna pintar masak," ujar Dinata membantah ucapan istrinya. Aku yang melihat ayah mertuaku makan dengan lahap, juga makanan di meja makan yang sudah tidak utuh lagi, merasa bangga pada diri sendiri. Kerja kerasku tidak sia-sia. Nyonya Marta mendengkus kesal karena upaya dia untuk mencegah suaminya makan terlalu banyak, tidak diindahkan. Dinata malah semakin kalap dan makan sesuka hatinya. "Abang mau lauk apa?" tanyaku pada Aldi. Piring pria itu masih kosong. Dia masih memindai beberapa menu makanan yang aku masak. Dan semuanya bersantan. Hanya ada satu sayur bening yang masih utuh tidak disentuh Dinata. "Sup saja," jawab Aldi. "Hanya sup? Tidak mau ikan atau rendang seperti yang dimakan Papa?" Aku bertanya kembali. "Nanti aku ngantuk di tempat kerja, Run. Sis
"Aku seneng banget disamerin Kakak ke sini. Emangnya Kak Aldi tidak marah, Kakak ke sini?" Aku berdiri dari dudukku, lalu menghampiri adikku yang tengah berhias di depan cermin. Kuusap pundaknya, kemudian memeluk dia dari belakang. "Kakak datang ke sini secara diam-diam. Makanya, kita cepat pergi sebelum hape Kakak berbunyi.""Sembunyi-sembunyi? Jadi, Kak Aldi tidak tahu Kakak datang ke sini?" Luna kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala seraya melepaskan rengkuhanku. Entah kenapa, rasanya sedikit sendu ketika bertemu dengan Luna. Aku menyadari kelalaianku sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga dia setiap waktu. Jangankan untuk selalu ada di saat dia butuh, menemuinya pun harus dengan sembunyi-sembunyi. "Makanya, lebih baik kita pergi sebelum Damar dan suamiku menyuruh Kakak pulang. Yuk, cepetan kita berangkat," ujarku lagi bersiap pergi. Luna pun berdiri, dia mengambil tas selempang miliknya, dan kita pun keluar dari rumah dengan tidak berisik. Aku tidak mau rencana u
"Tentu saja tidak," jawabku penuh dusta. "Sudah, ah, aku mau pulang. Takutnya, mertuaku sudah di rumah, dan dia pasti akan mencurigaiku.""Oke, tapi ingat satu hal, Aruna. Kamu, musuh Aldi Wiratmadja. Rebut hartanya, buat dia sengsara."Aku mengangguk lemah. Saat akan pulang, Damar menghentikanku. Dia menyuruhku untuk menunggu, sedangkan dia masuk ke kamarnya. "Kak Damar ngapain, Kak?" tanya Luna melirikku. Aku mengedikkan bahu tidak tahu. Beberapa saat kemudian, Damar kembali dengan membawa ... seperti obat. Ah, iya benar. Itu obat. Untuk apa dia memberikan itu padaku, sedangkan aku baik-baik saja. "Ini obat apa?" tanyaku kemudian. "Bukankah kamu menginginkan sentuhan dari Aldi? Ini akan membantumu.""Ini obat—""Yes, tidak usah diperjelas. Larutkan satu tablet obat itu ke dalam minuman suamimu, dan nikmati hasilnya," ujar Damar dengan seringai percaya diri. Aku ikut tersenyum. Tangan ini meraba tablet berwarna putih yang ada di dalam plastik bening. Jika dengan obat ini aku b
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan