Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / Bab 237 lagi-lagi Cemburu

Share

Bab 237 lagi-lagi Cemburu

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kutinggalkan Aldi yang masih menyebut nama mantan istrinya. Kujatuhkan tubuh di atas pembaringan seraya menatap plafon kamar yang putih tak bernoda.

Inikah yang dinamakan cemburu?

Sesakit ini, dan sangat menyesakkan dada?

Kupejamkan mata menikmati bayangan Aldi yang tadi mengucap satu nama. Rindu, wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Orang yang menjadi alasanku berada di tempat ini sekarang.

"Kenapa sekarang kamu malah menyakitiku, Rindu? Aku di sini untuk membalaskan kematianmu. Tolong, jangan selalu datang dalam ingatan Bang Aldi selama misi ini belum terselesaikan."

Akal sehatku hilang dibakar api cemburu. Aku bergumam seraya memejamkan mata, hingga semakin lama aku tak mampu lagi membukanya.

Entah berapa lama aku tidur, tapi saat mata ini terbuka rasa kantuk masih tersisa. Kukucek indra penglihatanku hingga pemandangan indah begitu sangat menggoda di depan sana.

Aldi, dia berdiri di depan lemari pakaian seraya bertelanjang dada. Sepertinya dia baru saja menyelesaik
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 238 gagal lagi

    "Ingat, utamakan kualitas. Jangan sampai, sepatu kita jebol setelah dipakai satu atau dua kali. Perhatikan jahitan, jangan sampai ada yang lepas dan loncat. Jangan pelit kasih perekat, harus sesuai dengan porsi yang dibutuhkan sepatu.""Baik, Pak!" ucap para karyawan dengan serempak. Aldi kembali berjalan seraya memperhatikan setiap proses pembuatan sepatu miliknya. Aku yang berada di belakang dia, hanya diam seraya mengikuti ke mana pria itu pergi. Juju saja, aku masih sebal soal di restoran tadi. Aku jadi tidak bersemangat kerja dan maunya makan manusia. Kesal luar biasa. "Aduh," kataku saat kaki tersandung keranjang berisikan sepatu setengah jadi. Aldi menoleh ke belakang. Dia menatapku sebentar, lalu menggenggam tanganku. Aku menghindar, menolak untuk dituntun pria itu. "Melek, jangan mempermalukan diri sendiri dengan jatuh di tempat ini," bisik Aldi di telingaku. Pria itu akhirnya berhasil menggenggam tanganku, lalu kembali berjalan tanpa melepaskan genggamannya. Sudah me

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 239 pria di arena ice skating

    "Itu Tante Aruna!" seru Alina ketika aku turun dari mobil. Dua anak dari wanita itu langsung menoleh dan satu di antaranya tersenyum menyambutku. Kubalas senyum manis Saffa dengan rentangan tangan agar dia menghambur ke pelukan. Dan benar saja, gadis berusia delapan tahun itu langsung berlari ke arahku dengan senangnya. "Kok, gak sekolah?" tanyaku seraya mengurangi pelukan. "Papa pergi ke luar kota, Tante. Aku sedih," adunya dengan wajah cemberut. "Papa ke luar kota, kan untuk kerja. Cari uang buat Saffa dan Syafiq. Harusnya, Saffa gak boleh sedih, dan bisa bujuk adiknya yang merajuk.""Hem ... tapi, Papa ke luar kota bukan untuk kerja, Tante.""Bukan untuk kerja?" Aku mengulang kata inti yang membuatku tidak mengerti. Pandangan ini langsung kualihkan pada Alina untuk mendapatkan jawaban dari rasa ingin tahuku. Seolah mengerti dengan arti tatapanku, Alina mengangguk pelan, lalu menceritakan tujuan Aldi pergi ke luar kota. Katanya, suami dari Alina pergi untuk menjenguk keluarga

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 240 gugup

    "Aku takut, Bang.""Jangan takut, kan aku pegangin tangan kamu. Ayo, coba jalan," ujar Aldi mulai menjauh, tapi tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Langkah pertama, berhasil aku lewati meskipun tertatih. Langkah kedua dan langkah-langkah selanjutnya pun berjalan dengan lancar meskipun kadang oleng dan hampir jatuh, tapi ada Aldi yang selalu siaga menjaga keseimbangan tubuhnya untukku. "Kenapa kamu bohong?""Hem?" gumamku seraya melihat Aldi yang menyorotiku tajam. "Katanya tidak enak badan, tapi malah main? Kenapa gak pulang ke rumah dan istirahat?" tanyanya lagi. "Saat di perjalanan pulang, adik Abang nelpon, minta ditemani jalan-jalan karena anaknya rewel. Mana berani aku nolak, Bang."Aldi mengembuskan napas kasar. Kakinya tidak berhenti mundur agar aku bisa terus berjalan. "Terus, kenapa Abang bisa di sini dan tahu aku di sini?" Kini giliran aku yang bertanya. "Alina kirim pesan minta izin untuk bawa kamu pergi. Aku nyusul, karena tadi kamu bilangannya tidak enak ba

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 241 tekanan dari Damar

    "Aku becanda, Luna. Kenapa wajahmu terlihat gugup begitu?" ujar Alina lagi seraya tertawa menepuk pahaku. "Ah, hahaha ... hanya bercanda rupanya." Di dalam hati, aku merutuki Alina yang sudah membuatku hampir kehilangan jantung. Sumpah demi Tuhan, tadi aku kaget luar biasa ketika dia berujar mempertanyakan diriku yang sebenarnya. Kukira Alina curiga atau sudah tahu siapa aku, tapi ternyata dia hanya berguyon saja. Dan menyebalkannya lagi, sekarang Alina tertawa melihat wajahku yang mungkin sudah seperti mayat hidup. Pucat. "Aduh, sampai berair aku ngetawain ekspresi kamu, Run." Alina kembali berucap seraya mengusap sudut matanya. Aku menarik napas panjang seraya tertawa sumbang. Hatiku masih dongkol oleh candaan wanita yang ada di sebelahku ini. "Tadi kamu nanya soal apa?" tanya Alina kemudian. "Emh ... apa, ya? Saya jadi lupa, Mbak.""Aruna, kamu marah sama aku, ya?""Enggak, Mbak. Mana bisa saya marah sama Mbak Alina," ujarku berdusta. Alina kembali terkekeh. Dan Akhirnya,

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 242 sama-sama menyebalkan

    "Oh my God!" ujarku seraya memegang dada. Sumpah demi Tuhan, aku kaget luar biasa hingga tidak mampu berkata-kata. Hanya bisa diam seraya menatap perempuan yang berdiri di depanku itu. "Heh, kok malah bengong? Kamu orang jahat, 'kan?" tuduh wanita itu lagi. "K–kamu siapa?" Aku balik bertanya padanya. Mataku melirik ke sana kemari mencari tahu sekiranya ada orang lain selain kami di sini. Namun, ternyata tidak ada. Hanya dia dan aku di toilet wanita ini. Kembali kutatap wanita setengah baya yang masih menatapku curiga. Aku tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, dan sepertinya dia bukan bagian dari keluarga Dinata Wiratmadja. Akan tetapi, kenapa langsung menuduhku seperti tadi? "Tadi, saya dengar kamu bicara soal misi dan harta. Kamu pasti wanita nakal simpanan om-om, ya? Kamu perempuan gatal yang selalu memoroti uang suami orang! Iya, 'kan? Ih, dasar anak jaman sekarang, gak ada malunya jadi simpanan," cerocos wanita tadi seraya pergi meninggalkan aku yang masih mematung.

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 243 dress motif bunga tulip

    Pelan tapi pasti, aku memundurkan kaki dan bersembunyi di balik pakaian yang menggantung rapi. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh bertemu dengannya, atau riwayatku akan tamat. "Te ...," ucap Syafiq cadel yang kubawa serta dalam persembunyian ini. "Sttt .... Kita main petak umpet sama kakak Saffa, ya? Syafiq diam, nanti ketahuan kakak," ucapku seraya berbisik. Balita yang bersamaku diam beberapa saat, tapi mulai berulah ketika sudah merasa jenuh. Aku pun mencari cara agar Syafiq diam, tidak mengacaukan rencanaku. Aku menuntun anak itu semakin jauh dari ibunya yang tengah mengobrol dengan seorang wanita seumuran Nyonya Marta. Dia adalah Tante Arini, ibunya Rindu. Jika aku di sana, dia pasti akan mengenaliku, dan bertanya kenapa aku bisa bersama keluarga mantan menantunya. Tentu saja, itu akan menjadi bumerang bagiku, hingga kepura-puraanku tidak mengenal Rindu, akan terbuka. Makanya, mau tidak mau, aku harus menghindar. Ini untuk kebaikan bersama. "Tante Runa!"Aku melotot ke a

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 244 wanita penyuka bunga tulip

    Dua jam telah berlalu, kini aku dan Alina sudah berada di rumah besar Dinata Wiratmadja. Seperti yang sudah direncanakan adik iparku itu, untuk malam ini dia akan menginap di rumah orang tuanya hingga besok suaminya datang menjemput. Suasana rumah yang tadinya sepi pun, berubah rame dengan kehadiran cucu-cucu Dinata Wiratmadja. Mereka disambut hangat oleh kakek dan neneknya, juga selalu mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari kedua mertuaku itu. Melihat kebersamaan Nyonya Marta dan Saffa serta Syafiq, membuat pikiranku berkelana sangat jauh. Mungkinkah, Nyonya Marta dan Dinata Wiratmadja akan menyayangi anakku, jika suatu saat nanti aku dan Aldi memiliki keturunan? Inginnya begitu, tapi ... akan sampai kah kisahku dan Aldi di momen itu? Harus! Aku harus punya anak dari Aldi, dan kami akan hidup bahagia bersama selamanya. Akan aku tutupi mata dan hatinya dari masa lalu, dan kuhapus kenangannya bersama Rindu. "Aruna!" "Eh, apa, Mbak?" jawabku kaget saat Alina memanggil se

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 245 Rindu lagi, Rindu lagi

    "Ya, saya turun sekarang," ujarku dengan bibir bergetar. Kuambil tas selempang yang ada di atas kasur, lalu melangkah keluar melewati Aldi yang masih mematung di tempatnya semula. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga tidak sama sekali bereaksi saat adiknya berteriak dari bawah sana. Mungkinkah menyesal telah mengucapkan kata yang membuatku terluka? Mustahil! Mana mungkin pria sombong seperti dia memiliki rasa sesal. Sengaja kututup pintu sedikit keras agar Aldi siuman dari lamunannya, dan ikut turun bersamaku. Dan berhasil. Suara sepatunya terdengar menyentuh anak tangga di belakangku. "Lama banget," ucap Nyonya Marta saat aku sudah berada di tangga paling bawah. "Maaf, Mah," kataku pelan."Tidak apa-apa, Runa. Mama hanya becanda saja."Aku mengangguk seraya memaksakan tersenyum saat Dinata Wiratmadja merasa tidak enak dengan kata-kata yang diucapkan istrinya padaku. "Yasudah, kita berangkat sekarang." Alina memberi komando, dan semua orang mulai melangkahkan kaki kelua

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status