"Jangan dengarkan permintaan Mama. Anggap saja itu hanya mimpi yang berlalu ketika siang datang."Kuhentikan kunyahan, lalu mengangkat kepala melihat pada lawan bicaraku. Aldi tidak menatapku, pandangannya fokus pada makanan yang sisa beberapa suap lagi di atas piring. Aku mendesah. Selera makanku langsung hilang seketika. Sebagai seseorang yang tadi mendapatkan amanah dari Nyonya Marta, tentu saja aku tahu ke mana arah bicara Aldi. Dan itu membuatku keberatan. Membuatnya jatuh cinta adalah pekerjaan yang harus kulakukan. Meluluhkan hatinya, sebuah keinginan. Dan aku memilih mendengarkan isi hati dan pesan mertuaku. Aku akan tetap menjalankan misi. Membuat Aldi jatuh hati. "Permintaan Mama tidak salah, Bang." Aku berucap seraya mengambil segelas air. Kini kening Aldi mengkerut. Dia keberatan aku mengubah panggilannya. "Berani sekali kamu memanggilku dengan sebutan itu?" ujarnya lagi."Salahkah?" Aku bertanya seraya menaikan sebelah alis. "Tidak, hanya tidak cocok saja.""Makan
"Apakah setelah ini ada meeting lagi?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada, meeting hari ini memang hanya dengan orang yang tadi," ujarku kemudian. "Baguslah, aku jadi punya waktu untuk istirahat." Aldi meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu bersandar pada kursi kebesarannya. Lima menit sebelumnya, kami baru saja mengadakan rapat penting dengan salah satu klien yang memasarkan produk sepatu dari pabrik ini ke luar negeri. Cukup menyita waktu, karena pembahasan mengenai ekspor ini sangatlah penting dan banyak sekali yang dibicarakan. Maka, wajar saja jika Aldi terlihat begitu lelah setelah kembali ke ruangannya. Dia memejamkan mata seraya menggoyangkan kursinya seperti bayi yang akan tidur. Aku keluar dari ruangan. Pergi ke dapur yang biasa dipakai para staf untuk membuat kopi, atau makan ketika istirahat. Biasanya hanya karyawan lama dan dibawakan bekal oleh istrinya yang makan di sini. Untuk anak muda, pastinya makan di luar. Terlalu banyak gaya, sih anak-anak baru di sini. Te
"Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima kali tiga, lima belas. Wah, lumayan banyak, nih utang Abang sama aku.""Hah, apa? Utang?" Aku menganggukkan kepala dengan mata tetap fokus pada buku di pangkuan. "Utang apa?" tanya Aldi lagi. "Sini lihat!" Aldi merebut buku di pangkuanku, kemudian keningnya mengkerut membaca deretan catatan yang tertulis di sana. "Kamu mencatat setiap sentuhan dariku?" Aldi bertanya dengan tatapan tajamnya. Aku mengangguk lagi. "Yups, dan karena utang Abang sudah banyak, sekarang waktunya aku menagih. Sini, berikan hakku.""Kamu, tuh beneran setres, ya Run? Dan ini, ini kapan aku nyentuh kamu sampai berderet berkali-kali begini?" tanya Aldi lagi seraya menunjuk tulisan yang aku buat. Aku menggeser tubuh agar posisi dudukku semakin dekat dengan dirinya. Dan itu membuat Aldi menghindar. Semakin aku mendekat, semakin dia menjauhiku dengan melakukan hal yang sama. Menggeser tubuhnya hingga kini berada di ujung sofa. "Gak usah dekat-dekat!" ucapnya tegas. "Kan ja
"Masuk!" Aku sangat terkejut saat mendengar suara teriakan ayah mertua di bawah sana. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar dengan kaki telanjang. Saat hendak turun dari tangga, kulihat dari atas sini Aldi tengah bersitegang dengan Dinata Wiratmadja."Papa bilang masuk, masuk!" teriak Dinata lagi pada suamiku. "Apa salahnya, sih Pah, hanya menjenguk? Ini soal nyawa manusia." Aldi bersikukuh ingin tetap pergi membuatku semakin ingin tahu siapa yang menghubunginya tadi. Satu per satu anak tangga aku lewati untuk sampai di mana mereka berada. Bukan hanya aku yang keluar dari kamar, tapi Nyonya Marta pun sama. Dan sekarang, aku benar-benar sudah berada di ruang tengah yang terasa panas oleh perdebatan antara ayah dan anak. "Apa pun alasannya, Papa tidak mengijinkan kamu pergi, Aldi! Daripada kamu menemui wanita itu dan keluarganya, lebih baik kamu temani istrimu tidur!" Suara Dinata Wiratmadja kembali menggelegar menentang keinginan putranya. Aku yang tidak tahu a
Kutinggalkan Aldi yang masih menyebut nama mantan istrinya. Kujatuhkan tubuh di atas pembaringan seraya menatap plafon kamar yang putih tak bernoda. Inikah yang dinamakan cemburu? Sesakit ini, dan sangat menyesakkan dada? Kupejamkan mata menikmati bayangan Aldi yang tadi mengucap satu nama. Rindu, wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Orang yang menjadi alasanku berada di tempat ini sekarang. "Kenapa sekarang kamu malah menyakitiku, Rindu? Aku di sini untuk membalaskan kematianmu. Tolong, jangan selalu datang dalam ingatan Bang Aldi selama misi ini belum terselesaikan."Akal sehatku hilang dibakar api cemburu. Aku bergumam seraya memejamkan mata, hingga semakin lama aku tak mampu lagi membukanya. Entah berapa lama aku tidur, tapi saat mata ini terbuka rasa kantuk masih tersisa. Kukucek indra penglihatanku hingga pemandangan indah begitu sangat menggoda di depan sana. Aldi, dia berdiri di depan lemari pakaian seraya bertelanjang dada. Sepertinya dia baru saja menyelesaik
"Ingat, utamakan kualitas. Jangan sampai, sepatu kita jebol setelah dipakai satu atau dua kali. Perhatikan jahitan, jangan sampai ada yang lepas dan loncat. Jangan pelit kasih perekat, harus sesuai dengan porsi yang dibutuhkan sepatu.""Baik, Pak!" ucap para karyawan dengan serempak. Aldi kembali berjalan seraya memperhatikan setiap proses pembuatan sepatu miliknya. Aku yang berada di belakang dia, hanya diam seraya mengikuti ke mana pria itu pergi. Juju saja, aku masih sebal soal di restoran tadi. Aku jadi tidak bersemangat kerja dan maunya makan manusia. Kesal luar biasa. "Aduh," kataku saat kaki tersandung keranjang berisikan sepatu setengah jadi. Aldi menoleh ke belakang. Dia menatapku sebentar, lalu menggenggam tanganku. Aku menghindar, menolak untuk dituntun pria itu. "Melek, jangan mempermalukan diri sendiri dengan jatuh di tempat ini," bisik Aldi di telingaku. Pria itu akhirnya berhasil menggenggam tanganku, lalu kembali berjalan tanpa melepaskan genggamannya. Sudah me
"Itu Tante Aruna!" seru Alina ketika aku turun dari mobil. Dua anak dari wanita itu langsung menoleh dan satu di antaranya tersenyum menyambutku. Kubalas senyum manis Saffa dengan rentangan tangan agar dia menghambur ke pelukan. Dan benar saja, gadis berusia delapan tahun itu langsung berlari ke arahku dengan senangnya. "Kok, gak sekolah?" tanyaku seraya mengurangi pelukan. "Papa pergi ke luar kota, Tante. Aku sedih," adunya dengan wajah cemberut. "Papa ke luar kota, kan untuk kerja. Cari uang buat Saffa dan Syafiq. Harusnya, Saffa gak boleh sedih, dan bisa bujuk adiknya yang merajuk.""Hem ... tapi, Papa ke luar kota bukan untuk kerja, Tante.""Bukan untuk kerja?" Aku mengulang kata inti yang membuatku tidak mengerti. Pandangan ini langsung kualihkan pada Alina untuk mendapatkan jawaban dari rasa ingin tahuku. Seolah mengerti dengan arti tatapanku, Alina mengangguk pelan, lalu menceritakan tujuan Aldi pergi ke luar kota. Katanya, suami dari Alina pergi untuk menjenguk keluarga
"Aku takut, Bang.""Jangan takut, kan aku pegangin tangan kamu. Ayo, coba jalan," ujar Aldi mulai menjauh, tapi tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Langkah pertama, berhasil aku lewati meskipun tertatih. Langkah kedua dan langkah-langkah selanjutnya pun berjalan dengan lancar meskipun kadang oleng dan hampir jatuh, tapi ada Aldi yang selalu siaga menjaga keseimbangan tubuhnya untukku. "Kenapa kamu bohong?""Hem?" gumamku seraya melihat Aldi yang menyorotiku tajam. "Katanya tidak enak badan, tapi malah main? Kenapa gak pulang ke rumah dan istirahat?" tanyanya lagi. "Saat di perjalanan pulang, adik Abang nelpon, minta ditemani jalan-jalan karena anaknya rewel. Mana berani aku nolak, Bang."Aldi mengembuskan napas kasar. Kakinya tidak berhenti mundur agar aku bisa terus berjalan. "Terus, kenapa Abang bisa di sini dan tahu aku di sini?" Kini giliran aku yang bertanya. "Alina kirim pesan minta izin untuk bawa kamu pergi. Aku nyusul, karena tadi kamu bilangannya tidak enak ba
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan