"Tante, lepaskan Aruna!" Aldi buru-buru menghampiriku yang dijambak Tante Ratna. Suamiku itu langsung menarik tanganku, menjauhkanku dari jangkauan ibunya Naima. Namun, Tante Ratna tidak tinggal diam. Dia terus berusaha menyerangku meskipun tubuh ini sudah dalam kuasa Aldi. Iya, demi untuk menghindari Tante Ratna yang kesetanan, Aldi sampai memeluk tubuhku dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan satunya terus menghalau serangan Tante Ratna yang membabi buta. "Tante, sudah hentikan! Sudah aku bilang, pernikahanku dengan Aruna bukan karena keinginan kami, ini murni perintah Papa demi menutupi rasa malu keluarga kami!" ujar Aldi berkata tegas. "Omong kosong! Kalian pasti memiliki hubungan di belakang Naima, bukan? Dan demi perempuan murahan ini, kamu tega menjebak Naima di hari pernikahannya! Kalian yang sudah menjebak putriku, membuat dia menjadi tersangka, padahal dia korban! Korban kebiadaban kalian!!" Tante Ratna berteriak kencang hingga urat-urat lehernya menegang. Tanganku
"Tadi kamu bilang sama Tante Ratna, terpaksa putus dari pacarmu karena menjalani pernikahan denganku. Jadi, setelah kamu dikhianati pria itu, kamu dan dia masih bersama?"Aku membulatkan mata seraya mengangguk pelan menyadari ke mana arah bicara Aldi. Rupanya dia mempercayai ucapan bohongku pada Tante Ratna tadi? "Tidak, tadi saya bohong demi untuk mendiamkan dia agar tidak menyalahkan saya terus, Pak," kataku akhirnya. "Oh, kirain kamu beneran masih sama pria itu."Aku menggelengkan kepala. Setelah drama Tante Ratna berakhir, Aldi membawaku pergi dari toko sepatu, lalu melanjutkan perjalanan ke pabrik tempatku pertama kali bertemu dengan Aldi Wiratmadja. Kupandangi bangunan di depan sana yang sudah menjadi jalan menuju posisiku saat ini. Senyumku mengembang ketika banyak sekali karangan bunga di depan pabrik yang bertuliskan doa serta ucapan selamat atas pernikahan aku dan Aldi. "Bunganya bagus," kataku menghampiri salah satu karangan bunga, lalu memotretnya. "Bagus katamu? Ap
"Ya ampun, Pak! Bapak tidak apa-apa?" kataku seraya sibuk mengambil tisu dan mengelap kemejanya yang basah. "Tidak apa-apa matamu buta? Sudah tahu aku hampir kehabisan napas karena batuk, masih nanya tidak apa-apa!" ujar Aldi berdiri. "Maaf, Pak." Aku berkata dengan lesu merasa bersalah. Dengan tidak bicara, Aldi pergi ke toilet yang ada di ruangan ini. Masih kudengar batuk kecil dari Aldi yang diiringi suara air mengalir dari kran. Aku membersihkan meja kerja Aldi yang basah menggunakan tisu, lalu membuang botol air mineral yang sudah kosong. Airnya tumpah saat tadi Aldi batuk begitu hebat. Sungguh kasihan pria itu. Senyum kecil tersungging dari bibirku ketika mengingat saat-saat Aldi yang kesulitan bernapas akibat batuk yang tidak berhenti. Wajahnya memerah, matanya pun mengeluarkan air dengan mulut yang terbuka. "Dia kayak anak kecil kalau sedang seperti tadi," ujarku terkekeh. Sekarang, kekehan itu berubah menjadi tawa. Aku tertawa dan sangat puas menertawakan suamiku itu
Aku dan Aldi terperanjat ketika pintu terbuka tiba-tiba dan sosok wanita berdiri di sana dengan wajah kagetnya. Buru-buru aku menjauhkan diri dari Aldi, lalu merapikannya penampilan yang sedikit berantakan. "Hai, Al. Masuk," ujar Aldi kikuk. "Ah ... maaf, aku tidak tahu jika kalian—""Tidak ada apa-apa dengan Abang dan Aruna, Al. Percayalah, tidak ada yang terjadi," ujar Aldi langsung memotong ucapan Alina. "Yakin?" Alina berjalan menghampiri kami dengan tatapan menyelidik. "Ya, yakin sekali. Tadi, Aruna jatuh karena tersandung.""Seperti dalam drama-drama Korea?" Aldi mengangguk pasti demi untuk menutupi kebohongannya. "Terjadi sesuatu juga tidak apa-apa, Bang. Kalian, kan sah secara agama dan negara. Betul?" ujar Alina lagi. Entahlah apa maksud Alina bicara demikian. Namun, senyum itu tak lepas dari bibirnya, meskipun gerak tubuh wanita itu terlihat berbeda dari ucapannya. Dia seperti tidak suka jika aku mesra dengan kakaknya. Apa mungkin hanya perasaanku? "Emh, tumben dat
"Aw!" jeritku saat tangan ini ditarik paksa oleh seseorang. Aku membuka mata, mencari tahu siapa yang saat ini tengah mendekapku hingga pipi ini berada di dada bidang seorang pria. Senyumku mengembang saat menyadari ternyata aku berada dalam pelukan Aldi. Rasanya nyaman dan hangat hingga enggan bagiku untuk mengakhiri momen ini. Sedangkan pria itu, dia terus memarahi seseorang yang tadi hampir saja membuatku celaka. Aldi menegur supir pengangkut barang yang ceroboh dalam berkendara. "Saya minta maaf, Pak. Tadi, saya tidak melihat kalau ada yang lewat.""Makanya melek! Kalau istri saya ketabrak bagaimana?" Istri? Aldi mengakuiku sebagai istri di depan karyawannya? Aku langsung meraba dada yang kembali berdetak dengan irama bahagia. Saking senangnya, aku nyaris jatuh pingsan kalau saja tidak sadar jika ini berada di luar gedung. "Aruna kamu tidak apa-apa?" Alina menghampiri dan memegang lenganku khawatir. Aldi pun melepaskan dekapannya. Dia memindai tubuhku dari atas hingga baw
"Aku tidak benar-benar menyukai Naima, Pah," ungkap Aldi. "Jadi, kamu menerima perjodohan itu dengan terpaksa?" "Demi baktiku kepada kalian," ujar Aldi lagi menjawab pertanyaan ayahnya. Dinata Wiratmadja mengembuskan napas kasar. Begitu pun denganku. Ada kelegaan yang kurasakan mendengar pengakuan Aldi. Aku jadi tahu perasaan dia pada Naima, yang memang hanya menganggap wanita itu sebagai adik saja. Dengan ini, ada kesempatan bagiku untuk mendapatkan hati Aldi tanpa ada saingan. "Kenapa kamu tidak jujur pada kami kalau tidak memiliki perasaan pada Naima? Kenapa kamu bersandiwara seolah-olah memang mencintainya, Al?" Kini Nyonya Marta yang bertanya."Aku tidak ingin mengecewakan kalian," jawab Aldi. "Melihat Mama, Papa, dan Alina begitu gembira dengan perjodohan itu. Apalagi Tante Ratna dan Naima. Aku tidak mau kalian sedih dengan menolak keinginan semua orang."Hening. Tidak ada yang bicara lagi setelah Aldi menjawab pertanyaan orang tuanya. Sebagai orang baru yang suaranya dia
Kicauan burung terdengar menyebalkan. Dia seperti mentertawakanku yang tengah dilanda kegalauan. Bagaimana tidak, di sini aku duduk menyaksikan suamiku yang tengah bicara mengutarakan kerinduannya di pusara sang mantan istri. Seperti wanita bodoh yang tidak memiliki perasaan, aku duduk di samping Aldi yang terus merangkai kata meluapkan cinta pada batu nisan. Miris. Aku istrinya, tapi dia mengungkapkan kerinduan dengan menyebut nama wanita lain. "Pak, ini sudah sangat sore. Sebentar lagi perang datang," ujarku mengalihkan pandangan Aldi. Pria di sampingku ini menatap langit yang mulai menghitam. Sudut matanya mengkerut seiring dengan mata yang menyipit. "Ah ... rasanya baru sebentar di sini," ucapnya kemudian. Napas kuembuskan kasar, lalu tangan ini mengusap bunga-bunga segar yang belum lama ditaburkan Aldi di atas pusara Rindu. Sebelum menikah dengan Aldi, datang ke sini menjadi kesenanganku. Sering aku menceritakan tentang Aldi pada Rindu, meskipun dia tidak akan mendengar
"Loh, kok gak ada?" kataku seraya celingukan. Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk di atas lutut. Tadinya, aku ingin menggoda Aldi yang pasti akan marah-marah melihat penampilanku. Namun, ternyata pria itu tidak ada di kamar. Dia pun tidak ada di balkon yang gordennya sudah ditutup rapat-rapat. Saat hendak mengambil pakaian di lemari, aku melihat pintu kamar yang terbuka sedikit. Dan aku bisa menebak, jika suamiku itu pergi ke luar. Ke dapur? Entahlah. Nanti akan aku cari tahu. Setelah berpakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar. Rencananya mau minta makan, tapi masa iya, di rumah suami makan aja harus minta? Ngambil sendiri tanpa izin pun tidak akan jadi masalah sepertinya. "Bi, lihat Bang Aldi?" tanyaku pada asisten rumah tangga di rumah ini. "Oh ... tadi dipanggil Nyonya, Neng. Eh, gak apa-apa, ya kalau sekarang Bibi panggilnya Neng Aruna, saja? Biar lebih akrab."Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bi. Terserah Bibi saja." Wanita dengan perawakan sedikit