"Tadi kamu bilang sama Tante Ratna, terpaksa putus dari pacarmu karena menjalani pernikahan denganku. Jadi, setelah kamu dikhianati pria itu, kamu dan dia masih bersama?"Aku membulatkan mata seraya mengangguk pelan menyadari ke mana arah bicara Aldi. Rupanya dia mempercayai ucapan bohongku pada Tante Ratna tadi? "Tidak, tadi saya bohong demi untuk mendiamkan dia agar tidak menyalahkan saya terus, Pak," kataku akhirnya. "Oh, kirain kamu beneran masih sama pria itu."Aku menggelengkan kepala. Setelah drama Tante Ratna berakhir, Aldi membawaku pergi dari toko sepatu, lalu melanjutkan perjalanan ke pabrik tempatku pertama kali bertemu dengan Aldi Wiratmadja. Kupandangi bangunan di depan sana yang sudah menjadi jalan menuju posisiku saat ini. Senyumku mengembang ketika banyak sekali karangan bunga di depan pabrik yang bertuliskan doa serta ucapan selamat atas pernikahan aku dan Aldi. "Bunganya bagus," kataku menghampiri salah satu karangan bunga, lalu memotretnya. "Bagus katamu? Ap
"Ya ampun, Pak! Bapak tidak apa-apa?" kataku seraya sibuk mengambil tisu dan mengelap kemejanya yang basah. "Tidak apa-apa matamu buta? Sudah tahu aku hampir kehabisan napas karena batuk, masih nanya tidak apa-apa!" ujar Aldi berdiri. "Maaf, Pak." Aku berkata dengan lesu merasa bersalah. Dengan tidak bicara, Aldi pergi ke toilet yang ada di ruangan ini. Masih kudengar batuk kecil dari Aldi yang diiringi suara air mengalir dari kran. Aku membersihkan meja kerja Aldi yang basah menggunakan tisu, lalu membuang botol air mineral yang sudah kosong. Airnya tumpah saat tadi Aldi batuk begitu hebat. Sungguh kasihan pria itu. Senyum kecil tersungging dari bibirku ketika mengingat saat-saat Aldi yang kesulitan bernapas akibat batuk yang tidak berhenti. Wajahnya memerah, matanya pun mengeluarkan air dengan mulut yang terbuka. "Dia kayak anak kecil kalau sedang seperti tadi," ujarku terkekeh. Sekarang, kekehan itu berubah menjadi tawa. Aku tertawa dan sangat puas menertawakan suamiku itu
Aku dan Aldi terperanjat ketika pintu terbuka tiba-tiba dan sosok wanita berdiri di sana dengan wajah kagetnya. Buru-buru aku menjauhkan diri dari Aldi, lalu merapikannya penampilan yang sedikit berantakan. "Hai, Al. Masuk," ujar Aldi kikuk. "Ah ... maaf, aku tidak tahu jika kalian—""Tidak ada apa-apa dengan Abang dan Aruna, Al. Percayalah, tidak ada yang terjadi," ujar Aldi langsung memotong ucapan Alina. "Yakin?" Alina berjalan menghampiri kami dengan tatapan menyelidik. "Ya, yakin sekali. Tadi, Aruna jatuh karena tersandung.""Seperti dalam drama-drama Korea?" Aldi mengangguk pasti demi untuk menutupi kebohongannya. "Terjadi sesuatu juga tidak apa-apa, Bang. Kalian, kan sah secara agama dan negara. Betul?" ujar Alina lagi. Entahlah apa maksud Alina bicara demikian. Namun, senyum itu tak lepas dari bibirnya, meskipun gerak tubuh wanita itu terlihat berbeda dari ucapannya. Dia seperti tidak suka jika aku mesra dengan kakaknya. Apa mungkin hanya perasaanku? "Emh, tumben dat
"Aw!" jeritku saat tangan ini ditarik paksa oleh seseorang. Aku membuka mata, mencari tahu siapa yang saat ini tengah mendekapku hingga pipi ini berada di dada bidang seorang pria. Senyumku mengembang saat menyadari ternyata aku berada dalam pelukan Aldi. Rasanya nyaman dan hangat hingga enggan bagiku untuk mengakhiri momen ini. Sedangkan pria itu, dia terus memarahi seseorang yang tadi hampir saja membuatku celaka. Aldi menegur supir pengangkut barang yang ceroboh dalam berkendara. "Saya minta maaf, Pak. Tadi, saya tidak melihat kalau ada yang lewat.""Makanya melek! Kalau istri saya ketabrak bagaimana?" Istri? Aldi mengakuiku sebagai istri di depan karyawannya? Aku langsung meraba dada yang kembali berdetak dengan irama bahagia. Saking senangnya, aku nyaris jatuh pingsan kalau saja tidak sadar jika ini berada di luar gedung. "Aruna kamu tidak apa-apa?" Alina menghampiri dan memegang lenganku khawatir. Aldi pun melepaskan dekapannya. Dia memindai tubuhku dari atas hingga baw
"Aku tidak benar-benar menyukai Naima, Pah," ungkap Aldi. "Jadi, kamu menerima perjodohan itu dengan terpaksa?" "Demi baktiku kepada kalian," ujar Aldi lagi menjawab pertanyaan ayahnya. Dinata Wiratmadja mengembuskan napas kasar. Begitu pun denganku. Ada kelegaan yang kurasakan mendengar pengakuan Aldi. Aku jadi tahu perasaan dia pada Naima, yang memang hanya menganggap wanita itu sebagai adik saja. Dengan ini, ada kesempatan bagiku untuk mendapatkan hati Aldi tanpa ada saingan. "Kenapa kamu tidak jujur pada kami kalau tidak memiliki perasaan pada Naima? Kenapa kamu bersandiwara seolah-olah memang mencintainya, Al?" Kini Nyonya Marta yang bertanya."Aku tidak ingin mengecewakan kalian," jawab Aldi. "Melihat Mama, Papa, dan Alina begitu gembira dengan perjodohan itu. Apalagi Tante Ratna dan Naima. Aku tidak mau kalian sedih dengan menolak keinginan semua orang."Hening. Tidak ada yang bicara lagi setelah Aldi menjawab pertanyaan orang tuanya. Sebagai orang baru yang suaranya dia
Kicauan burung terdengar menyebalkan. Dia seperti mentertawakanku yang tengah dilanda kegalauan. Bagaimana tidak, di sini aku duduk menyaksikan suamiku yang tengah bicara mengutarakan kerinduannya di pusara sang mantan istri. Seperti wanita bodoh yang tidak memiliki perasaan, aku duduk di samping Aldi yang terus merangkai kata meluapkan cinta pada batu nisan. Miris. Aku istrinya, tapi dia mengungkapkan kerinduan dengan menyebut nama wanita lain. "Pak, ini sudah sangat sore. Sebentar lagi perang datang," ujarku mengalihkan pandangan Aldi. Pria di sampingku ini menatap langit yang mulai menghitam. Sudut matanya mengkerut seiring dengan mata yang menyipit. "Ah ... rasanya baru sebentar di sini," ucapnya kemudian. Napas kuembuskan kasar, lalu tangan ini mengusap bunga-bunga segar yang belum lama ditaburkan Aldi di atas pusara Rindu. Sebelum menikah dengan Aldi, datang ke sini menjadi kesenanganku. Sering aku menceritakan tentang Aldi pada Rindu, meskipun dia tidak akan mendengar
"Loh, kok gak ada?" kataku seraya celingukan. Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk di atas lutut. Tadinya, aku ingin menggoda Aldi yang pasti akan marah-marah melihat penampilanku. Namun, ternyata pria itu tidak ada di kamar. Dia pun tidak ada di balkon yang gordennya sudah ditutup rapat-rapat. Saat hendak mengambil pakaian di lemari, aku melihat pintu kamar yang terbuka sedikit. Dan aku bisa menebak, jika suamiku itu pergi ke luar. Ke dapur? Entahlah. Nanti akan aku cari tahu. Setelah berpakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar. Rencananya mau minta makan, tapi masa iya, di rumah suami makan aja harus minta? Ngambil sendiri tanpa izin pun tidak akan jadi masalah sepertinya. "Bi, lihat Bang Aldi?" tanyaku pada asisten rumah tangga di rumah ini. "Oh ... tadi dipanggil Nyonya, Neng. Eh, gak apa-apa, ya kalau sekarang Bibi panggilnya Neng Aruna, saja? Biar lebih akrab."Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bi. Terserah Bibi saja." Wanita dengan perawakan sedikit
"Jangan dengarkan permintaan Mama. Anggap saja itu hanya mimpi yang berlalu ketika siang datang."Kuhentikan kunyahan, lalu mengangkat kepala melihat pada lawan bicaraku. Aldi tidak menatapku, pandangannya fokus pada makanan yang sisa beberapa suap lagi di atas piring. Aku mendesah. Selera makanku langsung hilang seketika. Sebagai seseorang yang tadi mendapatkan amanah dari Nyonya Marta, tentu saja aku tahu ke mana arah bicara Aldi. Dan itu membuatku keberatan. Membuatnya jatuh cinta adalah pekerjaan yang harus kulakukan. Meluluhkan hatinya, sebuah keinginan. Dan aku memilih mendengarkan isi hati dan pesan mertuaku. Aku akan tetap menjalankan misi. Membuat Aldi jatuh hati. "Permintaan Mama tidak salah, Bang." Aku berucap seraya mengambil segelas air. Kini kening Aldi mengkerut. Dia keberatan aku mengubah panggilannya. "Berani sekali kamu memanggilku dengan sebutan itu?" ujarnya lagi."Salahkah?" Aku bertanya seraya menaikan sebelah alis. "Tidak, hanya tidak cocok saja.""Makan
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan