MDM 58"Bakar! Bakar saja rumah perempuan ini!" seru seseorang dari kerumunan paling belakang. "Ba ... kar, ba ... kar, bakar!" sorak mereka semakin melangitkan suaranya. Masih dalam keadaan tubuh terikat di kursi, Widia sudah pasrah bahkan jika mereka akan menghakiminya sampai mati pun ia sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa menyelamatkan diri. Di depan mata kepala si pemilik rumah. Tempat tinggalnya benar-benar disembur minyak dari derigen yang sebelumnya berjejer di depan rumah terpencil itu. Perlahan, si jago merah yang berasal dari satu batang korek itu membesar saat dilempar pada tiang dan dinding rumah yang telah dibasahi oleh minyak tanah. "Huu!" sorak warga ketika melihat api itu benar-benar besar dan menjadi pelita di daerah itu. Satya yang memang sedang dalam perjalanan saat hendak menuju kampung Widia melihat jelas bias merah di langit gelap, serta kepulan asap dan suara gemeretak material yang terbakar. Satya yakin, semua itu berasal dari rumah Widia. Hanya tin
MDM 59Kelopak mata Widia melebar saat kalimat lamaran diucapkan oleh pria di hadapannya. Satya seperti memaksanya untuk menerimanya detik itu juga. Widia menunduk menghindari tatapan dalam dari lawan bicaranya. Seluruh pikirannya dipenuhi pertanyaan untuk apa yang akan terjadi jika ia menerima Satya. "Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, semua akan baik-baik saja," ucap Satya seraya menggapai dagu lancip wanita itu sehingga Widia kembali menatapnya. "Mita ...." "Sahabatmu itu tidak mencintai aku sedikit pun. Percayalah." "Aku tidak akan pernah tenang sebelum menggenggam tanganmu, berjalan bersama melalu semua halang rintangan. Aku mohon, Wid." Pria itu sampai berlutut di hadapan Widia dengan cairan bening yang membentuk kaca pada indra penglihatannya. "Apa aku egois?" Widia kembali bersua. Pria itu menggelengkan kepala. "Kita harus meminta restu kan? Ibumu tidak akan merestui, Mas." "Aku akan berusaha untuk itu, yang penting kamu bersedia. Selebihnya, itu urusanku, oke. Besok,
"Bu," sapa Widia seraya menghamburkan diri menghampiri Bu Siti. Wanita itu langsung menggapai punggung tangan yang sudah kian keriput. "Kamu kemana saja, Nak?" balas Bu Siti sambil mengelus puncak kepala putri satu-satunya itu. Seandainya Widia tau, sungguh dia begitu menantikan kehadiran Widia setiap ia membuka mata di pagi hari, di malam hari. Namun, semua keinginannya itu terhalang ego yang mengurung niatnya. Kini pertemuan mereka mampu menghapus ego masing-masing antara ibu dan anak itu."Maafkan aku, Bu." Widia pun lantas mendekap wanita sepuh itu yang tinggi badannya 10 cm lebih rendah darinya. Kerinduan mereka berdua kini hanyut dalam pelukan hangat antara anak dan ibu. Di hadapan Satya yang terabaikan untuk sementara karena fokus sambutan Bu Siti hanya kepada putrinya yang begitu ia rindukan. "Nak Satya. Maaf ibu membuat kamu nunggu tanpa mempersilakan masuk." Akhirnya, pemilik rumah menyadari kehadiran pria yang datang bersama putrinya. "Gak apa, Bu. Justru aku senang seka
Setelah mengetuk pintu, Satya memegang gagang pintu secara perlahan. Pintu itu terbuka, tampak wanita yang telah melahirkan pria itu terbaring di atas ranjang rumah sakit menatap lesu ke arah putranya. Punggung tangan yang masih tertusuk jarum infus membuat wanita itu sulit bergerak. "Satya, sibuk sekali kamu. Sampai tak menghiraukan mama." Namun, ia masih mampu meluapkan kekesalannya kepada pria yang baru saja datang membesuknya. "Maaf, Ma. Aku gak tau mama masuk rumah sakit." Perlahan Satya melangkah kemudian duduk di kursi depan ranjang pasien. "Bakal tau dari mana kalau seharian kamu cuma ngurusin janda gatel itu." "Maafkan aku ya, Ma. Lagian, semalam mama gak kenapa-napa kan? Malah ada Om juga nemenin Mama." "Mm," desis Ibunda diakhiri pecahnya tangisan yang sedari tadi ia tahan."Mama kenapa?" Secepatnya, wanita itu menggeleng supaya permasalahan yang tengah ia hadapi itu tak diketahui oleh Satya. "Ma, kenapa? Jangan buat aku curiga sama pria itu." Feeling Satya seketika
Sepasang suami istri itu saling beradu pandang setelah Widia meminta Satya tidur bersamanya. Wanita itu tak tega jika membiarkan suaminya tidur di bawah."Ah, sudah lah. Aku di sini saja." Memperhatikan gurat ragu dalam wajah istrinya membuat pria itu urung menuruti pinta Widia. "Kenapa, Mas?" Meski ragu, Widia bertanya. "Aku takut khilaf," desis Satya seraya menatapnya lekat. "Aku sudah menjadi hak mu, Mas." Wajah Satya yang semula menunduk dan pasrah. Kini kembali menatap wajah cantik istrinya. Satya menarik napas berat. Pria itu memindahkan bantal dan selimut ke atas ranjang di sisi Widia. Wanita itu menelan saliva. Siap tidak siap, ia harus menerima apa yang akan dilakukan Satya sesuai pernyataannya beberapa detik lalu bahwa ia sudah menjadi hak pria itu. "Oke, aku sudah di sini Widia. Di sampingmu. Dan ... hm ... kamu adalah hak milik ku malam ini." Telapak tangan Satya sudah berada di atas punggung tangan Widia. Mereka pun saling berpegangan kuat. Widia tertunduk, dadanya
"Halo, Ma?" Satya duduk di tepi pembaringan. Hampir semalaman ia tak mampu memejamkan kelopak matanya. Semalaman pula, ia berusaha menahan hasratnya sebagai pria dewasa kepada wanita yang sudah sah menjadi miliknya. "Kamu, ke rumah ya. Mama mau ngadain syukuran untuk kesembuhan mama." "Aku ... sama Widia?" Satya mengucek kantung mata hitam kelelahan akibat begadang. Pria itu belum yakin jika ibunya tidak mempermasalahkan tentang pernikahan yang ia lakukan secara siri bersama Widia tanpa memberi tahu keluarganya. "Hhm, iya." Sambungan terputus. Hanya itu keperluan Mama Ami menghubungi putranya. Satya melirik wajah istrinya yang masih terlelap. Dada bidangnya mengembang bahkan pusaka nya sampai tak terkendali. Tapi, lagi-lagi ia harus memendam semua hasratnya demi kenyamanan sang istri. Ia tak mau memaksa wanita itu meski pun ia tersiksa sendiri. Pendiriannya itu mulai goyah. Entah ia bisa menahan gejolak jiwanya, entah ia akan melakukannya saat ini juga. Pagi ini. Sesekali ia meng
"Bajingan itu sudah menikah dengan wanita idamannya. Hh, pria bertopeng yang sebenarnya adalah srigala yang tak jauh berbeda denganku," desis Haryadi--ayah angkat Satya--sambil menghisap lalu mengepulkan asap rokok yang diapit kedua jarinya di depan seorang anak buahnya. "Kenapa wanita itu bodoh sekali?" Batang berapi yang baru dihisap itu ditekannya pada sebuah asbak. Raut kekecewaan menjadi penghancur mood Haryadi pagi ini. Kabar itu seakan membuat dirinya putus asa, bagaimana caranya merebut perempuan itu dari pria yang sangat ia kenal. "Biarkan saya memata-matai mereka, Tuan," ucap Dex menyalip lamunan majikannya. "Kau ini pembunuh bayaran, bukan mata-mata. Nanti kau malah menghabisi mereka." Apa yang dirasakan oleh Haryadi, sebenarnya sama percis dirasakan oleh pria yang berdiri tepat depan meja Haryadi, seorang Mafia berkedok Direktur. Ya, Danu atau yang ia kenal sebagai Dex masih setia pada Haryadi--majikan nya--sebagai pembunuh bayaran."Anda tenang saja. Saya tidak akan m
"Ck, hm ...." Tatapan Satya tajam menghujam ke arah istrinya. Sementara sorot mata takut menjadi milik Widia saat ini. Betapa tidak, ia begitu bersalah menciptakan amarah di hati suaminya dengan menyebut nama sang mantan suami bahkan saat ia sadar dan tidak sedang mengigau. "Maaf, Mas. Tapi itu ... aku melihatnya di sana," ucap Widia berusaha menjelaskan. Kemudian, tatapan Satya memindai lingkungan sekitar. "Dimana dia?" desis Satya pelan. Widia kebingungan sendiri karena ia tak kunjung menemukan sekelebat sosok Danu yang ia lihat beberapa saat lalu. Satya melangkah lebih dulu dan meninggalkan Widia begitu saja. "Mas, tunggu!" Widia berusaha mengimbangi langkah cepat suaminya menuju keberadaan Mama Ami yang sudah menunggu di depan sana. Di antara banyaknya tamu undangan. Satya disambut hangat oleh Mama Ami dan seorang wanita di sampingnya, Mita. Raut gugup dan segan menjadi pemandangan di wajah Widia karena ia harus berhadapan dengan sang mertua dan sahabatnya.Widia mengenakan pa
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
"Thank you, Angel. Gua bisa happy-happy sebelum gua pulang ke Indonesia lagi." "Lho? Kok pulang?" tanya Angel sambil merasa mehilangan saat membayangkan Mita yang assyik diajak belanja itu memutuskan untuk pulang. "Ya. Sepertinya tugasku di Indonesi lebih penting." "Perusahaan?" Tanya Angel menebak-nebak."No. Sesuatu yang lebih penting dari apapun." Mita mengulum senyum membayangkan sebentar lagi balas dendamnya akan segera tuntas. Meskipun keadaan Widia sekarang sudah sangat memprihatinkan. Tapi, ia khawatir jika jika suatu saat kebahagiaan kembali menyapanya. Mereka pun kembali melewati malam terakhir yang indah. Suasana malam di perjalanan memberikan pemandangan yang sangat indah dan mempesona bagi Mita dan Angel. Saat ini, Mita merasa bahwa alam serta apapun yang ada di dunia ini tengah berpihak kepadanya. Sampai Haryadi pun terciduk kejahatannya sehingga ia harus mendekam di bui. Hal itu sangat menguntungkan bagi Mita karena akhirnya pria bayaran yang bisa diandalkan oleh
933Danu keluar dari rumah Widia. Melangkah pasti dengan tujuan menggebu di dadanya. Layaknya seorang pria dengan hati yang lembut namun penuh emosi. Ia mengetahui bahwa kekasihnya, Widia, telah disakiti oleh Satya dan Mita, emosi yang membara dalam hatinya tidak bisa ditahan. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, di balik rasa sakit yang mendalam itu, ada juga keinginan kuat untuk membalas perbuatan mereka. Meski memang Danu juga terlibat, mungkin ini lah yang bisa ia lakukan sebelum menghukum dirinya sendiri atas dosa yang ia lakukan kepada Widia. Danu duduk di taman yang sepi, menatap suasana malam dengan pandangan kosong. Matanya yang biasanya berbinar sekarang tampak suram, mencerminkan kepedihan hatinya. "Hei, pergi sana! Ini tempat gua!" Seorang pria pemabuk datang menghampiri Danu. Danu sedang tak ingin menghiraukan siapapun. Fokusnya hanya merenung sekaligus merencanakan langkah-langkah untuk menemui Satya dan juga Mita. Entah den
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si