Sepasang suami istri itu saling beradu pandang setelah Widia meminta Satya tidur bersamanya. Wanita itu tak tega jika membiarkan suaminya tidur di bawah."Ah, sudah lah. Aku di sini saja." Memperhatikan gurat ragu dalam wajah istrinya membuat pria itu urung menuruti pinta Widia. "Kenapa, Mas?" Meski ragu, Widia bertanya. "Aku takut khilaf," desis Satya seraya menatapnya lekat. "Aku sudah menjadi hak mu, Mas." Wajah Satya yang semula menunduk dan pasrah. Kini kembali menatap wajah cantik istrinya. Satya menarik napas berat. Pria itu memindahkan bantal dan selimut ke atas ranjang di sisi Widia. Wanita itu menelan saliva. Siap tidak siap, ia harus menerima apa yang akan dilakukan Satya sesuai pernyataannya beberapa detik lalu bahwa ia sudah menjadi hak pria itu. "Oke, aku sudah di sini Widia. Di sampingmu. Dan ... hm ... kamu adalah hak milik ku malam ini." Telapak tangan Satya sudah berada di atas punggung tangan Widia. Mereka pun saling berpegangan kuat. Widia tertunduk, dadanya
"Halo, Ma?" Satya duduk di tepi pembaringan. Hampir semalaman ia tak mampu memejamkan kelopak matanya. Semalaman pula, ia berusaha menahan hasratnya sebagai pria dewasa kepada wanita yang sudah sah menjadi miliknya. "Kamu, ke rumah ya. Mama mau ngadain syukuran untuk kesembuhan mama." "Aku ... sama Widia?" Satya mengucek kantung mata hitam kelelahan akibat begadang. Pria itu belum yakin jika ibunya tidak mempermasalahkan tentang pernikahan yang ia lakukan secara siri bersama Widia tanpa memberi tahu keluarganya. "Hhm, iya." Sambungan terputus. Hanya itu keperluan Mama Ami menghubungi putranya. Satya melirik wajah istrinya yang masih terlelap. Dada bidangnya mengembang bahkan pusaka nya sampai tak terkendali. Tapi, lagi-lagi ia harus memendam semua hasratnya demi kenyamanan sang istri. Ia tak mau memaksa wanita itu meski pun ia tersiksa sendiri. Pendiriannya itu mulai goyah. Entah ia bisa menahan gejolak jiwanya, entah ia akan melakukannya saat ini juga. Pagi ini. Sesekali ia meng
"Bajingan itu sudah menikah dengan wanita idamannya. Hh, pria bertopeng yang sebenarnya adalah srigala yang tak jauh berbeda denganku," desis Haryadi--ayah angkat Satya--sambil menghisap lalu mengepulkan asap rokok yang diapit kedua jarinya di depan seorang anak buahnya. "Kenapa wanita itu bodoh sekali?" Batang berapi yang baru dihisap itu ditekannya pada sebuah asbak. Raut kekecewaan menjadi penghancur mood Haryadi pagi ini. Kabar itu seakan membuat dirinya putus asa, bagaimana caranya merebut perempuan itu dari pria yang sangat ia kenal. "Biarkan saya memata-matai mereka, Tuan," ucap Dex menyalip lamunan majikannya. "Kau ini pembunuh bayaran, bukan mata-mata. Nanti kau malah menghabisi mereka." Apa yang dirasakan oleh Haryadi, sebenarnya sama percis dirasakan oleh pria yang berdiri tepat depan meja Haryadi, seorang Mafia berkedok Direktur. Ya, Danu atau yang ia kenal sebagai Dex masih setia pada Haryadi--majikan nya--sebagai pembunuh bayaran."Anda tenang saja. Saya tidak akan m
"Ck, hm ...." Tatapan Satya tajam menghujam ke arah istrinya. Sementara sorot mata takut menjadi milik Widia saat ini. Betapa tidak, ia begitu bersalah menciptakan amarah di hati suaminya dengan menyebut nama sang mantan suami bahkan saat ia sadar dan tidak sedang mengigau. "Maaf, Mas. Tapi itu ... aku melihatnya di sana," ucap Widia berusaha menjelaskan. Kemudian, tatapan Satya memindai lingkungan sekitar. "Dimana dia?" desis Satya pelan. Widia kebingungan sendiri karena ia tak kunjung menemukan sekelebat sosok Danu yang ia lihat beberapa saat lalu. Satya melangkah lebih dulu dan meninggalkan Widia begitu saja. "Mas, tunggu!" Widia berusaha mengimbangi langkah cepat suaminya menuju keberadaan Mama Ami yang sudah menunggu di depan sana. Di antara banyaknya tamu undangan. Satya disambut hangat oleh Mama Ami dan seorang wanita di sampingnya, Mita. Raut gugup dan segan menjadi pemandangan di wajah Widia karena ia harus berhadapan dengan sang mertua dan sahabatnya.Widia mengenakan pa
"Ahh ... ck. Sial," keluh Danu saat seorang wanita menghampirinya. Pria itu menyesal karena seseorang menyadari kehadirannya. Dia gagal berkamuflase, topi serta kacamata nya tak luput dari pengawasan Mita yang memang tak sengaja memperhatikan gerak-gerik Danu. "Buka aja kaca mata mu!" Wanita itu mencopot perlengkapan yang menutupi kedua netra pria yang kini menatap tajam. Pria itu tak suka dengan sikap Mita yang justru membuat dia panik seketika. "Aish ... kembalikan kacamataku!" tegur Danu. Kedua netranya memancarkan amarah. "Katakan apa niat mu datang ke sini!" Mita menodong pria itu dengan pertanyaan yang jelas menjadi rahasia pribadinya. Wanita itu duduk setelah menarik sebuah kursi di depan Danu. Sementara pria itu masih sibuk menyembunyikan identitas dengan cara menurunkan topi hitamnya. "Eh, Widia ... ada di dalam tuh. Jangan bilang kalau kamu ini sedang menguntitnya, hm?" "Apapun yang akan aku lakukan di sini itu bukan urusan mu!" Danu masih bersikap dingin bahkan cenderu
Setelah Satya berkeliling mengecek rumah besar itu, akhirnya Satya menemukan Widia yang tergolek di ruangan paling belakang atau lebih tepatnya sebuah gudang belakang dalam kegelapan."Buka matamu, Widia ...." Satya menggoyahkan bahu istrinya diselingi dengan menepuk bagian pipi wanita itu. Bukan hal asing melihat Widia tergeletak tak sadarkan diri. Entah berapa kali Satya menangani Widia dalam kondisi seperti ini. Kepala Widia sudah dipangkuan suaminya. Satya segera membopong tubuh istrinya ke kamar dengan perasaan was-was dan penuh tanda tanya. Mengapa istrinya sampai pingsan di sana? Siapa yang menyuruhnya ke tempat itu? Pasti ada orang di balik semua ini.Ada perasaan bersalah di dalam dasar hati Satya karena membiarkan dan sempat mengacuhkan istrinya. Namun, semua telah terjadi. Pria itu hanya tinggal menunggu Widia siuman. Satya duduk di tepi ranjang. Mama Ami didampingi Mita masih memantau sambil berdiri. "Kenapa kalian masih di sini?" Satya merasa terganggu dengan tatapan si
Satya sudah terlelap setelah melewati permainan panas bersama sang istri. "Sayang, sekarang aku yakin dengan cintamu itu," bisik Satya yang kini terngiang-ngiang di telinga Widia. Widia lega karena akhirnya pria yang kini terlelap, bertelanjang dada di sampingnya itu puas dengan apa yang telah wanita itu usahakan. Semua permintaan Satya diturutinya. Widia berhasil melayani Satya dengan baik meski setelahnya cairan bening di sudut mata terasa hangat menganak sungai di pipinya. Satya tak perlu tahu lagi isi hati Widia. Bagaimana keadaan hatinya. Karena yang terpenting bagi pria itu adalah kepercayaan dan kepuasan. Semuanya tentang kepercayaan dan kepuasan seorang suami. Hanya itu. Widia masih terjaga bahkan jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ia sungguh tak bisa tidur saat ini. Pikirannya terkuras untuk mengingat sosok Danu yang terasa nyata di gudang itu. Tadi ...."Hey, kamu, ikut aku!" seru seorang wanita berseragam ART yang tiba-tiba datang kemudian mengajak Widia pergi.
"Maksud kamu?" Widia tercengang dengan ucapan suaminya. "Iya, besok kita periksa kesehatan kamu!" Satya merapikan rambutnya yang kusut, menarik piyama untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu duduk di tepi ranjang. "Mas, aku gak gila." "Siapa yang bilang kamu gila? Aku hanya mau kamu cek kesehatan mentalmu saja! Lagian, akhir-akhir ini kamu sering cemas, kan?" Satya menatap istrinya penuh telisik.Widia bergeming, apa ajakan suaminya itu bentuk dari perhatian suami? Entahlah, Widia hampir tak mampu menebak sikap suaminya. "Kalau kamu gak mau aku bersikap kayak gini, ya udah ... kamu bersikap biasa dong. Jangan khawatir, panik, sama ketakutan kayak gitu!"Tekanan. Ini sebuah tekanan batin yang menjadi resiko diperistri Satya. Mengapa, sifat posesif itu baru terlihat pasca menikah? Widia menyesal. Bukan, ia malah mengutuk dirinya sendiri karena merasa menjadi manusia yang paling rugi dengan paras wajah sempurna tapi menjadi petaka baginya. Menjadi incaran pria sejak remaja menciptakan ke