"Ck, hm ...." Tatapan Satya tajam menghujam ke arah istrinya. Sementara sorot mata takut menjadi milik Widia saat ini. Betapa tidak, ia begitu bersalah menciptakan amarah di hati suaminya dengan menyebut nama sang mantan suami bahkan saat ia sadar dan tidak sedang mengigau. "Maaf, Mas. Tapi itu ... aku melihatnya di sana," ucap Widia berusaha menjelaskan. Kemudian, tatapan Satya memindai lingkungan sekitar. "Dimana dia?" desis Satya pelan. Widia kebingungan sendiri karena ia tak kunjung menemukan sekelebat sosok Danu yang ia lihat beberapa saat lalu. Satya melangkah lebih dulu dan meninggalkan Widia begitu saja. "Mas, tunggu!" Widia berusaha mengimbangi langkah cepat suaminya menuju keberadaan Mama Ami yang sudah menunggu di depan sana. Di antara banyaknya tamu undangan. Satya disambut hangat oleh Mama Ami dan seorang wanita di sampingnya, Mita. Raut gugup dan segan menjadi pemandangan di wajah Widia karena ia harus berhadapan dengan sang mertua dan sahabatnya.Widia mengenakan pa
"Ahh ... ck. Sial," keluh Danu saat seorang wanita menghampirinya. Pria itu menyesal karena seseorang menyadari kehadirannya. Dia gagal berkamuflase, topi serta kacamata nya tak luput dari pengawasan Mita yang memang tak sengaja memperhatikan gerak-gerik Danu. "Buka aja kaca mata mu!" Wanita itu mencopot perlengkapan yang menutupi kedua netra pria yang kini menatap tajam. Pria itu tak suka dengan sikap Mita yang justru membuat dia panik seketika. "Aish ... kembalikan kacamataku!" tegur Danu. Kedua netranya memancarkan amarah. "Katakan apa niat mu datang ke sini!" Mita menodong pria itu dengan pertanyaan yang jelas menjadi rahasia pribadinya. Wanita itu duduk setelah menarik sebuah kursi di depan Danu. Sementara pria itu masih sibuk menyembunyikan identitas dengan cara menurunkan topi hitamnya. "Eh, Widia ... ada di dalam tuh. Jangan bilang kalau kamu ini sedang menguntitnya, hm?" "Apapun yang akan aku lakukan di sini itu bukan urusan mu!" Danu masih bersikap dingin bahkan cenderu
Setelah Satya berkeliling mengecek rumah besar itu, akhirnya Satya menemukan Widia yang tergolek di ruangan paling belakang atau lebih tepatnya sebuah gudang belakang dalam kegelapan."Buka matamu, Widia ...." Satya menggoyahkan bahu istrinya diselingi dengan menepuk bagian pipi wanita itu. Bukan hal asing melihat Widia tergeletak tak sadarkan diri. Entah berapa kali Satya menangani Widia dalam kondisi seperti ini. Kepala Widia sudah dipangkuan suaminya. Satya segera membopong tubuh istrinya ke kamar dengan perasaan was-was dan penuh tanda tanya. Mengapa istrinya sampai pingsan di sana? Siapa yang menyuruhnya ke tempat itu? Pasti ada orang di balik semua ini.Ada perasaan bersalah di dalam dasar hati Satya karena membiarkan dan sempat mengacuhkan istrinya. Namun, semua telah terjadi. Pria itu hanya tinggal menunggu Widia siuman. Satya duduk di tepi ranjang. Mama Ami didampingi Mita masih memantau sambil berdiri. "Kenapa kalian masih di sini?" Satya merasa terganggu dengan tatapan si
Satya sudah terlelap setelah melewati permainan panas bersama sang istri. "Sayang, sekarang aku yakin dengan cintamu itu," bisik Satya yang kini terngiang-ngiang di telinga Widia. Widia lega karena akhirnya pria yang kini terlelap, bertelanjang dada di sampingnya itu puas dengan apa yang telah wanita itu usahakan. Semua permintaan Satya diturutinya. Widia berhasil melayani Satya dengan baik meski setelahnya cairan bening di sudut mata terasa hangat menganak sungai di pipinya. Satya tak perlu tahu lagi isi hati Widia. Bagaimana keadaan hatinya. Karena yang terpenting bagi pria itu adalah kepercayaan dan kepuasan. Semuanya tentang kepercayaan dan kepuasan seorang suami. Hanya itu. Widia masih terjaga bahkan jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ia sungguh tak bisa tidur saat ini. Pikirannya terkuras untuk mengingat sosok Danu yang terasa nyata di gudang itu. Tadi ...."Hey, kamu, ikut aku!" seru seorang wanita berseragam ART yang tiba-tiba datang kemudian mengajak Widia pergi.
"Maksud kamu?" Widia tercengang dengan ucapan suaminya. "Iya, besok kita periksa kesehatan kamu!" Satya merapikan rambutnya yang kusut, menarik piyama untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu duduk di tepi ranjang. "Mas, aku gak gila." "Siapa yang bilang kamu gila? Aku hanya mau kamu cek kesehatan mentalmu saja! Lagian, akhir-akhir ini kamu sering cemas, kan?" Satya menatap istrinya penuh telisik.Widia bergeming, apa ajakan suaminya itu bentuk dari perhatian suami? Entahlah, Widia hampir tak mampu menebak sikap suaminya. "Kalau kamu gak mau aku bersikap kayak gini, ya udah ... kamu bersikap biasa dong. Jangan khawatir, panik, sama ketakutan kayak gitu!"Tekanan. Ini sebuah tekanan batin yang menjadi resiko diperistri Satya. Mengapa, sifat posesif itu baru terlihat pasca menikah? Widia menyesal. Bukan, ia malah mengutuk dirinya sendiri karena merasa menjadi manusia yang paling rugi dengan paras wajah sempurna tapi menjadi petaka baginya. Menjadi incaran pria sejak remaja menciptakan ke
Rute perjalanan yang dilalui Mama Ami itu semakin sepi. Wanita itu menjadi sedikit khawatir dengan tujuannya."Kamu yakin ini jalannya?" Mama Ami balik bertanya. "Iya, Nyonya. Saya mengikuti arahan Nyonya." "Ya sudah, mungkin setelah ini kita lewati jalan ramai." Supir itu tidak menjawab. Pandangannya terfokus pada rute yang terus menuju ke arah kawasan buntu. "Coba saja kamu pikir, memangnya jalan ini dibuat untuk apa? Masa pemerintah gabut bikin jalan menuju kawasan buntu?" "Iya, Nyonya. Tapi, saya tidak yakin." "Kamu jangan membuat saya panik. Atau kalau kamu tidak yakin, putar balik saja!" Tiba-tiba tekad wanita itu goyah, karena kondisi langit juga malah berubah kelabu dan menakutkan. Kendaraan mewah yang sebelumnya melaju dengan kecepatan rata-rata itu tiba-tiba menepi. "Bagaimana, Nyonya?" Wajah sang supir sumringah ketika majikannya menyuruh dia putar balik arah. Lega, karena kemungkinan tersesat hingga masuk jurang tak akan menjadi resikonya. Namun, sayang sekali. Nia
"Hh, sial," keluh Haryadi seraya melepaskan pegangannya dan kehilangan kenikmatan memegangi kulit mulus menantunya. Satya setengah berlari menuruni anak tangga. Pria ini tak sudi jika istrinya dijadikan objek mata jelalatan ayah angkatnya. "Apa-apaan barusan?" Satya memelototi pria yang sungguh menyebalkan itu. "Ahh, lupakan saja. Bukan apa-apa. Wajah istri mu cantik dan enak dilihat. Wajar lah kalau saya menyapanya seperti ini. Bukannya dia juga menantu saya?" Haryadi sengaja memancing keributan dengan Satya. Wajah culas Haryadi membuat anak tirinya itu melayangkan sebuah bogem tepat pada pipi pria itu. Bugh!"Akh, kau memang pemarah, Satya. Hei, Widia ... apa kamu tidak riskan menikah dengan pria sensitif seperti dia?" tanya Haryadi semakin menjadi, ia pun menyeka bercak merah di sudut bibir nya. "Apa tujuan kamu ke sini, tua bangka?" tantang Satya yang merasa tersinggung dengan pertanyaan Haryadi. "Tenang, kamu tak perlu sekasar ini kepada tuan rumah. Nanti saya terpaksa mang
"Kamu tidak perlu tau apa isi map itu. Kamu simpan saja. Nanti kalau sudah waktunya saya butuhkan, saya cari kamu." Pesan Mama Ami kala itu. "Baik, Nyonya." Merasa dipercaya, merasa dibutuhkan, merasa menjadi tempat yang paling aman adalah yang dirasakan Halimah saat itu dan sampai sekarang pun ia merasa bahwa dirinya harus menjaga map titipan Mama Ami meskipun orang nya sudah tiada. Dengan hati-hati, Halimah meletakkan map tersebut di dasar koper. Setelah itu ia menumpuknya dengan pakaian dan barang lainnya. "Hei, kenapa kamu lama sekali?" tanya satpam yang kini diberi tugas memastikan kepulangan para ART. "Ck, sabar lah. Saya juga hampir selesai ini. Huh, mentang-mentang cuma dia yang tidak kena pecat!" gerutu Halimah sambil beringsut dari samping lemari miliknya. "Heh, satpam! Kenapa kamu gak ikut resign?" "Kenapa musti resign kalo aku masih dibutuhkan di sini?" "Tapi kamu sudah menghianati Den Satyadan bersikap kurang ajar padanya." "Itu kan perintah majikan saya yang bar