"Maksud kamu?" Widia tercengang dengan ucapan suaminya. "Iya, besok kita periksa kesehatan kamu!" Satya merapikan rambutnya yang kusut, menarik piyama untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu duduk di tepi ranjang. "Mas, aku gak gila." "Siapa yang bilang kamu gila? Aku hanya mau kamu cek kesehatan mentalmu saja! Lagian, akhir-akhir ini kamu sering cemas, kan?" Satya menatap istrinya penuh telisik.Widia bergeming, apa ajakan suaminya itu bentuk dari perhatian suami? Entahlah, Widia hampir tak mampu menebak sikap suaminya. "Kalau kamu gak mau aku bersikap kayak gini, ya udah ... kamu bersikap biasa dong. Jangan khawatir, panik, sama ketakutan kayak gitu!"Tekanan. Ini sebuah tekanan batin yang menjadi resiko diperistri Satya. Mengapa, sifat posesif itu baru terlihat pasca menikah? Widia menyesal. Bukan, ia malah mengutuk dirinya sendiri karena merasa menjadi manusia yang paling rugi dengan paras wajah sempurna tapi menjadi petaka baginya. Menjadi incaran pria sejak remaja menciptakan ke
Rute perjalanan yang dilalui Mama Ami itu semakin sepi. Wanita itu menjadi sedikit khawatir dengan tujuannya."Kamu yakin ini jalannya?" Mama Ami balik bertanya. "Iya, Nyonya. Saya mengikuti arahan Nyonya." "Ya sudah, mungkin setelah ini kita lewati jalan ramai." Supir itu tidak menjawab. Pandangannya terfokus pada rute yang terus menuju ke arah kawasan buntu. "Coba saja kamu pikir, memangnya jalan ini dibuat untuk apa? Masa pemerintah gabut bikin jalan menuju kawasan buntu?" "Iya, Nyonya. Tapi, saya tidak yakin." "Kamu jangan membuat saya panik. Atau kalau kamu tidak yakin, putar balik saja!" Tiba-tiba tekad wanita itu goyah, karena kondisi langit juga malah berubah kelabu dan menakutkan. Kendaraan mewah yang sebelumnya melaju dengan kecepatan rata-rata itu tiba-tiba menepi. "Bagaimana, Nyonya?" Wajah sang supir sumringah ketika majikannya menyuruh dia putar balik arah. Lega, karena kemungkinan tersesat hingga masuk jurang tak akan menjadi resikonya. Namun, sayang sekali. Nia
"Hh, sial," keluh Haryadi seraya melepaskan pegangannya dan kehilangan kenikmatan memegangi kulit mulus menantunya. Satya setengah berlari menuruni anak tangga. Pria ini tak sudi jika istrinya dijadikan objek mata jelalatan ayah angkatnya. "Apa-apaan barusan?" Satya memelototi pria yang sungguh menyebalkan itu. "Ahh, lupakan saja. Bukan apa-apa. Wajah istri mu cantik dan enak dilihat. Wajar lah kalau saya menyapanya seperti ini. Bukannya dia juga menantu saya?" Haryadi sengaja memancing keributan dengan Satya. Wajah culas Haryadi membuat anak tirinya itu melayangkan sebuah bogem tepat pada pipi pria itu. Bugh!"Akh, kau memang pemarah, Satya. Hei, Widia ... apa kamu tidak riskan menikah dengan pria sensitif seperti dia?" tanya Haryadi semakin menjadi, ia pun menyeka bercak merah di sudut bibir nya. "Apa tujuan kamu ke sini, tua bangka?" tantang Satya yang merasa tersinggung dengan pertanyaan Haryadi. "Tenang, kamu tak perlu sekasar ini kepada tuan rumah. Nanti saya terpaksa mang
"Kamu tidak perlu tau apa isi map itu. Kamu simpan saja. Nanti kalau sudah waktunya saya butuhkan, saya cari kamu." Pesan Mama Ami kala itu. "Baik, Nyonya." Merasa dipercaya, merasa dibutuhkan, merasa menjadi tempat yang paling aman adalah yang dirasakan Halimah saat itu dan sampai sekarang pun ia merasa bahwa dirinya harus menjaga map titipan Mama Ami meskipun orang nya sudah tiada. Dengan hati-hati, Halimah meletakkan map tersebut di dasar koper. Setelah itu ia menumpuknya dengan pakaian dan barang lainnya. "Hei, kenapa kamu lama sekali?" tanya satpam yang kini diberi tugas memastikan kepulangan para ART. "Ck, sabar lah. Saya juga hampir selesai ini. Huh, mentang-mentang cuma dia yang tidak kena pecat!" gerutu Halimah sambil beringsut dari samping lemari miliknya. "Heh, satpam! Kenapa kamu gak ikut resign?" "Kenapa musti resign kalo aku masih dibutuhkan di sini?" "Tapi kamu sudah menghianati Den Satyadan bersikap kurang ajar padanya." "Itu kan perintah majikan saya yang bar
"Halo, sayang!" Suara itu tidak asing ditelinga Widia, suara yang langsung membawa kengerian ke sekujur tubuhnya. Dan detik itu pun Widia dibekam seseorang yang sudah ia bisa ia tebak. "Mmm!" Widia tak bisa berucap satu oatah kata pun. Tangan dan kaki wanita itu mulai memberontak, melakukan penolakan. "Diam dan dengarkan aku!" bisik Danu pada telinga Widia. Pria itu menambah kekuatannya lebih supaya dirinya mampu mengatasi mantan istrinya. "Aku mencintai mu," lanjut kata pria itu yang membuat Widia semakin memberontak. Widia semakin tak mengerti. Entah apa yang diinginkan pria itu hingga berani-beraninya dia masuk dan mengacau di sana. Bahkan, Danu sampai mengeluarkan ikatan hitam untuk mengikat mantan istrinya supaya dia duduk diam di sebuah kursi kayu. "Harusnya aku menculik mu? Aku hanya perlu membopong mu keluar dari sini." Widia menggeleng ketakutan, kedua tatapan netranya seolah meminta Danu melepaskan dan tidak melakukan tindakan bodoh itu. "Kalau kau tak mau ikut dengan k
Berbagi kehangatan di ruang basah dengan ikatan suci. Mereka menyingkap setiap helai kain yang semula menutupi tubuhnya. Bercampur saling memadu kasih, Widia melakukannya dengan penuh hati. Berharap menjadi pelipur lara untuk sang imam rumah tangga. Berharap kedukaan yang dirasakan suami berkurang meski tak sepenuhnya. Tak usai sampai di sana, setelah keduanya sudah dalam keadaan kering dengan handuk melilit di tubuh mereka masing-masing. Layaknya sepasang pengantin baru, Satya kembali memintanya di kursi sofa ruangan konter. Tak ada penolakan dari Widia, wanita itu masih berusaha menjadi penghibur dan penyembuh duka lara yang dirasakan suaminya. Namun, saat berada di tengah-tengah kenikmatan...."Maaf kan aku, Ma." Sebuah kalimat pendek terucap dari mulut manis Satya bagai belati menusuk lubuk hati. Bagaimana tidak, wanita itu mendengar sendiri ucapan Satya yang menyesal menikahinya kemarin malam. Ditambah lagi kali ini pria itu kembali mengucap kalimat menyakitkan dengan meminta m
75Syurga? Jika benar begitu, Widia tidak akan selalu merasa terintimidasi dengan semua ketakutan Satya tentang istrinya yang katanya belum bisa move on dari masa lalu. "Coba fokus pada masalah kita saja, Wid. Tentang ibumu nanti kita berkunjung ke rumahnya. Esok atau lusa." Setelah mendongak menatap langit-langit, Widia menyeka air matanya. Bisa-bisanya pria itu kini menjadi begitu posesif. "Ayo habiskan makannya. Setelah itu aku mau siap-siap buka konter lagi." Batin Widia lelah dengan sikap Satya yang jauh berbeda dengan sebelum pernikahan itu terjadi. Namun, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain menjalani dengan berusaha mengabdi. "Iya, Mas." Widia menggeser pintu konter, udara pagi hari dan kehangatan sinar matahari pagi cukup menghibur Widia. Seberkas harapan muncul ketika pintu tersebut dibuka. Beberapa pelanggan mendekat ke arah Widia. "Mbak, maaf mau tanya. Apa konter ini akan dibuka kembali?" Seorang wanita berpenampilan kantoran datang menyapa. "Benar, Mbak." Wi
"Masuk, Ay, kita bicara di dalam," ajak Widia. Sambil melangkah, pikirannya tak menentu. Jika Ayu mendesaknya untuk segera membayar. Uang darimana dia? Cobaan hidup yang datang tanpa permisi ini tentu saja membuat batin wanita itu terguncang. Satya yang sudah beranjak ke ruangan belakang konter meninggalkan paper bag berisi uang tunai begitu saja di atas nakas. Mungkin Ayu melihat isi paper bag tersebut karena dia melewati barang tersebut. "Mm ... jadi begini Wid, waktu kamu menghubungi aku minta kerjaan. Besoknya permintaan produksi membludak. Aku sempat hubungi kamu beberapa kali. Tapi, telpon kamu gak aktif. Aku juga gak bisa nyari kamu karena aku sendiri lagi sibuk-sibuknya. Besoknya, si bos minta diantar ke rumahmu. Aku antar lah dia. Tapi, aku sama si bos sampe syok. Rumah kamu hangus dilalap api. Kami pulang kan, ya. Aku minta pengertian si bos supaya bisa maklumin kamu. Tapi, dia gak mau tau karna alat-alat yang ada di rumah kamu itu kan harganya lumayan. Dia tetep nyuruh
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
"Thank you, Angel. Gua bisa happy-happy sebelum gua pulang ke Indonesia lagi." "Lho? Kok pulang?" tanya Angel sambil merasa mehilangan saat membayangkan Mita yang assyik diajak belanja itu memutuskan untuk pulang. "Ya. Sepertinya tugasku di Indonesi lebih penting." "Perusahaan?" Tanya Angel menebak-nebak."No. Sesuatu yang lebih penting dari apapun." Mita mengulum senyum membayangkan sebentar lagi balas dendamnya akan segera tuntas. Meskipun keadaan Widia sekarang sudah sangat memprihatinkan. Tapi, ia khawatir jika jika suatu saat kebahagiaan kembali menyapanya. Mereka pun kembali melewati malam terakhir yang indah. Suasana malam di perjalanan memberikan pemandangan yang sangat indah dan mempesona bagi Mita dan Angel. Saat ini, Mita merasa bahwa alam serta apapun yang ada di dunia ini tengah berpihak kepadanya. Sampai Haryadi pun terciduk kejahatannya sehingga ia harus mendekam di bui. Hal itu sangat menguntungkan bagi Mita karena akhirnya pria bayaran yang bisa diandalkan oleh
933Danu keluar dari rumah Widia. Melangkah pasti dengan tujuan menggebu di dadanya. Layaknya seorang pria dengan hati yang lembut namun penuh emosi. Ia mengetahui bahwa kekasihnya, Widia, telah disakiti oleh Satya dan Mita, emosi yang membara dalam hatinya tidak bisa ditahan. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, di balik rasa sakit yang mendalam itu, ada juga keinginan kuat untuk membalas perbuatan mereka. Meski memang Danu juga terlibat, mungkin ini lah yang bisa ia lakukan sebelum menghukum dirinya sendiri atas dosa yang ia lakukan kepada Widia. Danu duduk di taman yang sepi, menatap suasana malam dengan pandangan kosong. Matanya yang biasanya berbinar sekarang tampak suram, mencerminkan kepedihan hatinya. "Hei, pergi sana! Ini tempat gua!" Seorang pria pemabuk datang menghampiri Danu. Danu sedang tak ingin menghiraukan siapapun. Fokusnya hanya merenung sekaligus merencanakan langkah-langkah untuk menemui Satya dan juga Mita. Entah den
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si