Berbagi kehangatan di ruang basah dengan ikatan suci. Mereka menyingkap setiap helai kain yang semula menutupi tubuhnya. Bercampur saling memadu kasih, Widia melakukannya dengan penuh hati. Berharap menjadi pelipur lara untuk sang imam rumah tangga. Berharap kedukaan yang dirasakan suami berkurang meski tak sepenuhnya. Tak usai sampai di sana, setelah keduanya sudah dalam keadaan kering dengan handuk melilit di tubuh mereka masing-masing. Layaknya sepasang pengantin baru, Satya kembali memintanya di kursi sofa ruangan konter. Tak ada penolakan dari Widia, wanita itu masih berusaha menjadi penghibur dan penyembuh duka lara yang dirasakan suaminya. Namun, saat berada di tengah-tengah kenikmatan...."Maaf kan aku, Ma." Sebuah kalimat pendek terucap dari mulut manis Satya bagai belati menusuk lubuk hati. Bagaimana tidak, wanita itu mendengar sendiri ucapan Satya yang menyesal menikahinya kemarin malam. Ditambah lagi kali ini pria itu kembali mengucap kalimat menyakitkan dengan meminta m
75Syurga? Jika benar begitu, Widia tidak akan selalu merasa terintimidasi dengan semua ketakutan Satya tentang istrinya yang katanya belum bisa move on dari masa lalu. "Coba fokus pada masalah kita saja, Wid. Tentang ibumu nanti kita berkunjung ke rumahnya. Esok atau lusa." Setelah mendongak menatap langit-langit, Widia menyeka air matanya. Bisa-bisanya pria itu kini menjadi begitu posesif. "Ayo habiskan makannya. Setelah itu aku mau siap-siap buka konter lagi." Batin Widia lelah dengan sikap Satya yang jauh berbeda dengan sebelum pernikahan itu terjadi. Namun, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain menjalani dengan berusaha mengabdi. "Iya, Mas." Widia menggeser pintu konter, udara pagi hari dan kehangatan sinar matahari pagi cukup menghibur Widia. Seberkas harapan muncul ketika pintu tersebut dibuka. Beberapa pelanggan mendekat ke arah Widia. "Mbak, maaf mau tanya. Apa konter ini akan dibuka kembali?" Seorang wanita berpenampilan kantoran datang menyapa. "Benar, Mbak." Wi
"Masuk, Ay, kita bicara di dalam," ajak Widia. Sambil melangkah, pikirannya tak menentu. Jika Ayu mendesaknya untuk segera membayar. Uang darimana dia? Cobaan hidup yang datang tanpa permisi ini tentu saja membuat batin wanita itu terguncang. Satya yang sudah beranjak ke ruangan belakang konter meninggalkan paper bag berisi uang tunai begitu saja di atas nakas. Mungkin Ayu melihat isi paper bag tersebut karena dia melewati barang tersebut. "Mm ... jadi begini Wid, waktu kamu menghubungi aku minta kerjaan. Besoknya permintaan produksi membludak. Aku sempat hubungi kamu beberapa kali. Tapi, telpon kamu gak aktif. Aku juga gak bisa nyari kamu karena aku sendiri lagi sibuk-sibuknya. Besoknya, si bos minta diantar ke rumahmu. Aku antar lah dia. Tapi, aku sama si bos sampe syok. Rumah kamu hangus dilalap api. Kami pulang kan, ya. Aku minta pengertian si bos supaya bisa maklumin kamu. Tapi, dia gak mau tau karna alat-alat yang ada di rumah kamu itu kan harganya lumayan. Dia tetep nyuruh
Satya melepaskan kepuasan atas tubuh Widia. Ia tak peduli dengan teriakan Widia yang tersiksa karenanya. Suara wanita di bawah penguasaan Satya lemah, hanya terdengar isak tangis kepiluan meliputi diri yang kedinginan. ***"Pusing sekali kepalaku," ucap Satya sembari menatap tubuh sendiri terbuka tanpa sehelai benang pun menutupi. "Apa-apaan ini?" Satya kebingungan sendiri. Dia memindai sekeliling ruangan basement. "Shit, aku mabuk." Dari penampakan botol-botol yang berserakan di bawah sofa, ia menyadari semuanya. Meski dengan potongan-potongan bayangan yang terekam dalam pikirannya. "Akh, sakit sekali." Satya berusaha mengingat kembali apa saja yang membuat dia bertelanjang seperti ini sekarang. Sekelebat wajah Widia tampak saat ia mengerjapkan mata. Suara teriakan Widia dan isak tangisnya pun kini terekam jelas diingatan."Widia? Apa aku telah menyiksanya lagi? Dengan kasar?" Satya beringsut dari sofa tersebut, memunguti pakaian di lantai. Kemudian bergegas mencari Widia di kont
Danu bersandar dan duduk di kursi pengemudi dengan pikiran jauh menerawang masa lalu. Tentang perbuatan kasar, tentang awal mula penyiksaan batin Widia hanya karena sebuah kesalahfahaman. Ia menyesal karena pernah memperlakukan Widia dengan begitu kasar sehingga mungkin membuat Widia tak nyaman dan pergi darinya. Awal mula mendapatkan kabar bahwa wanita itu telah dekat dengan Satya yang akhirnya menikah. Danu sempat kecewa dan mempertanyakan nasib Widia selanjutnya. Ternyata, dugaannya tak menyalahi kenyataan yang terjadi. Widia tidak sedikitpun merasakan kebahagiaan bersama Satya saat ini. Danu merasa bahwa dirinya wajib melindungi wanita pertama yang ia cintai. Dia tidak ingin membiarkan Widia menjalaninya sendirian. Oleh sebab itu lah Danu mulai menjadi penguntit Widia meskipun dengan beberapa ancaman yang ia lontarkan atau sebuah kalimat-kalimat menakut-nakuti Widia. Bahkan Danu sampai harus menyewa sebuah taxi untuk mengantar Widia kemana pun ia mau. Danu membayar pemilik ken
79 "Aku?" Danu tercekat dengan tuduhan Widia yang menyebut dirinya terobsesi. Sama seperti yang baru saja dirinya tuduhkan terhadap Satya. Suami Widia saat ini. "Ya ... kamu juga seperti itu. Makanya, kamu gak pernah memanusiakan aku, berbuat kasar semau mu. Apa kamu pikir aku ini tidak punya perasaan?""Aku hanya tempramen, tapi aku ... sayang kamu, Widia." Wanita itu terdiam, pandangannya tak lagi lekat ke arah pria itu. Widia menatap senja yang kian pamit dari pelupuk mata. "Ini sudah malam, tidak mungkin kita bermalam di sini. Apa kamu bisa mengantarkan aku pulang?" "Tentu, tapi aku tidak akan tinggal diam jika kamu disakiti lagi pria itu. Soal uang itu ... soal utang mu. Aku bisa melunasinya." "Hm?" Widia terkejut, pria itu mengetahui masalah Widia yang kini menjadi penyebab kemelut dalam rumah tangga Widia."Kenapa kamu tau juga tentang itu?" "Aku ini penguntit mu. Apapun yang kamu lakukan, apapun yang kalian bicarakan aku tau, Widia! Maka itu, aku tau kamu tersakiti pagi
"Dimana alat itu?" Widia terus melakukan penyisiran ke sela-sela ruangan basemen. Sambil berjaga jika Satya mencurigai dan memergokinya. "Wid, temen mu datang!" teriak Satya dari bangunan atas basemen. Widia menunda pencariannya dahulu untuk menemui Ayu. Ia bergegas menaiki anak tangga. "Ayu ...," sapa Widia sambil menyalaminya."Wid, bener uangnya udah ada?" Ayu menggenggam kuat tangan sahabatnya. "Iya, Ay." Senyuman mengembang di bibir Widia. Namun, mata bening Ayu berkaca-kaca karena terharu dengan keseriusan Widia mengadakan uang sebesar itu dengan serentak. "Aku minta maaf ya Wid, harusnya aku ngasih kamu sesuatu atas musibah yang menimpa kamu. Tapi, aku ini malah ngejar-ngejar uang yang bahkan kamu harus bersusah payah dulu mencarinya." "Gak papa, ini bukan salah kamu Ay. Aku bersyukur karena punya sahabat seperti mu. Aku senang ketika aku terpuruk ada kamu yang selalu memberiku support." "Sekarang kamu gimana sama Satya? Dia baik kan sama kamu?" Tiba-tiba sahabatnya menyi
Danu duduk mengarah kepada sang mantan istri, matanya penuh dengan kelembutan yang tak terucapkan. Roti di tangannya, menunggu Widia membuka mulut. Ekspresi wajahnya serius namun lembut, seolah-olah dia sedang menyuapi anak kecil.Saat sesuap roti itu mendekati bibir mantan istrinya, dia menatapnya dengan penuh perhatian. Dia memastikan bahwa dia tidak merasa tidak nyaman atau terganggu. Danu menyuapinya dengan perlahan, membiarkan Widia menikmati setiap suapan.Widia sendiri, merasa seolah-olah dia telah kembali ke masa lalu. Wanita itu merasa seperti saat mereka pertama kali bertemu, saat mereka masih muda dan penuh harapan. Widia merasa seperti saat dia pertama kali jatuh cinta dengan pria ini, yang kini dengan lembut menyuapinya.Seolah-olah waktu telah berhenti, dan mereka berdua kembali ke masa lalu. Widia merasa kembali menjadi gadis muda yang jatuh cinta, dan pria di depannya adalah pria yang dia cintai. Manis, yang dirasakan indra pengecap Widia. Namun, terasa pahit saat me