"Jangan dekati aku, aku ini pembawa sial! Kamu tau itu kan, Bang? Menjauh lah dariku!" ucap Widia setelah Danu berdiri tegak di hadapannya. Menatap penuh kewaspadaan, jangan sampai pria itu berhasil membawanya pergi lagi. "Ya, aku tau kamu ini memang wanita pembawa sial. Makanya aku tak mau kamu dekat dengan orang lain. Ayo ikut aku!" Danu menarik pergelangan tangan Widia, sedikit memaksanya untuk masuk ke dalam taxi sewaannya. "Duduk lah!" Danu menutup pintu mobil kemudian setengah berlari ke arah joknya untuk siap mengemudi. "Agh," keluh Widia kesakitan seraya mengusap pergelangan tangan yang dicengkram pria itu. Danu sudah duduk di samping Widia. Wanita di sampingnya masih menahan tangis dengan dada kembang kempis. Danu tahu betapa jiwa perempuan itu tengah terguncang dengan kepedihan yang menimpanya beberapa saat lalu. Ditambah lagi dengan pemaksaan yang dilakukan Danu kepadanya. "Menangis lah, jika itu bisa membuatmu lega. Kemudian, berhenti lah menumpahkan air mata mu itu ha
Widia membuka matanya, terjaga dari tidur yang membawanya melalui malam yang terasa seolah-olah tak berakhir. Cahaya pagi, lembut memenuhi ruangan, menandai awal hari. Dengan perasaan campur aduk, ia menyadari bahwa ia berada di apartemen Danu, mantan suaminya."Aku ... semalam? Ah, syukurlah." Satu tangannya memegangi dada. Ia bersyukur karena semalam tidak terjadi hal buruk kepadanya. Namun, Widia merasakan sakit di kepala karena terlalu banyak menangis semalaman. Ia merasa berat untuk bangkit, tetapi akhirnya melakukannya, merasa perlu untuk membersihkan diri dan menyegarkan pikiran. Air hangat dari shower menyapu tubuhnya, mencuci perasaan kacau dan kelelahan dari malam sebelumnya.Setelah itu, Widia menghabiskan waktu untuk memperhatikan apartemen Danu. Melihat dengan detail, setiap benda yang ada di dalam ruangan tersebut. Dari mulai peluru yang terdapat di laci lemari sampai beberapa pistol yang terdapat dalam lemari. Belum lagi beberapa buah ponsel genggam tanpa daya. Mungk
"Oke, aku akan menjemputmu." Mita tersenyum puas setelah diberi tahu alamat Widia saat ini. Mita segera menyuruh sopirnya untuk memanaskan kendaraan sebelum ia pakai. Pagi sekali, Mita sudah berkunjung ke rumah Bu Siti. "Bu ... Ibu ...," panggil Mita dari luar. Tak lama setelah itu terdengar suara sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk. Sudah lama, Mita ingin tahu keadaan Bu Siti. Maksud hatinya, ia ingin mencari tahu tentang perkembangan kehidupan Widia. Apakah dia bahagia, atau kah sebaliknya. Jika Widia bahagia, ia harus mengatur strategi untuk menghancurkannya. Namun, jika Widia dalam keadaan terpuruk. Maka, sudah saatnya Mita menghantamnya dengan batu ujian besar sebagai hadiah pamungkas darinya. "Bu," sapa Mita sambil melangkah masuk ke dalam mencari keberadaan wanita sepuh yang sudah lama tak ia kunjungi. "Masuk, Mit." Bu Siti ternyata sedang berbaring di tempat tidurnya. Dengan nada suara lemah perempuan itu menyapa Mita kembali. "Mita, kamu ke sini?" Tatapan Bu Siti
"Wid?" seru Danu dari luar apartemen. Sepi dan pintu dalam keadaan terkunci. Ia pun segera menelpon petugas resepsionis dari ponselnya. "Pergi kemana dia?" Danu mengusap wajah dan menahannya di bagian mulut. Sebelah tangannya berkacak pinggang. Ia tak mengerti dengan wanita itu, mengapa sulit sekali untuk menuruti pintanya? Semua ini demi kebaikan Widia. Danu takut, sangat takut jika Widia berkeliaran di luar dan anak buah Haryadi yang juga bosnya sendiri mendapati keberadaan Widia."Pasti dia disekap lagi," keluh Danu saat seluruh hatinya sibuk memikirkan wanita itu. "Ini kuncinya, Pak." Seorang petugas apartemen berlari ke arahnya dan memberikan kunci yang dititip Widia. "Kamu tau tidak, kemana wanita itu pergi?" tanya Danu berharap ia menemukan jawaban atas kegundahannya. Namun, office girl itu menggeleng."Ya sudah, kembali lah." Danu bergegas membuka pintu kamar apartemennya. Memutar badan memindai jejak-jejak Widia. Di meja masih tersisa banyak makanan yang ia pesan. Danu me
86"Gawat, di mana map coklat itu?" Halimah menyingkap tumpukan barang yang sudah tersusun di lemari. Tanpa ia ingat jika map tersebut berada di dalam koper di bawah pakaian miliknya. "Oh, apa masih di koper?" tanya dirinya sendiri sambil mengacungkan jari telunjuknya. Saat ingatannya pasti tentang map itu. Halimah segera membongkar koper miliknya yang tersimpan di pojok kamar. "Ah, ini dia." Halimah menemukannya dan sekitar beberapa detik ia termenung. Ia kebingungan, apa yang harus ia lakukan dengan surat ini? Apa ia cukup berani membuka dan mengungkapkan kebenaran yang mungkin kini terselimuti oleh kejahatan Haryadi. Meski ragu, karena perempuan itu tau persis bagaimana sifat Haryadi yang terbilang keras, kasar, dan nekat dalam menindak siapa saja yang menentangnya. "Aduh, gimana ya? Aku buka saja lah dulu map ini. Apa isinya, baru mikir apa yang harus aku lakukan." Dengan hati-hati, Halimah membuka map tersebut dan membaca isinya. "Hah? Ini kan surat-surat hak milik kekayaan
"Wih, tumben datang kemari, Bung?" sambut seorang polisi yang mengenal Satya dengan baik. "Aku ada perlu ini. Tolong lah urus segera," pinta Satya penuh harap. "Ada apa, Bung?" Kerut kening tampak pada dahi rekan polisi yang pria itu kenal. "Ini ...." Satya segera mengutarakan maksud dan tujuannya. Melaporkan Haryadi."Parah sekali ini." Bahkan seorang polisi itu sampai menggelengkan kepalanya. "Hei, kenapa kamu sempat tertipu dengan sertifikat palsu?" tawa rekannya begitu menggelitik perasaan Satya. Benar juga, mengapa dia sampai tertipu dan tidak teliti. "Iya, makanya aku butuh banget bantuan kalian. Tolong segera ya," pinta Satya penuh harap. Ia sudah tak sabar untuk melihat Haryadi digelandangi karena perbuatannya yang jahat itu. "Oke, santai. Kamu ngopi dulu sana. Surat penangkapannya gua ketik dulu." "Makasih, Bung," ucap Satya tersenyum. Kini, pria itu dapat bernapas lega. Tak lama lagi, Haryadi akan mendekam di penjara. Laporan Satya cepat ditanggapi pihak polisi, sela
Si Raja Sesal, mungkin itu lah yang pantas disematkan kepada Satya. Sejak harta ibunya kembali. Pria ini terus memikirkan kesemena-menaan yang pernah ia lakukan kepada Widia. Semua kenangan buruk itu terus terbayang dan semakin hari ia tersadar bahwa semua itu adalah kesalahan. "Widia, Widia, Widia," desis Satya sambil mengacak rambutnya. Merasa frustasi memikirkan kebodohan melepaskan dewi pujaan hati yang telah ia perjuangkan sejak dulu sewaktu masih belia. "Den, makan dulu," seru Halimah dari luar pintu kamar Satya. Wanita itu semakin khawatir dengan kondisi jiwa Satya saat ini. Satu bulan ini Satya selalu mengurung diri di kamar. Toko ponsel pun sudah tak pernah ia kunjungi lagi. "Apa aku harus mencarinya dengan mengorbankan harga diri karena kembali menjilat ludah sendiri." Bukannya menyahut seruan Halimah, ia malah sibuk mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan untuk membunuh perasaan bersalah yang terus menghantuinya setiap detik. Namun, akhirnya pria itu berniat untuk me
Meski penasaran, Danu memantau 2 orang yang nampak sedang bermusuhan dengan metode silent treatmen. Itu karena Widia tak menanggapi ucapan Satya bahkan mungkin dia juga tidak menganggap kehadirannya. Karena Satya terus berbicara, Danu merasa kesal sendiri melihatnya. Dia pun melangkah untuk menghampiri Danu bersama Widia sekaligus memberi peringatan kepada saingannya. Langkah Danu tegas ke arah mereka dengan sebuah bungkusan di tangannya. Melihat kedatangan Danu, pria itu tampak terkejut sekaligus kesal karena merasa terganggu. "Ngapain lu nyamperin Widia lagi, hm?" Danu meletakkan bingkisannya di samping Widia kemudian meraih kerah baju milik Satya. "Memangnya kenapa?" "Lu gak ngerasa kalau lu sudah merusak wanita itu, hm?" "Gua sadar, gua sadar. Tapi, jangan lupa Danu. Lu juga pernah bersalah pada Widia. Jangan sok baik lu, jangan sok menjadi pahlawan kesiangan. Lu itu sama gue gak ada bedanya!" "Kurang ajar!" Bugh, sebuah pukulan bogem dihadiahi Danu kepada lawannya. Satya
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
"Thank you, Angel. Gua bisa happy-happy sebelum gua pulang ke Indonesia lagi." "Lho? Kok pulang?" tanya Angel sambil merasa mehilangan saat membayangkan Mita yang assyik diajak belanja itu memutuskan untuk pulang. "Ya. Sepertinya tugasku di Indonesi lebih penting." "Perusahaan?" Tanya Angel menebak-nebak."No. Sesuatu yang lebih penting dari apapun." Mita mengulum senyum membayangkan sebentar lagi balas dendamnya akan segera tuntas. Meskipun keadaan Widia sekarang sudah sangat memprihatinkan. Tapi, ia khawatir jika jika suatu saat kebahagiaan kembali menyapanya. Mereka pun kembali melewati malam terakhir yang indah. Suasana malam di perjalanan memberikan pemandangan yang sangat indah dan mempesona bagi Mita dan Angel. Saat ini, Mita merasa bahwa alam serta apapun yang ada di dunia ini tengah berpihak kepadanya. Sampai Haryadi pun terciduk kejahatannya sehingga ia harus mendekam di bui. Hal itu sangat menguntungkan bagi Mita karena akhirnya pria bayaran yang bisa diandalkan oleh
933Danu keluar dari rumah Widia. Melangkah pasti dengan tujuan menggebu di dadanya. Layaknya seorang pria dengan hati yang lembut namun penuh emosi. Ia mengetahui bahwa kekasihnya, Widia, telah disakiti oleh Satya dan Mita, emosi yang membara dalam hatinya tidak bisa ditahan. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, di balik rasa sakit yang mendalam itu, ada juga keinginan kuat untuk membalas perbuatan mereka. Meski memang Danu juga terlibat, mungkin ini lah yang bisa ia lakukan sebelum menghukum dirinya sendiri atas dosa yang ia lakukan kepada Widia. Danu duduk di taman yang sepi, menatap suasana malam dengan pandangan kosong. Matanya yang biasanya berbinar sekarang tampak suram, mencerminkan kepedihan hatinya. "Hei, pergi sana! Ini tempat gua!" Seorang pria pemabuk datang menghampiri Danu. Danu sedang tak ingin menghiraukan siapapun. Fokusnya hanya merenung sekaligus merencanakan langkah-langkah untuk menemui Satya dan juga Mita. Entah den
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si