"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Wid, Widia ... buka pintunya! Cepat!" Suara ketukan pintu dan juga suara keras Danu berhasil membuat Widia seketika terjaga dari lelapnya yang baru 30 menit itu. "Bang Danu, benarkah itu suara dia?" Di keheningan malam tentu lah ada sedikit rasa takut dan waspada bagi seorang wanita yang hanya tinggal sendiri di rumah nya. Rumah yang baru saja dibangun itu terletak 200 meter dari pemukiman warga. Danu --suami Widia-- sengaja memilih tempat yang agak berjarak supaya istrinya tidak banyak bergaul dengan warga lain. "Widia ...!" teriak Danu semakin keras. Dia terus menggedor pintu begitu menggemparkan. "I-iya, Bang. Sebentar," sahut wanita yang mengenakan daster kusut itu bergegas bangkit dari ranjang besinya. Menyambut sang suami yang sudah delapan bulan tak pulang. Delapan bulan yang lalu pria itu pergi merantau ke pulau seberang untuk bekerja di tambang minyak. Langkah Widia terhenti di depan pintu, tangannya sedikit gemetar saat membuka slot kunci. Meski belum terlihat, wajah
Widia masih berdiri terpaku di ambang pintu. Tangan yang masih memegangi satu stel pakaian milik sang suami pun ikut bergetar merasakan kecurigaan di dalam benaknya. "Ratih ... jangan-jangan daging yang baru pertama kali kulihat itu adalah daging manusia?" Overthingking segera menyergap hati sanubari pun insting seorang istri terhadap gelagat aneh suaminya itu. Rasa tak enak di rongga mulut Widia kembali. Isi pikiran dan indra pengecapnya merasakan hal yang sama. Jijik dengan daging aneh itu. "Huek ...." Widia tak kuasa menahan mual di mulutnya. Sebisa mungkin ia menahan reaksi menyebalkan itu supaya tak terulang untuk yang kedua kalinya. Tiba-tiba, Danu melirik ke belakang. Berjalan perlahan mendekati posisi tegak Widia. Danu sudah paham betul dengan gelagat istrinya. Jika, beberapa bagian tubuh Widia gemetar pasti perasaan atau pikiran wanita itu sedang terganggu. "Kenapa kau? Sakit?" Tatapan penuh selidik bak mengancam keselamatan Widia. "A--aku tak apa, mungkin aku hanya m
"Mari duduk, Pak," sambut perempuan berusia lanjut kepada pria berseragam coklat lengkap dengan senjata api yang bertenteng menempel di pinggang pria itu. "Jadi bagaimana, Pak? Anak saya sudah menghilang lama sekali. Sedangkan, anda-anda ini baru mengunjungi kami." Belum juga dua petugas polisi itu duduk di kursi teras. Seorang pria renta--orangtua Ratih--menodong pertanyaan sarkas kepada mereka. "Pak, sabar! Biarkan mereka duduk dulu," cela istri dari pria renta itu sambil mengusap dada kurus suaminya. "Maafkan kami, sebenarnya kasus hilangnya saudari Ratih ini sudah kami tangani. Namun, kami mohon maaf karena sampai detik ini belum jua mendapatkan titik terang. Maka dari itu, kedatangan kami disini adalah untuk meminjam tanda pengenal saudari Ratih lebih detail. Seperti foto misalnya." "Oh, foto. Ada, Pak," sahut ibundanya Ratih dengan begitu antusias. "Boleh saya lihat?" "Tentu saja. Sebentar, Pak." Wanita yang memiliki rambut didominasi warna putih itu segera masuk ke
MDM 4 Isak tangis tampak di mimik wajah Widia pagi ini. Ia begitu dirundung kepedihan oleh sikap kasar pun ancaman yang dilontarkan pria yang sudah tiga tahun menjadi imam rumah tangga baginya. Beberapa kali, jemari gemetar itu menyeka bulir bening yang lolos tak tertahankan lagi. "Aku tidak boleh begini, aku harus kuat," desis Widia menyeka tuntas pipi basahnya. Perempuan itu segera bangkit membuang ekspresi kelemahannya sebagai wanita. Seketika pikirannya teringat keresek hitam berisi daging yang ia sembunyikan dibalik pohon pisang. Hanya itu lah yang dapat dijadikan bukti satu-satunya untuk menjerat Danu ke jalur hukum. Widia berjalan mengendap dan hampir tak bersuara. Tatapannya memindai ruangan demi ruangan yang ia lewati. Wanita itu masih takut dengan pria bernama Danu. Takut, jika niatnya di hadang pria itu. Namun, lima menit sebelumnya Danu pergi entah kemana. Pria itu berniat mengalihkan amarah yang begitu menggebu di dalam dada dengan meninggalkan rumah tat kala istr