Widia masih berdiri terpaku di ambang pintu. Tangan yang masih memegangi satu stel pakaian milik sang suami pun ikut bergetar merasakan kecurigaan di dalam benaknya. "Ratih ... jangan-jangan daging yang baru pertama kali kulihat itu adalah daging manusia?" Overthingking segera menyergap hati sanubari pun insting seorang istri terhadap gelagat aneh suaminya itu.
Rasa tak enak di rongga mulut Widia kembali. Isi pikiran dan indra pengecapnya merasakan hal yang sama. Jijik dengan daging aneh itu. "Huek ...." Widia tak kuasa menahan mual di mulutnya. Sebisa mungkin ia menahan reaksi menyebalkan itu supaya tak terulang untuk yang kedua kalinya.
Tiba-tiba, Danu melirik ke belakang. Berjalan perlahan mendekati posisi tegak Widia. Danu sudah paham betul dengan gelagat istrinya. Jika, beberapa bagian tubuh Widia gemetar pasti perasaan atau pikiran wanita itu sedang terganggu.
"Kenapa kau? Sakit?" Tatapan penuh selidik bak mengancam keselamatan Widia.
"A--aku tak apa, mungkin aku hanya masuk angin."
"Hm, benarkah? Apakah kau sempat mendengarkan aku bicara?" tanya Danu belum juga puas. Widia hanya menggelengkan kepala, ia tak berani menatap langsung dua bola mata mengerikan itu.
"Ya sudah, tahan rasa mual mu itu. Minum air panas sana, biar anginnya keluar." Danu menggeser kasar tubuh Widia lalu ia masuk ke dalam ruangan kamar.
"Iya, Bang." Langkah kaki Widia semakin berat. Isi hati dan pikirannya kian tak menentu. Ia letakan pakaian itu ke keranjang cucian. Sekilas, Widia melirik panci yang masih mengepul asap. Tentu saja, ruangan dapur itu kini dipenuhi bau aneh yang berasal dari dalam panci itu. Hampir saja, mulut Widia bereaksi lagi. Namun, ia terselamatkan setelah berlari menjauh dari ruangan dapur dan menghirup udara malam hari dari jendela rumah yang dibuka sedikit olehnya.
Suara dengkuran Danu terdengar sampai ruangan tamu. Dimana Widia masih betah berlama-lama menyendiri di ruangan itu. Widia enggan masuk ke kamar karena pikirannya telah dirasuki bermacam-macam pikiran buruk tentang apa yang telah suaminya lakukan selama merantau. "Ahh, aku tak bisa tinggal diam. Aku harus menemukan jawaban dengan cara menyelidiki pemilik nama Ratih itu."
Setelah Widia merasa angan dan pikirannya lega. Ia masuk ke dalam kamar, menemani Danu terlelap. Ia juga tak mau memperlihatkan bahwa dirinya kini tengah menaruh curiga kepada sang suami. Setidaknya, jika ia dapat membuktikan prasangka buruknya. Maka, Widia berharap minimal dia dapat menyelamatkan diri dari Danu. Sebelum dirinya menjadi korban selanjutnya.
**
**
Meski Widia sulit memejamkan mata, tetapi seiring berjalannya waktu. Akhirnya, Widia terlelap beberapa jam dan terbangun pada pukul 04.15 waktu setempat. Saat itu, Danu masih sibuk dengan mimpinya. Mendengkur dan sedikit mengigau. Widia memilih bangun terlebih dahulu sambil menjalankan ibadah shalat shubuh. Setelah itu, ia berniat untuk bersih-bersih rumah dan halaman.
Bersih-bersih rumah rampung sudah. Ia mulai mengangkut sampah plastik yang sudah ia kumpulkan untuk dibakar. Satu persatu ia masukan sampah plastik untuk menjadi bahan bakar supaya nyala api awet. Giliran plastik bekas daging aneh itu. Tangan Widia bersedia menutup hidungnya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pandangan wanita itu, bagian kecil daging tertinggal di dalam keresek hitam itu. Ia sempat terlonjak dan melempar keresek itu.
"Apa itu?" tanya Widia seakan trauma. Widia mengambil sebatang pohon singkong di samping posisi jongkoknya. Ia pun menyingkap wadah keresek dengan batang itu dan tampak lah segumpal daging ukuran 5 cm. Jelas sekali tampak tato bunga pada daging yang masih berkulit. Seketika bulu kuduk wanita itu berdiri, tangannya kembali bergetar setelah penemuan itu.
Widia yakin sekali kalau ternyata kekhawatiran dan prasangka buruknya itu terjawab sudah. Ya, suaminya pulang membawa hasil kejahatannya.
"Wid!" Dari belakang, Danu sudah berdiri memerhatikan istrinya. Tentu saja panggilan itu membuat Widia terkejut bukan main. Dalam hatinya berbisik, "Pria itu pasti sudah membunuh seseorang, aku harus mengungkap kejahatannya dan pergi menjauh, sebelum aku yang dijadikan sup olehnya."
"Iya, Bang?" Widia memisahkan plastik itu terlebih dahulu dan menyembunyikannya di belakang pohon pisang.
"Jam berapa ini? Aku lapar, kau malah sibuk dengan sampah itu."
"Abang mau aku masak daging itu sekarang? Lalu, Abang mau makan daging itu?"
Danu terdiam sesaat, beberapa detik kemudian ia menjawab pertanyaan istrinya dengan penolakan.
"Aku tak mau daging itu. Kau masak saja, lalu kau bagikan ke tetangga."
"Kenapa tiba-tiba Abang gak mau makan daging itu?"
"Kenapa kau cerewet sekali?" Kedua netra pria itu membelalak.
"Tapi, Bang? Kalau mereka bertanya tentang daging itu, apa aku harus jawab daging babi? Mereka pasti tak mau."
"Terserah! Pokoknya, kau masak daging itu dengan aneka rempah. Nanti juga rasanya bakalan sama dengan daging sapi."
Widia semakin menyadari bahwa suaminya itu memang sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, ia harus tetap bersabar untuk meneliti kebenarannya. Jangan sampai suaminya menaruh curiga dan tertangkap basah sehingga menjadi sasaran berikutnya.
Saat itu juga, Widia menyudahi aktivitas bakar sampah. Kemudian, bergegas menuju warung yang sudah ramai oleh pengunjung yang menikmati sarapan pagi berupa gorengan tempe, peyek, dan yang lainnya. Duduk di bangku yang disediakan pemilik warung, terdiri dari dua bapak-bapak dan tiga ibu-ibu. Widia menyapa mereka dengan ucapan salam.
"Waalaikum salam," jawab mereka serentak dengan suara pelan.
"Belanja Bu Wid," sapa seorang wanita berusia 40 tahun dengan lirikan sinis di sudut matanya.
"Iya, Bu. Saya mau belanja bumbu masak."
"Bu Wid, kemarin saya melihat suamimu pulang hampir tengah malam ya? Bawa kantong keresek, apa isinya itu?"
"Oh, dia bawa daging dan sekarang saya mau memasaknya."
"Wah, bagi-bagi lah sama tetangga jauh kau ini."
"Iya, Bu. Memang suami saya juga menyuruh begitu."
"Wah, makan daging dong kita hari ini," sahut pemilik warung.
"Ya sudah, perlu bumbu apa saja? Pilih saja, sini." Pemilik warung mengajak masuk Widia ke dalam rumahnya. Usai itu. Widia pamit setelah mengantongi beberapa macam rempah-rempah.
"Eh, tunggu Bu Wid. Kau kenal Ratih?"
Deg, kenapa salah seorang laki-laki yang duduk di bangku itu tiba-tiba bertanya tentang Ratih? Perlahan, Widia membalik badan dan menatap ragu pria itu.
"Ra-Ratih? Iya, saya hanya tau saja. Tapi, saya tidak kenal," jawab Widia sambil membuang pandangannya supaya tak mengundang kecurigaan.
"Ya gak bakalan kenal lah. Ibu rumah tangga satu ini kan jarang sekali ke luar rumah. Mana mungkin juga dia kenal Ratih."
Widia masih berdiri terpaku. Ia tak tahu harus memberikan tanggapan apa terhadap kata-kata mereka. Akhirnya, ia memilih pergi dan menghindari tatapan-tatapan sinis para tetangga.
***
Widia memasak daging itu sambil menutup hidungnya, beberapa kali ia keluar-masuk kamar mandi untuk menumpahkan rasa mual. Danu yang tengah duduk menikmati sebatang rokok sungguh merasa terganggu dengan suara dari kamar mandi. Pria itu pun bergegas pergi melihat istrinya.
"Heh, Widia! Dari kemarin aku curiga sama kau yang terus muntah-muntah. Kau ini kenapa sih? Apa jangan-jangan kau tengah hamil? Dengan siapa kau main di belakang aku, hah? Lu mau gua cincang ju ... ga? Euh, maksudnya kalau kau sampai kedapatan selingkuh, aku gak akan segan mencincang kau."
Raut wajah Danu terlihat sedikit panik karena ia keceplosan saat mengancam istrinya. Sementara, Widia hanya menatap dan berdiri gemetar menahan segara rasa yang menyergapi jiwa raga. Antara takut ancaman dan rasa mual yang semakin kuat setelah melihat kepanikan sang suami.
"Maaf, Bang. Kayaknya aku gak enak badan. Mana berani aku selingkuh dari Abang."
"Cepat kau selesaikan pekerjaan ini. Setelah itu, bagikan segera kepada para tetangga! Dan jangan sampai tersisa."
"Iya, Bang. Iya. Sebenarnya, aku juga sudah tidak kuat memasak daging ini." Widia kembali memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya dengan tertatih. Sementara, Danu melengos pergi dan tak peduli dengan keluhan sang istri.
Hidup bersama dengan seorang pria yang tak ada lembut-lembutnya sama sekali. Membuat Widia perlu mencari alasan untuk dikatakan wajar menjauh darinya. Salah satunya, jika Danu terbukti telah melakukan tindak pidana. Maka, Widia dapat segera lepas dari pria itu dengan alasan pantas.
***
Widia sudah membagi olahan daging yang sudah ia sulap bak rendang khas hari raya. Warna masakannya berwarna coklat dan berlumur minyak bumbu. Tapi, tak ada sedikit pun keinginan Widia untuk mencicipinya. Yang ada kepala Widia sudah teramat pusing dibuat mual oleh aroma dari daging itu sendiri.
Sebanyak 20 box styrofoam berukuran 11 cm itu sudah ia masukan ke dalam kantong keresek putih. Ia pun pamit kepada imam rumah tangganya.
"Ya, bilang saja itu daging sapi. Toh, rasanya hampir sama," jawab Danu setelah tadi pria itu sempat mencicipinya setengah sendok makan. Widia tak menanggapi suaminya dan segera menuju rumah-rumah tetangganya.
Widia mengetuk satu per satu rumah tetangga, dimulai dari yang lebih dekat sampai yang paling ujung yaitu rumah wanita bernama Ratih.
"Dari siapa ini Bu Wid?" tanya beberapa penghuni rumah yang disinggahi Widia.
"Dari saya, Bu. Oleh-oleh suami."
"Oh, makasih ya."
"Iya, Bu. Sama-sama," jawab Widia dengan perasaan tak enak karena ada perasaan bersalah setelah mengulurkan satu box berisi daging yang tidak diketahui daging apa itu.
Widia sudah sampai di rumah ketiga sebelum rumah Ratih. Perempuan itu melihat beberapa orang yang tengah berkerumun di rumah kediaman Ratih. Di sana terlihat dua orang petugas kepolisian sedang memberikan wejangan kepada keluarga Ratih. Widia memberanikan diri datang dan menghampiri kerumunan tersebut. Tiga orang warga dari kalangan wanita tengah mengoper sebuah foto Ratih. Widia semakin mendekatkan tubuhnya ke arah wanita yang tengah memegang foto tersebut. Dan tampaklah sebuah tato bunga pada paha terbuka milik Ratih yang sama persis dengan tato yang menempel di segumpal daging dalam keresek hitam.
Betapa terkejutnya Widia melihat foto itu. Sehingga tiga box makanan yang ia pegangi jatuh. Tentu saja beberapa pasang mata pun kini hanya terfokus pada tangan gemetar Widia dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Mari duduk, Pak," sambut perempuan berusia lanjut kepada pria berseragam coklat lengkap dengan senjata api yang bertenteng menempel di pinggang pria itu. "Jadi bagaimana, Pak? Anak saya sudah menghilang lama sekali. Sedangkan, anda-anda ini baru mengunjungi kami." Belum juga dua petugas polisi itu duduk di kursi teras. Seorang pria renta--orangtua Ratih--menodong pertanyaan sarkas kepada mereka. "Pak, sabar! Biarkan mereka duduk dulu," cela istri dari pria renta itu sambil mengusap dada kurus suaminya. "Maafkan kami, sebenarnya kasus hilangnya saudari Ratih ini sudah kami tangani. Namun, kami mohon maaf karena sampai detik ini belum jua mendapatkan titik terang. Maka dari itu, kedatangan kami disini adalah untuk meminjam tanda pengenal saudari Ratih lebih detail. Seperti foto misalnya." "Oh, foto. Ada, Pak," sahut ibundanya Ratih dengan begitu antusias. "Boleh saya lihat?" "Tentu saja. Sebentar, Pak." Wanita yang memiliki rambut didominasi warna putih itu segera masuk ke
MDM 4 Isak tangis tampak di mimik wajah Widia pagi ini. Ia begitu dirundung kepedihan oleh sikap kasar pun ancaman yang dilontarkan pria yang sudah tiga tahun menjadi imam rumah tangga baginya. Beberapa kali, jemari gemetar itu menyeka bulir bening yang lolos tak tertahankan lagi. "Aku tidak boleh begini, aku harus kuat," desis Widia menyeka tuntas pipi basahnya. Perempuan itu segera bangkit membuang ekspresi kelemahannya sebagai wanita. Seketika pikirannya teringat keresek hitam berisi daging yang ia sembunyikan dibalik pohon pisang. Hanya itu lah yang dapat dijadikan bukti satu-satunya untuk menjerat Danu ke jalur hukum. Widia berjalan mengendap dan hampir tak bersuara. Tatapannya memindai ruangan demi ruangan yang ia lewati. Wanita itu masih takut dengan pria bernama Danu. Takut, jika niatnya di hadang pria itu. Namun, lima menit sebelumnya Danu pergi entah kemana. Pria itu berniat mengalihkan amarah yang begitu menggebu di dalam dada dengan meninggalkan rumah tat kala istr
"Mit, aku mohon jangan sampai kamu kasih tau ibu aku," pinta Widia setengah memohon karena jika ibunya tahu, ia takut malah akan menjadi beban pikiran baginya."Kamu ini, kayak ke orang asing aja. Ya jelas lah aku gak bakalan kasih tau ibu. Itu sama aja artinya aku bikin sakit ibu kamu!" Kedua bola mata Mita mendelik kesal."Iya, makasih ya, Mit." Kini perasaan Widia mulai bercampur aduk. Antara takut, khawatir, dan juga sedih. Jika Widia memang benar-benar akan memilih jalur hukum, maka ia juga harus benar-benar siap dengan konsekunsinya. "Ya Allah, aku berpegang teguh kepadamu. Jauhkan aku dari orang-orang jahat," desis Widia dengan suara pelan. Mita beranjak dan menerawang ke jalanan tandus nan berdebu. Di ujung pandangannya ia melihat wanita sepuh yang berjalan pelan membawa beban berat di punggungnya berupa seikat kayu bakar."Nah, itu ibu kamu, Wid." Mita setengah berlari menghampiri Siti-Ibu Kandung Widia--dari jarak 150 meter.Perlahan Mita bersama ibunya Widia semakin mendek
"Bang ...." Tatapan ragu disertai takut menghiasi wajah Widia. "Apa? Ayok, masuk!" Wajah menantang suaminya membuat Widia semakin enggan untuk mengikuti ajakannya. "Tolong jauhkan dulu pisau itu, Bang," pinta Widia seraya memberanikan diri berbicara tegas tanpa segan. Sesaat Danu terdiam sambil melihat gelagat istrinya. "Memangnya kenapa? Aku tidak akan menyakitimu dengan ini." Danu mengangkat pisau di tangannya lalu beralih menatap Widia yang masih saja gentar. Ia berseringai sedikit menertawakan mental ciut wanita di hadapannya. "Ayok!" Danu mempertegas lagi. Akhirnya, Widia melangkah perlahan dengan mendahulukan kaki kanan. Sementara di dalam hatinya sibuk berdoa supaya dilindungi dari segala macam ketakutan dan marabahaya."Gimana kabar ibumu?" tanya Danu seraya duduk di kursi meja makan. Ternyata pisau itu ia gunakan untuk mengupas buah mangga. Meski begitu, tetap saja hati wanita itu belum jua tenang selama pisau tajam itu masih dipegangi suaminya. Sudut matanya pun berulang
Suara Danu terdengar kentara dari belakang. Sialnya, pria itu memang tipe orang yang tidak suka saat barang pribadinya dibongkar orang lain termasuk oleh istrinya sendiri. "Sedang apa kau di sana?" Posisinya yang semula terlentang, kini beranjak dan berdiri tegak di belakang Widia. Tak ada cara lain lagi bagi wanita itu agar selamat dari ancaman suaminya selain berbohong. Widia menghela napas tenang, berusaha bersikap biasa. "Aku nggak bongkar-bongkar, Bang. Cuma benerin resletingnya aja." "Coba lihat aku ...," titah Danu tak percaya. Ia berniat mencari petunjuk sebuah gerak mata tanda bahwa seseorang yang berbicara dengannya itu berdusta. Widia pun berhati-hati dengan hal itu, ia tak akan mungkin memperlihatkan kegugupannya. "Akh, sakit sekali kepalaku ...." Sambil mengerjapkan kelopak matanya, Widia juga membuat jemarinya menutupi sebagian wajah. "Kau sakit?" Pria itu mulai khawatir. Bagi Danu, wanita cantik yang berdiri di hadapannya itu adalah segalanya. Danu pernah mati-mati
"Maaf ... aku minta maaf, Bang." Widia tersungkur di lantai ruang tamu setelah pria itu menghempaskan tubuh wanita itu. Untuk pertama kalinya, Danu merasa tertipu oleh wanita yang begitu ia cintai. Kini, amarahnya telah sampai ke ubun-ubun. Tangan kekar Danu telah mengepal sempurna. Ingin sekali ia menghabisi wanita itu. Namun, bukan itu yang akan ia lakukan. "Ayok, katakan apa yang ingin kamu katakan. Bela diri kamu supaya aku bisa meminimalisasi hukuman apa yang pantas untukmu." Danu menatap istrinya seraya mengharapkan alasan yang paling masuk akal baginya. Widia menunduk, sesekali ia menyentuh kakinya yang sempat terkilir karena hardikan suaminya. "Cepat katakan alasanmu, kenapa kau sampai tega menipu suamimu sendiri dan berduaan dengan laki-laki b*engs*k itu?" tegas Danu semakin geram. Akhirnya ia mengambil posisi jongkok untuk melihat lebih jelas wajah gentar istrinya. Mulut Widia mengatup rapat, tangan yang menyentuh kaki gemetar, dan napas pun terasa terhenti di tenggoroka
Plak!!Widia tak sanggup menahan kebencian terhadap pria itu. Meski dengan sisa-sisa tenaganya, telapak tangan Widia mendarat mulus di pipinya. Ia berhasil meluapkan amarah di relung hati. "Dasar penjahat!" Kecaman Widia semakin membuat Danu terkejut hingga kedua bola matanya hampir keluar, mengapa istrinya jadi seberani itu?"Apa? Kau bilang apa tadi?" tanya Danu seraya mengusap pipinya ke atas ke bawah secara berulang. Memang, tamparan Widia tidak terlalu keras, hanya saja Danu tertampar kenyataan bahwa istrinya sekarang sudah berani berubah. Seburuk itu kah Danu di hadapan Widia, sampai istrinya memanggilnya 'penjahat'.Danu mendekat hingga posisi keduanya hanya berjarak sekitar 30 cm saja."Kenapa kau panggil aku dengan sebutan itu? Pen-ja-hat?" Danu mengulang umpatan Widia. Rahangnya bergerak seakan ingin menerkam. Sorot matanya tak jauh beda dengan tajamnya belati."Kamu itu memang penjahat 'kan, Bang?" Meski dengan bibir bergetar, Widia berusaha mengungkap isi hati dan pikirann
"Sudah lah, kita bakar saja rumah ini, gak ada gunanya juga punya tetangga macam dia. Penampilan alim, tapi kelakuan i*lis," seru seorang pria yang berdiri dekat dengan pria pembawa derigen berisi minyak tanah."Setuju, setujuu!" Saat mereka hampir melakukan tindakan main hakim sendiri, datang lah Satya yang baru saja tiba dan mendengar kabar menggemparkan di kampung itu. "Tenang lah. Saya mohon kalian tenang. Kita gak boleh main hakim sendiri. Ayok, pikirkan keselamatan bersama. Apa dengan kalian membakar rumah ini akan menyelesaikan masalah? Nggak, 'kan? malah kalian akan menyesal karena menghilangkan nyawa orang. Terus, apa bedanya kalian dengan penjahat itu?" Sebisa mungkin Satya mencegah perbuatan kriminal dan hampir membahayakan wanita yang masih ia cintai.Semua warga terdiam, mereka mendengarkan wejangan pria rupawan itu dengan seksama. "Lalu, kita harus bagaimana?" "Sabar dan menyerahkan semuanya kepada pihak berwajib. Mereka tahu bagaimana menegakan keadilan. Percayakan sa