"Sudah lah, kita bakar saja rumah ini, gak ada gunanya juga punya tetangga macam dia. Penampilan alim, tapi kelakuan i*lis," seru seorang pria yang berdiri dekat dengan pria pembawa derigen berisi minyak tanah."Setuju, setujuu!" Saat mereka hampir melakukan tindakan main hakim sendiri, datang lah Satya yang baru saja tiba dan mendengar kabar menggemparkan di kampung itu. "Tenang lah. Saya mohon kalian tenang. Kita gak boleh main hakim sendiri. Ayok, pikirkan keselamatan bersama. Apa dengan kalian membakar rumah ini akan menyelesaikan masalah? Nggak, 'kan? malah kalian akan menyesal karena menghilangkan nyawa orang. Terus, apa bedanya kalian dengan penjahat itu?" Sebisa mungkin Satya mencegah perbuatan kriminal dan hampir membahayakan wanita yang masih ia cintai.Semua warga terdiam, mereka mendengarkan wejangan pria rupawan itu dengan seksama. "Lalu, kita harus bagaimana?" "Sabar dan menyerahkan semuanya kepada pihak berwajib. Mereka tahu bagaimana menegakan keadilan. Percayakan sa
Pria tampan berpakaian santai itu hanya tersenyum dan mengangguk ke arah Mita. Pandangan keduanya sempat saling bertemu selama beberapa detik. Tak lama setelah itu, Mita berpaling dan segera memburu sahabatnya yang masih berbaring. Keduanya saling memeluk satu sama lain. "Mit, makasih ya ... berkat kamu, polisi datang tepat waktu. Kalau tidak ...." Air mata mulai menganak sungai di pipi wanita lemah itu saat membayangkan saat-saat terakhir bersama Danu sebelum digrebek polisi. "Iya, Wid. Sama-sama, aku senang bisa lihat kamu selamat. Pasti ... pahlawan yang bawa kamu ke sini, Satya 'kan?" Mita melirik pria itu dengan sudut matanya. Berusaha untuk tidak 'baper' berada di antara sahabat dan juga calon tunangan. Pertanyaan Mita membuat kaku seisi ruangan. Bagaimana tidak, hampir semua orang tahu bahwa Mita dengan Satya sedang terlibat perjodohan. Namun, sampai saat ini baik Mita maupun Satya belum jua membuat kesepakatan. Widia benar-benar dibuat malu karena dirinya masih saja menikma
"Oh, mungkin maksud kamu itu, kamu bareng anak saya kan, nengokin si Widia?""Mm ... enggak, kok, Tante. Satya udah ada di sana waktu aku datang. Malah aku nggak tau loh, kalo dia lagi jengukin Widia." Mama Ami jadi sangat tidak enak hati terhadap gadis yang duduk di sebelahnya apalagi pada Bunda Lani. Seakan-akan putranya telah mencorengkan noda di wajah perempuan itu. Padahal sebagai seorang ibu, Mama Ami sering mengingatkan Satya untuk mulai serius dengan pertunangannya bersama Mita. "Duh, maaf. Maaf sekali, ya Jeng, Mit. Saya janji akan memberi peringatan lagi sama Satya." "Udah lah, Tante. Gak perlu maksa Satya juga, kasian dia. Biarkan saja anak Tante melakukan apa yang dia inginkan. Apapun itu kalau dilakukan dengan tergesa-gesa itu gak akan bener. Aku siap kok, nunggu Satya," ucap Mita. Setelah itu ia merapatkan bibirnya sambil mengangguk meyakinkan kedua wanita di hadapan dan di sampingnya. "Aku mandi dulu ya, Tante, Mah. Gerah banget panas-panasan di bawah terik matahari
"Sekarang kamu pilih mama atau istri penjahat yang terlahir dari keluarga miskin itu?" Mama Ami menyangga dagunya lalu menatap lekat kedua mata Satya. "Ma! Jangan kayak gini, lah!" Satya mulai mendengus kesal saat menerima pertanyaan dilema dari mamanya. Mana mungkin ia bisa menjawabnya asal. Pasalnya, ucapan dan keputusan seorang pria itu harus dipertanggung jawabkan. Ia tidak bisa menjamin untuk dapat meninggalkan Widia begitu saja hanya demi wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Apalagi keadaan Widia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kini, yang ada dalam pikiran Satya hanya lah bagaimana caranya supaya Widia aman dan terlindungi dari amukan warga. Tanpa sadar pria itu telah mengaggurkan wanita yang duduk di hadapannya. "Satya! Ayok, jawab! Coba ... mama mau tau apa jawaban kamu." "Maaf, Ma. Satya nggak bisa jawab pertanyaan mama." Satya beranjak dan pergi meninggalkan wanita berpakaian formal itu. "Satyaa!" teriak Mama Ami sambil berdiri. Wanita itu menggebrak meja itu
Hanya berjarak sekitar empat kilo meter saja, mereka sudah sampai di kediaman Siti. Beberapa pasang mata menyoroti tiga orang yang baru saja keluar dari mobil carry berwarna hitam. Salah satu ganjaran untuk suatu kejahatan adalah adanya sanksi sosial. Mungkin mulai hari ini dan beberapa hari ke depan baik Widia maupun ibunya akan merasakan bagaimana sanksi sosial itu berlaku. Seperti saat ini, ketika keduanya turun dari kendaraan Satya, keduanya merasa diawasi oleh beberapa pasang mata dengan sorot mata sinis. Tak sedikit di antara mereka pun saling berbisik. "Permisi, Bu ...." Wanita sepuh itu berniat membuang pikiran buruknya terhadap warga sekitar dengan cara lebih dahulu menyapa mereka sambil memapah putrinya melewati sekelompok warga yang berkumpul di warung kelontongan. Mereka tak menjawab atau mungkin lebih tepatnya tak sudi menjawab. Bu Siti yang memiliki kesabaran setipis tisu tak terima didiamkan seperti itu karena ia juga mengenal orang-orang yang duduk berjejer di sana, t
Widia sempat memohon dengan sisa suaranya yang kian serak. Namun, lagi-lagi ekspresi Widia malah membuatnya semakin cantik dalam pandangan pria pemabuk itu. Widia terus mencari cara supaya dapat melepaskan cengkraman yang mengunci tubuhnya. Sehingga terbersit pemikiran untuk menendang kelemahan pria di hadapannya. "Eugh!" Widia berhasil menendang target dengan satu kakinya hingga pria itu terjungkal ke belakang. Preman itu merasakan sakit yang teramat di bagian kelemahannya. "Kau sudah memancing emosi, sekarang kau harus menerima hukuman!" Pria itu menodongkan sebuah belati tajam tepat ke arah perempuan yang terus melangkah mundur. Sesekali ia menginjak semak berduri hingga ia berdesah kesakitan. "Kau tidak akan bisa lari kemana-mana, br*ngsek! Menyerah lah dan lakukan saja apa yang kuminta!" "Cuih, aku lebih baik mati daripada menyerahkan diri sama kamu ba*ingan!" "Mati? Sini aku bunuh kamu, karna itu kan yang kau mau?" Widia begitu ketakutan, ia terus berusaha minta tolong den
MDM 16Satu minggu setelah ditangkapnya Danu, keadaan Widia berangsur pulih. Begitu pula dengan Bu Siti yang sudah mulai berniat mengunjungi ladang hari ini. "Assalamualaikum." Terdengar suara khas seorang pria yang sudah beberapa hari ini baru terdengar lagi. Widia yang masih menyiapkan sarapan untuk ibu dan dirinya menoleh ke arah pintu. "Bang Satya. Ada apa dia ke sini lagi Bu?" Tatapan penuh tanya ia lemparkan kepada ibunda. "Buka saja, Wid!" titah Bu Siti kepada putrinya. Widia melangkah ke arah pintu dan membukakan pintu untuk pria yang sudah tiga kali mengucap salam itu."Bang Sat-ya ... ada apa ya. Bang?" Widia membuka sedikit pintu rumahnya. "Boleh, aku masuk?" "Eum, tapi ibu sedang tidak ...." Baru saja Widia hendak membuat alasan supaya pria itu tak jadi masuk ke rumahnya. Dari sana ibunya mempersilakan masuk kepada pria yang masih berdiri mematung di muka pintu. "Masuk aja, Nak Satyaa!" Seru Bu. Siti dengan suara kentaranya. "Boleh kan?" Satya mengerlingkan sebelah
MDM 17"Kami pamit ya, Bu." Satya bersama Widia mencium punggung tangan Bu Siti. Sambil melangkah menuju kendaraan roda empat milik Satya. Seperti biasa, beberapa pasang mata menyoroti setiap langkah Widia. Kali ini ia harus siap-siap digunjingkan dengan kepergiannya bersama pria yang sebenarnya semua tahu bahwa pria itu adalah calon tunangan Mita, sahabatnya sendiri. Widia melirik satu per satu orang itu dengan anggukan berniat untuk menyapa mereka. Namun, mereka tak membalas baik sapaan Widia. Malah ada yang bergidik ngeri melihat tingkah Widia, ada juga yang menggelengkan kepala. Namun, sungguh ... Widia sendiri berani bersumpah atas apa pun kalau dalam lubuk hatinya tak ada sedikit pun niat untuk mengganggu hubungan sahabatnya. Selain itu, sedikit banyaknya Widia mengalami trauma atas pernikahan tidak mungkin bagi Widia untuk semudah itu melupakan perasaanya kepada Danu sang cinta pertamanya dan menerima laki-laki lain setelah perceraiannya. Dan mereka tidak akan pernah tahu aka