"Oh, mungkin maksud kamu itu, kamu bareng anak saya kan, nengokin si Widia?""Mm ... enggak, kok, Tante. Satya udah ada di sana waktu aku datang. Malah aku nggak tau loh, kalo dia lagi jengukin Widia." Mama Ami jadi sangat tidak enak hati terhadap gadis yang duduk di sebelahnya apalagi pada Bunda Lani. Seakan-akan putranya telah mencorengkan noda di wajah perempuan itu. Padahal sebagai seorang ibu, Mama Ami sering mengingatkan Satya untuk mulai serius dengan pertunangannya bersama Mita. "Duh, maaf. Maaf sekali, ya Jeng, Mit. Saya janji akan memberi peringatan lagi sama Satya." "Udah lah, Tante. Gak perlu maksa Satya juga, kasian dia. Biarkan saja anak Tante melakukan apa yang dia inginkan. Apapun itu kalau dilakukan dengan tergesa-gesa itu gak akan bener. Aku siap kok, nunggu Satya," ucap Mita. Setelah itu ia merapatkan bibirnya sambil mengangguk meyakinkan kedua wanita di hadapan dan di sampingnya. "Aku mandi dulu ya, Tante, Mah. Gerah banget panas-panasan di bawah terik matahari
"Sekarang kamu pilih mama atau istri penjahat yang terlahir dari keluarga miskin itu?" Mama Ami menyangga dagunya lalu menatap lekat kedua mata Satya. "Ma! Jangan kayak gini, lah!" Satya mulai mendengus kesal saat menerima pertanyaan dilema dari mamanya. Mana mungkin ia bisa menjawabnya asal. Pasalnya, ucapan dan keputusan seorang pria itu harus dipertanggung jawabkan. Ia tidak bisa menjamin untuk dapat meninggalkan Widia begitu saja hanya demi wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Apalagi keadaan Widia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kini, yang ada dalam pikiran Satya hanya lah bagaimana caranya supaya Widia aman dan terlindungi dari amukan warga. Tanpa sadar pria itu telah mengaggurkan wanita yang duduk di hadapannya. "Satya! Ayok, jawab! Coba ... mama mau tau apa jawaban kamu." "Maaf, Ma. Satya nggak bisa jawab pertanyaan mama." Satya beranjak dan pergi meninggalkan wanita berpakaian formal itu. "Satyaa!" teriak Mama Ami sambil berdiri. Wanita itu menggebrak meja itu
Hanya berjarak sekitar empat kilo meter saja, mereka sudah sampai di kediaman Siti. Beberapa pasang mata menyoroti tiga orang yang baru saja keluar dari mobil carry berwarna hitam. Salah satu ganjaran untuk suatu kejahatan adalah adanya sanksi sosial. Mungkin mulai hari ini dan beberapa hari ke depan baik Widia maupun ibunya akan merasakan bagaimana sanksi sosial itu berlaku. Seperti saat ini, ketika keduanya turun dari kendaraan Satya, keduanya merasa diawasi oleh beberapa pasang mata dengan sorot mata sinis. Tak sedikit di antara mereka pun saling berbisik. "Permisi, Bu ...." Wanita sepuh itu berniat membuang pikiran buruknya terhadap warga sekitar dengan cara lebih dahulu menyapa mereka sambil memapah putrinya melewati sekelompok warga yang berkumpul di warung kelontongan. Mereka tak menjawab atau mungkin lebih tepatnya tak sudi menjawab. Bu Siti yang memiliki kesabaran setipis tisu tak terima didiamkan seperti itu karena ia juga mengenal orang-orang yang duduk berjejer di sana, t
Widia sempat memohon dengan sisa suaranya yang kian serak. Namun, lagi-lagi ekspresi Widia malah membuatnya semakin cantik dalam pandangan pria pemabuk itu. Widia terus mencari cara supaya dapat melepaskan cengkraman yang mengunci tubuhnya. Sehingga terbersit pemikiran untuk menendang kelemahan pria di hadapannya. "Eugh!" Widia berhasil menendang target dengan satu kakinya hingga pria itu terjungkal ke belakang. Preman itu merasakan sakit yang teramat di bagian kelemahannya. "Kau sudah memancing emosi, sekarang kau harus menerima hukuman!" Pria itu menodongkan sebuah belati tajam tepat ke arah perempuan yang terus melangkah mundur. Sesekali ia menginjak semak berduri hingga ia berdesah kesakitan. "Kau tidak akan bisa lari kemana-mana, br*ngsek! Menyerah lah dan lakukan saja apa yang kuminta!" "Cuih, aku lebih baik mati daripada menyerahkan diri sama kamu ba*ingan!" "Mati? Sini aku bunuh kamu, karna itu kan yang kau mau?" Widia begitu ketakutan, ia terus berusaha minta tolong den
MDM 16Satu minggu setelah ditangkapnya Danu, keadaan Widia berangsur pulih. Begitu pula dengan Bu Siti yang sudah mulai berniat mengunjungi ladang hari ini. "Assalamualaikum." Terdengar suara khas seorang pria yang sudah beberapa hari ini baru terdengar lagi. Widia yang masih menyiapkan sarapan untuk ibu dan dirinya menoleh ke arah pintu. "Bang Satya. Ada apa dia ke sini lagi Bu?" Tatapan penuh tanya ia lemparkan kepada ibunda. "Buka saja, Wid!" titah Bu Siti kepada putrinya. Widia melangkah ke arah pintu dan membukakan pintu untuk pria yang sudah tiga kali mengucap salam itu."Bang Sat-ya ... ada apa ya. Bang?" Widia membuka sedikit pintu rumahnya. "Boleh, aku masuk?" "Eum, tapi ibu sedang tidak ...." Baru saja Widia hendak membuat alasan supaya pria itu tak jadi masuk ke rumahnya. Dari sana ibunya mempersilakan masuk kepada pria yang masih berdiri mematung di muka pintu. "Masuk aja, Nak Satyaa!" Seru Bu. Siti dengan suara kentaranya. "Boleh kan?" Satya mengerlingkan sebelah
MDM 17"Kami pamit ya, Bu." Satya bersama Widia mencium punggung tangan Bu Siti. Sambil melangkah menuju kendaraan roda empat milik Satya. Seperti biasa, beberapa pasang mata menyoroti setiap langkah Widia. Kali ini ia harus siap-siap digunjingkan dengan kepergiannya bersama pria yang sebenarnya semua tahu bahwa pria itu adalah calon tunangan Mita, sahabatnya sendiri. Widia melirik satu per satu orang itu dengan anggukan berniat untuk menyapa mereka. Namun, mereka tak membalas baik sapaan Widia. Malah ada yang bergidik ngeri melihat tingkah Widia, ada juga yang menggelengkan kepala. Namun, sungguh ... Widia sendiri berani bersumpah atas apa pun kalau dalam lubuk hatinya tak ada sedikit pun niat untuk mengganggu hubungan sahabatnya. Selain itu, sedikit banyaknya Widia mengalami trauma atas pernikahan tidak mungkin bagi Widia untuk semudah itu melupakan perasaanya kepada Danu sang cinta pertamanya dan menerima laki-laki lain setelah perceraiannya. Dan mereka tidak akan pernah tahu aka
"Kau tidak akan hidup tenang meski dengan pria br*ngsek itu!" Adalah kalimat mengerikan yang terus membayangi pikiran Widia. Tatapan tajam dari kedua mata merah Danu semakin membuatnya paranoid. Ia harus mulai berjaga-jaga untuk suatu hal buruk yang mungkin akan mengintainya kelak. Karena suatu saat pria yang baru saja menalaknya itu akan bebas juga. Tangan Widia bersandar, sementara tatapannya menjadi kosong. Sejak mobil melaju meninggalkan lapas 15 menit yang lalu tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia terlalu parnoid dengan ancaman Danu. "Kamu masih khawatir, Wid?" tanya Satya sambil mengemudi. Satya dapat melihat raut panik oada wajah wanita yang duduk di sampingnya. Widia tak menjawab, hanya saja kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. "Sudah lah, jangan panik. Berfikir positif saja, tindakan kamu ini gak salah. Jika kamu saja bisa menganggap cemoohan warga itu sebagai angin lalu. Terus, kenapa kamu tidak bisa melakukan itu pada ancaman Danu?" Widia tetap ber
"Ampun, Bang. Tidaak! Jangan lakukan itu" Widia terperanjat tepat pukul 15.45 WIB. Dahi Widia sudah banyak mengeluarkan peluh. Tubuhnya masih bergetar, tenggorokannya hampir kering, dan debar jantung seakan berguncang hebat. Mitos tidur selepas ashar memang berbahaya baik bagi kesehatan fisik atau pun mental. Yang terlelap di antara waktu ashar dan maghrib memang sering menyisakan kebururukan setelah itu. Ada yang dihantui dengan mimpi-mimpi aneh seperti yang dialami oleh Widia. Ada pula yang terganggu dari kesehatan fisiknya. Tak sedikit dari mereka yang merasa pusing bahkan gejala flu setelah itu. Napas Widia terasa sesak. Ia bersyukur karena itu hanya lah sebuah mimpi buruk. Wanita itu bangkit dan melirik ke ruangan dapur. Ia melangkah masuk ke sana dan menatap lekat lantai ruangan itu. Masih sangat terasa saat tubuhnya diseret Danu hingga ke halaman belakang. Situasi cuaca sangat mirip dengan yang tergambar pada mimpi. Sedikit gerimis dan beberapa kali suara kilat saling membur
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
"Thank you, Angel. Gua bisa happy-happy sebelum gua pulang ke Indonesia lagi." "Lho? Kok pulang?" tanya Angel sambil merasa mehilangan saat membayangkan Mita yang assyik diajak belanja itu memutuskan untuk pulang. "Ya. Sepertinya tugasku di Indonesi lebih penting." "Perusahaan?" Tanya Angel menebak-nebak."No. Sesuatu yang lebih penting dari apapun." Mita mengulum senyum membayangkan sebentar lagi balas dendamnya akan segera tuntas. Meskipun keadaan Widia sekarang sudah sangat memprihatinkan. Tapi, ia khawatir jika jika suatu saat kebahagiaan kembali menyapanya. Mereka pun kembali melewati malam terakhir yang indah. Suasana malam di perjalanan memberikan pemandangan yang sangat indah dan mempesona bagi Mita dan Angel. Saat ini, Mita merasa bahwa alam serta apapun yang ada di dunia ini tengah berpihak kepadanya. Sampai Haryadi pun terciduk kejahatannya sehingga ia harus mendekam di bui. Hal itu sangat menguntungkan bagi Mita karena akhirnya pria bayaran yang bisa diandalkan oleh
933Danu keluar dari rumah Widia. Melangkah pasti dengan tujuan menggebu di dadanya. Layaknya seorang pria dengan hati yang lembut namun penuh emosi. Ia mengetahui bahwa kekasihnya, Widia, telah disakiti oleh Satya dan Mita, emosi yang membara dalam hatinya tidak bisa ditahan. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, di balik rasa sakit yang mendalam itu, ada juga keinginan kuat untuk membalas perbuatan mereka. Meski memang Danu juga terlibat, mungkin ini lah yang bisa ia lakukan sebelum menghukum dirinya sendiri atas dosa yang ia lakukan kepada Widia. Danu duduk di taman yang sepi, menatap suasana malam dengan pandangan kosong. Matanya yang biasanya berbinar sekarang tampak suram, mencerminkan kepedihan hatinya. "Hei, pergi sana! Ini tempat gua!" Seorang pria pemabuk datang menghampiri Danu. Danu sedang tak ingin menghiraukan siapapun. Fokusnya hanya merenung sekaligus merencanakan langkah-langkah untuk menemui Satya dan juga Mita. Entah den
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si