"Nah, yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga." Mama Ami menghamburkan diri berlari ke arah pintu dan menyambut kedatangan keluarga Mita. Mita hadir didampingi ayah dan bundanya. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Mama Ami kepada calon menantunya dengan tatapan penuh bangga. Setiap apa yang dikenakan oleh Mita begitu istimewa di mata Mama Ami. Apalagi malam ini, Mita mengenakan gaun bermode slip dress. Gaun tanpa lengan yang memiliki potongan tali tipis atau spaghetti strap itu begitu membuat Mita tampak feminim dan menawan. Apalagi Mita mengimbangi gaun tersebut dengan pemilihan warna netral yang cenderung hangat seperti warna beige."Lho, kok, kita jadi bengong di sini. Aduh maaf, saya takjub banget sama penampilan Mita malam ini, serius," puji Mama Ami lagi yang tersadar saat mereka malah berdiri di ambang pintu untuk beberapa menit."Ya udah, yuk. Kita langsung saja ke meja makan ya. Sambil ngobrol sambil makan." Mereka pun melangkah, Mita digandeng Mama Ami. "Satya mana, Tante
Satya tersentak setelah mendengar berita yang tersiar di televisi. Lelaki itu langsung melirik mesin pemutar waktu yang terletak tak jauh dari alat elektronik audio visual itu. Satya merasa bahwa dirinya masih sempat berkunjung ke rumah Widia saat itu juga karena belum terlalu larut malam. "Maaf, semuanya. Aku harus pergi," pamit Satya kepada orang-orang yang masih duduk di meja makan. "Satya! Kau ini nggak ada sopan-sopannya. Kita ini lagi bahas hal yang lebih penting dari pada berita itu!" cegah Mama Ami sambil ikut beranjak. Kelopak mata wanita itu terbuka lebar, ia begitu dibuat marah oleh putranya. Perempuan bernama Widia itu selalu menjadi pengacau bagi rencana Mama Ami. Terlebih membuat malu sampai ke ubun-ubun. "Maaf, Ma. Maaf ya, Tante, Om, Mita!" Satya melambaikan tangan sambil pergi terburu-buru meninggalkan mereka tanpa mendengar cekalan mamanya. "Astaga, anak itu. Dia benar-benar pergi." Mama Ami panik karena acara makan malamnya benar-benar kacau dengan akhir yang be
Namun, tatapan Widia memiliki arti lain terhadap Satya setelah menempelkan benda pipih itu pada indra pendengarannya. Widia berucap beberapa kata, tak lama dari itu Widia menutup telponnya. Ia bergegas melangkah ke dekat Satya. "Kenapa sih, Bang. Kamu bikin kecewa sahabatku, Mita? Bukannya kamu sering bilang kalo ada apa-apa, aku harus lapor sama kamu. Sekarang malam-malam gini kamu datang ke sini sampe ninggalin acara penting sama keluarga Mita? Aku kan gak lapor apa-apa sama kamu, Bang!" "Jadi, Mita cerita sama kamu?""Aku gak ngerti lagi gimana caranya buat kamu jauh-jauh dari kehidupanku, Bang?" "Udah tau kan, aku ini biang masalah. Sekarang, masih aja deket-deket," sambung Widia. "Wid, denger!" Satya menghentikan omelan Widia sambil memegangi kedua lengan wanita itu. "Apa, Bang? Gak usah pegang-pegang!" Widia melepaskan diri dari pria itu. "Oke, Dengar! Aku gak ada rasa sama Mita. Aku gak mau dijodohin sama dia. Lalu, kalo aku malah milih mengkhawatirkan kalian. Apa itu sal
MDM 23"Kemana, Bu?" tanya seorang supir pribadi Mama Ami kepada wanita yang sudah duduk di belakang pengemudi. "Ikuti saja arahan saya!" Dengan berpakaian mantel hitam Mama Ami telah merias wajah dirinya dengan make up tegas yang dikombinasi oleh warna hitam pada bagian bibir, alis, hingga eye shadow supaya menambah kesan bengis dan ditakuti oleh targetnya. Mama Ami langsung mengarahkan seorang pria yang berpakaian dinas berwarna navy ke rumah Widia. Sekitar pukul 01.30 dini hari, Mama Ami start menuju kediaman Widia. Dulu, Mama Ami pernah menjemput Satya saat sedang bermain dengan almarhum Andy. Wanita itu bisa terbilang beberapa kali menjemput Satya dari sana. Tentu saja dia masih mengingat betul jalur ke rumah itu. Jalur pedesaan yang masih asri dengan lahan perkebunan bagi para petani di daerah setempat. Wanita itu memperhatikan area yang ia kira-kira itu lah tempat terjadinya bencana. Sebuah berita yang membuat Satya berani mengacaukan acara makan malamnya bersama tamu istime
"I-iya sebentar, Bu." Widia bergegas membuka pintu. Berdiri tegak seorang wanita dari kalangan orang berada di hadapan Widia. Belum apa-apa, wanita itu menatap tajam Widia, mulutnya sedikit bergerak karena beberapa kali rahang wanita itu mengetat karena emosi yang kian meletup-letup setelah melihat langsung wajah Widia. "A-ada apa, Bu?" "Ba, Bu, Ba, Bu! Jangan pura-pura gak tau ya kamu! Mana anak saya?" "Maksud, Ibu ... Bang Satya?""Ya iyaa! Tadi anak saya ke sini, kan?""I-iya, Bu," ucap Widia sambil sedikit menunduk karena panik melihat wajah bengis mamanya Satya. "Tapi, dia udah pulang, Bu." "Terus, kenapa dia belum juga pulang ke rumah saya?" "Saya benar-benar tidak tau, Bu. Maaf." "Heh, wanita ja*ang! Denger baik-baik ucapan saya! Jangan sampai kamu dekat-dekat lagi dengan anak saya! Kalau sampai saya melihat kalian berdua lagi, kau tanggung sendiri akibatnya! Saya tidak akan segan-segan memberimu pelajaran." "Ma, maksud Mama apa? Pelajaran seperti apa?" Dari belakang Ma
"Bu, aku dapet kerjaan, Bu." Widia berteriak girang memburu sosok ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. "Iya, kah?" "Iya, Bu. Sekarang juga, Widia disuruh langsung ke sana.""Wah, bagus dong. Kerja apa sih?" Tampak sedikit kerutan di dahi ibunya. "OG, Bu. Office Girl. Gampang kok, kerjanya. Kayak kita kerja di rumah aja. Cuma yang ini dapet bayaran." "Ya syukur lah," "Doain aku ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini juga aku kerja." "Iya, Wid. Aamiin. Ibu juga mau musyawarah ini sama warga desa yang lain buat bicarain lahan yang kena imbas sama banjir bandang." "Bu, kalo bisa Ibu jangan ikut rapat, ah!" "Lho, kenapa? Lahan ibu kan termasuk paling luas di sana. Paling subur. Masa ibu gak hadir. Emangnya, kenapa, kok ibu jangan pergi." "Mm ...." Widia teringat dengan cemoohan yang ia dengar langsung sewaktu malam. Ia takut ibunya juga akan dapat cemoohan yang sama."Mm, maksud aku ibu suruh aja pekerja lahan ibu, nanti kalo ibu ikut rapat, bisa-bisa ibu sesak nafas lagi. Ibu pal
Niat Widia yang semula ingin melarikan diri dari ruangan itu terhenti setelah tangan kekar menariknya masuk ke dalam ruangan berpetak berukuran 5 x 5 m². Kini, wanita itu sudah berada di dalam ruangan bersama seorang pria berpakaian formal. Celana bahan, dan kemeja abu yang dilapisi jas berwarna navy. "Silakan duduk," pinta pria itu sambil terlebih dahulu duduk di kursinya. Widia memindai ruangan tersebut. "Maaf, Pak. Kenapa tadi anda menarik saya ke sini? Ruangan yang harus saya tuju adalah ruangan enam." Widia enggan menuruti titah pria itu. Ia masih berdiri sambil mencari kesempatan untuk pergi dari tempat itu. "Tidak apa-apa, santai saja. Kami masih berkolaborasi, kok. Kamu bisa masuk ke ruangan mana saja. Mungkin, interview di ruangan enam masih belum selesai. Ayok, duduk, santai saja!" Pria yang duduk bersandar itu menatap Widia dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Meskipun penampilan Widia begitu sederhana, namun tetap saja Widia terlihat begitu menawan. Dari sana, wanita
Widia masih memeras otaknya untuk bisa melakukan sesuatu, ingin sekali ia berteriak kepada pria yang masih berkendara sejajar dengan mobil penculik. Widia dapat melihat raut cemas pada wajah Satya meski terhalang helm hitam. Detik selanjutnya mobil mercedes hitam itu melesat meninggalkan motor Satya. Widia memejamkan kedua matanya karena laju mobil begitu cepat, ternyata supir itu memilih jalur tol. Hanya ada satu cara, yaitu share lokasi. Sedari tadi pria yang membungkam mulut Widia tak sadar jika Widia masih memiliki upaya untuk itu. Widia mencari cara supaya ia bisa menghubungi Satya. Sementara ponselnya Widia terlempar dan kini berada di bawah kolong kursi jok mobil yaang ia tumpangi."Aku hanya perlu menunggu pria ini lengah," gumamnya dalam hati. Pria jahat di samping Widia sudah mulai memainkan tangan-tangan nakalnya. Ia membelai rambut Widia serta menciumi pipi dekat telinga. Widia terus berontak, sampai sengaja menyundul pria itu dengan dahinya sampai pria itu terjungkal k