"Bu, aku dapet kerjaan, Bu." Widia berteriak girang memburu sosok ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. "Iya, kah?" "Iya, Bu. Sekarang juga, Widia disuruh langsung ke sana.""Wah, bagus dong. Kerja apa sih?" Tampak sedikit kerutan di dahi ibunya. "OG, Bu. Office Girl. Gampang kok, kerjanya. Kayak kita kerja di rumah aja. Cuma yang ini dapet bayaran." "Ya syukur lah," "Doain aku ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini juga aku kerja." "Iya, Wid. Aamiin. Ibu juga mau musyawarah ini sama warga desa yang lain buat bicarain lahan yang kena imbas sama banjir bandang." "Bu, kalo bisa Ibu jangan ikut rapat, ah!" "Lho, kenapa? Lahan ibu kan termasuk paling luas di sana. Paling subur. Masa ibu gak hadir. Emangnya, kenapa, kok ibu jangan pergi." "Mm ...." Widia teringat dengan cemoohan yang ia dengar langsung sewaktu malam. Ia takut ibunya juga akan dapat cemoohan yang sama."Mm, maksud aku ibu suruh aja pekerja lahan ibu, nanti kalo ibu ikut rapat, bisa-bisa ibu sesak nafas lagi. Ibu pal
Niat Widia yang semula ingin melarikan diri dari ruangan itu terhenti setelah tangan kekar menariknya masuk ke dalam ruangan berpetak berukuran 5 x 5 m². Kini, wanita itu sudah berada di dalam ruangan bersama seorang pria berpakaian formal. Celana bahan, dan kemeja abu yang dilapisi jas berwarna navy. "Silakan duduk," pinta pria itu sambil terlebih dahulu duduk di kursinya. Widia memindai ruangan tersebut. "Maaf, Pak. Kenapa tadi anda menarik saya ke sini? Ruangan yang harus saya tuju adalah ruangan enam." Widia enggan menuruti titah pria itu. Ia masih berdiri sambil mencari kesempatan untuk pergi dari tempat itu. "Tidak apa-apa, santai saja. Kami masih berkolaborasi, kok. Kamu bisa masuk ke ruangan mana saja. Mungkin, interview di ruangan enam masih belum selesai. Ayok, duduk, santai saja!" Pria yang duduk bersandar itu menatap Widia dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Meskipun penampilan Widia begitu sederhana, namun tetap saja Widia terlihat begitu menawan. Dari sana, wanita
Widia masih memeras otaknya untuk bisa melakukan sesuatu, ingin sekali ia berteriak kepada pria yang masih berkendara sejajar dengan mobil penculik. Widia dapat melihat raut cemas pada wajah Satya meski terhalang helm hitam. Detik selanjutnya mobil mercedes hitam itu melesat meninggalkan motor Satya. Widia memejamkan kedua matanya karena laju mobil begitu cepat, ternyata supir itu memilih jalur tol. Hanya ada satu cara, yaitu share lokasi. Sedari tadi pria yang membungkam mulut Widia tak sadar jika Widia masih memiliki upaya untuk itu. Widia mencari cara supaya ia bisa menghubungi Satya. Sementara ponselnya Widia terlempar dan kini berada di bawah kolong kursi jok mobil yaang ia tumpangi."Aku hanya perlu menunggu pria ini lengah," gumamnya dalam hati. Pria jahat di samping Widia sudah mulai memainkan tangan-tangan nakalnya. Ia membelai rambut Widia serta menciumi pipi dekat telinga. Widia terus berontak, sampai sengaja menyundul pria itu dengan dahinya sampai pria itu terjungkal k
Satya mengehela napas panjang. "Oke, sudah lama juga aku tidak menghajar orang." Satya menekan sendi-sendi pada 10 jarinya dan melangkah tegas tanpa menunggu penampakan mereka. Rahangnya mulai mengetat, emosi dalam dirinya tak akan pernah padam sebelum pria itu memberi ganjaran yang setimpal seperti yang telah mereka lakukan kepada wanita tercintanya. Akhirnya, mereka berpapasan. Tiga orang pria bertubuh besar itu tersentak kaget mendapati Satya berdiri tak jauh dari kamar kedua di lantai tersebut, yakni tempat tawanan sang majikan disekap. "Siapa kamu? Sejak kapan kamu di sini?" bentak salah satu dari mereka sambil menatap ke arah Satya. Tubuh atletis Satya sempat mengecohkan mereka. Sementara Satya semakin sengaja memperlihatkan otot dengan membuka kemejanya. Dengan hanya mengenakan kaos dalam saja, otot-otot Satya mulai terlihat, urat-urat yang berwarna kebiruan tampak di balik kulitnya semakin menambah kharisma pria kuat."Dia mau bawa cewe itu kabur...wow kayanya dia bukan pria
"Hebat kalian ... dalam kondisi gua sekarang kalian malah asik-asikan berkencan. Benar-benar istri kurang ajar! Lihat saja, gua akan beri perhitungan buat kalian!" gumam Danu di dalam hatinya. Rahangnya mengetat, sorot matanya tajam, ia tak memalingkan pandangan barang sebentar pun dari wanita yang pernah menjadi teman hidupnya itu. Danu masih teringat bagaimana persaingan ketatnya dahulu antara dirinya dengan pria yang kini membonceng istrinya itu. Bagaimana sulitnya ia berpura-pura menjadi orang baik demi mendapatkan perhatian dari sang kembang desa serta mengejar mati-matian restu dari ibundanya itu. Kini, semua bagaikan angin lalu yang tak pernah lagi kembali kepadanya. Semuanya direnggut oleh keegoan dan sifat tempramen yang tak pernah mampu ia sembunyikan dari istrinya. Sampai lambat laun, istrinya menyadari bahwa Danu sudah bukan pria hebat yang ia banggakan lagi. Bahkan, mungkin sekarang perasaan cintanya sudah kian terkikis dan tak tersisa lagi. Danu membuang nafas kasar.
"Kita mampir dulu ke apotek ya." Satya menghentikan laju kendaraannya di depan apotik besar yang buka 24 jam.Widia turun dan menunggunya dengan tangan menopang pada jok motor. Kakinya terasa lemas, sementara perutnya terdengar bunyi keroncongan. Rasa sakit dibagian pergelangan kaki dan tangan pun kemudian mengecohkan pandangannya. Sehingga rasa lapar dan dahaganya hilang dalam sekejap. Widia terus memperhatikan luka lecet yang semakin memerah. Tak lama kemudian, Satya keluar dari toko obat tersebut."Ayok," ajak Satya. Pria berparas rupawan itu terengah karena sedari tadi ia tampak tergesa. "Nitip ini, ya." Pria itu juga memberikan satu kantong plastik kecil berwarna putih transaparan. Entah obat apa itu. Widia naik kembali ke posisi semula. Siap dibonceng lagi. Selain merasakan perih di pergelangan, sedari tadi wanita itu terus memikirkan Danu. Pria yang ia temui di antrian lampu merah. Ketakutan akan ancaman pria narapidana itu begitu mengganggu pikirannya. "Pegangan ya, sekarang
"Kenapa berhenti? Terusin makannya," ucap pria yang tak lelah memperhatikan Widia."Bang Danu ...," desis Widia sebelum menutup wajahnya. Satya mengerutkan dahi. Kalau tidak salah, dia mendengar wanita di sampingnya itu menyebut nama pria yang tak mungkin ada bersama mereka di sana. Ekspresi Widia yang langsung menutup wajah karena ketakutan membuat Satya penasaran dengan apa yang telah dilihatnya. Ia bangkit dan melangkah sampai ke depan etalase roti. Sambil mengecek situasi di luar toko roti itu. Namun, ia tak melihat apapun selain hujan yang mulai reda. Ia pun kembali mendekati Widia. "Wid, coba lihat aku, kamu kenapa?""Ada Bang Danu, aku takut," ucap Widia. Tangannya semakin merapat ke wajah dan sedikit gemetar. Satya mengeceknya lagi, namun tetap saja tak ada apapun di sana."Wid, Danu nggak ada di sini. Dia dipenjara!" "Nggak, Bang. Dia udah bebas, aku lihat sendiri tadi di stopan lampu merah." Satya terdiam. "Ya udah, untuk mastiin, besok aku ke lapas nya. Udah, sekarang k
"Mita, kamu di sini?" Widia terkejut karena saat dia baru saja sampai, Mita sudah ada di rumahnya. Tentu saja, Widia merasa canggung dan tidak enak pada sahabatnya itu, terlebih saat dia mengingat acara makan malam yang sempat gagal gara-gara Satya lebih memilih datang ke rumahnya."Iya, tadi aku sempat ditelpon sama ibu kamu. Jadi, aku ke sini, deh. Nggak apa-apa kan? Nggak ganggu juga kan?" tanya Mita sambil duduk tak jauh dari posisi duduk Widia. Sementara Satya masih berdiri di belakang kursi sambil menyilang tangan di depan dadanya. Satya mendelik memutar bola matanya ke atas saat mendengar pertanyaan Mita yang mulai memancing suasana kaku. "Iya, nggak apa-apa lah. Cuma kasian malem-malem kamu harus ke sini. Maaf ya, Mit," ucap Widia dengan tatapan haru. Mita tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu itu kok, nggak enak ngerepotin aku, tapi enak ngerepotin Satya." "Bukan, gitu, Mit ...." Widia menelan salivanya saat merasa salah mengucap kata. "Hem ... oya, kata ibu ka