"Hebat kalian ... dalam kondisi gua sekarang kalian malah asik-asikan berkencan. Benar-benar istri kurang ajar! Lihat saja, gua akan beri perhitungan buat kalian!" gumam Danu di dalam hatinya. Rahangnya mengetat, sorot matanya tajam, ia tak memalingkan pandangan barang sebentar pun dari wanita yang pernah menjadi teman hidupnya itu. Danu masih teringat bagaimana persaingan ketatnya dahulu antara dirinya dengan pria yang kini membonceng istrinya itu. Bagaimana sulitnya ia berpura-pura menjadi orang baik demi mendapatkan perhatian dari sang kembang desa serta mengejar mati-matian restu dari ibundanya itu. Kini, semua bagaikan angin lalu yang tak pernah lagi kembali kepadanya. Semuanya direnggut oleh keegoan dan sifat tempramen yang tak pernah mampu ia sembunyikan dari istrinya. Sampai lambat laun, istrinya menyadari bahwa Danu sudah bukan pria hebat yang ia banggakan lagi. Bahkan, mungkin sekarang perasaan cintanya sudah kian terkikis dan tak tersisa lagi. Danu membuang nafas kasar.
"Kita mampir dulu ke apotek ya." Satya menghentikan laju kendaraannya di depan apotik besar yang buka 24 jam.Widia turun dan menunggunya dengan tangan menopang pada jok motor. Kakinya terasa lemas, sementara perutnya terdengar bunyi keroncongan. Rasa sakit dibagian pergelangan kaki dan tangan pun kemudian mengecohkan pandangannya. Sehingga rasa lapar dan dahaganya hilang dalam sekejap. Widia terus memperhatikan luka lecet yang semakin memerah. Tak lama kemudian, Satya keluar dari toko obat tersebut."Ayok," ajak Satya. Pria berparas rupawan itu terengah karena sedari tadi ia tampak tergesa. "Nitip ini, ya." Pria itu juga memberikan satu kantong plastik kecil berwarna putih transaparan. Entah obat apa itu. Widia naik kembali ke posisi semula. Siap dibonceng lagi. Selain merasakan perih di pergelangan, sedari tadi wanita itu terus memikirkan Danu. Pria yang ia temui di antrian lampu merah. Ketakutan akan ancaman pria narapidana itu begitu mengganggu pikirannya. "Pegangan ya, sekarang
"Kenapa berhenti? Terusin makannya," ucap pria yang tak lelah memperhatikan Widia."Bang Danu ...," desis Widia sebelum menutup wajahnya. Satya mengerutkan dahi. Kalau tidak salah, dia mendengar wanita di sampingnya itu menyebut nama pria yang tak mungkin ada bersama mereka di sana. Ekspresi Widia yang langsung menutup wajah karena ketakutan membuat Satya penasaran dengan apa yang telah dilihatnya. Ia bangkit dan melangkah sampai ke depan etalase roti. Sambil mengecek situasi di luar toko roti itu. Namun, ia tak melihat apapun selain hujan yang mulai reda. Ia pun kembali mendekati Widia. "Wid, coba lihat aku, kamu kenapa?""Ada Bang Danu, aku takut," ucap Widia. Tangannya semakin merapat ke wajah dan sedikit gemetar. Satya mengeceknya lagi, namun tetap saja tak ada apapun di sana."Wid, Danu nggak ada di sini. Dia dipenjara!" "Nggak, Bang. Dia udah bebas, aku lihat sendiri tadi di stopan lampu merah." Satya terdiam. "Ya udah, untuk mastiin, besok aku ke lapas nya. Udah, sekarang k
"Mita, kamu di sini?" Widia terkejut karena saat dia baru saja sampai, Mita sudah ada di rumahnya. Tentu saja, Widia merasa canggung dan tidak enak pada sahabatnya itu, terlebih saat dia mengingat acara makan malam yang sempat gagal gara-gara Satya lebih memilih datang ke rumahnya."Iya, tadi aku sempat ditelpon sama ibu kamu. Jadi, aku ke sini, deh. Nggak apa-apa kan? Nggak ganggu juga kan?" tanya Mita sambil duduk tak jauh dari posisi duduk Widia. Sementara Satya masih berdiri di belakang kursi sambil menyilang tangan di depan dadanya. Satya mendelik memutar bola matanya ke atas saat mendengar pertanyaan Mita yang mulai memancing suasana kaku. "Iya, nggak apa-apa lah. Cuma kasian malem-malem kamu harus ke sini. Maaf ya, Mit," ucap Widia dengan tatapan haru. Mita tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu itu kok, nggak enak ngerepotin aku, tapi enak ngerepotin Satya." "Bukan, gitu, Mit ...." Widia menelan salivanya saat merasa salah mengucap kata. "Hem ... oya, kata ibu ka
"Dex? Eh, Danu!" "Agh," keluh Danu sambil tetap berusaha bangkit. Danu mendongak kembali dengan susah payah. "Euh, kurang ajar kau!" "Kok gua yang kurang ajar? Kenapa lu tiba-tiba nongol di depan motor gua, huh?"Danu tertunduk lagi, masih merasa sakit di bagian betis. Sembari berpikir bagaimana kalau memanfaatkan Mita atau minta pertolongan padanya. "Mit, gua minta tolong dong. Please!" Mita terdiam sesaat. Ia berfikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu. "Minta tolong apa, lu?" "Tolong carikan tempat tinggal?" "Jadi lu buronan polisi sekarang?" "Bukan, gua lagi diuber ini. Cepatlah, bawa gua pergi dari sini sekarang juga. Kalau nggak, gua bisa mati."Mita harus membawa pria buronan ini kemana? Bagaimana jika ada orang yang melihatnya bersama seorang pria jahat, bisa jadi nanti dikira temannya. Namun, tiba-tiba saja ada suatu ide yang direncanakan Mita. "Oke, gua tolongin lu sekarang. Tapi, ini gak gratis, lu harus bantu gua juga!" "Gampang!" balas Danu dengan su
"Pagi, Om," sapa Satya kepada seorang polisi senior yang berasal dari kerabatnya sendiri. "Eh, Nak Satya, ada apa nih, pagi-pagi sudah nongol aja di sini." "Em, aku mau cari informasi, Pak." "Tentang?""Itu, napi yang bernama Danu. Emang bener dia sudah bebas?" "Oh, iya, semua tuduhan sudah tidak berlaku karena kami menemukan bukti otentik tentang kebenaran barang bukti kemarin. Dan ternyata, daging itu tidak sesuai dengan sample daging manusia." "Oh gitu, kalau tentang anting Ratih?" Satya masih penasaran akan hal itu."Itu ada juga sebabnya. Yang jelas, si Danu gak bersalah tentang wanita dalam pencarian itu." "Hm, kira-kira dia kemana ya sekarang?" "Lah, ya mana saya tau, Sat." "Hehe, iya juga. Ya sudah, terima kasih atas informasinya, ya, Om." Raut khawatir mulai tampak di wajah Satya. Tentu saja, menurut Satya seorang penjahat seperti Danu sangat berbahaya berkeliaran di luar. Apalagi di tangannya membawa dendam. Kini, yang dikhawatirkannya adalah Widia. Sudah pasti Danu
"Kapan lagi aku bertemu dia di sini." Satya mempercepat langkahnya guna mencari seseorang yang ia yakini adalah sosok Danu. Sampai di lantai satu rumah sakit tersebut, Satya segera berlari keluar. Namun, sayang pria itu sudah tak nampak lagi di sana. Satya tidak begitu saja berhenti mencari, pria itu terus menyusuri jalanan yang kemungkinan dilalui oleh Danu."Aku yakin itu si Danu. Kemana perginya pria itu?" Satya kelelahan setelah berjalan setengah berlari sekitar 200 meter. Ia begitu menyesal karena rusaknya lift rumah sakit memperlambat usahanya mengejar pria berbahaya itu."Ah," desis Satya seraya memayungi rambutnya dengan telapak tangan saat tersengat panas sinar matahari. Ia pun mengambil langkah pulang menuju kamar rawat mamanya. ***"Kemana perginya?" tanya Mita yang mendapati Danu sudah tidak berada di Villa. "Saya tidak tau, Mbak. Waktu saya ke sini temen Mbak nya sudah tidak ada," jawab pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu kemana perginya pria yang diti
Derap langkah tegas terdengar dari luar kamar rawat inap Mama Ami. Saat itu, Satya masih setia menemani mamanya sambil berbaring di sofa yang tersedia di kamar tersebut. Suara langkah tersebut menganggu lelap pria itu. Mama Ami juga yang sedari tadi tidak bisa mengerjapkan kelopak matanya barang sebentar pun menoleh ke ambang pintu. "Pa ...," seru Mama Ami sambil menggerakan tubuhnya menyambut sang suami dengan senyum merekah di bibirnya. Pria berperawakan tinggi besar itu mendekati istrinya lalu duduk setelah menggeser ķursi di dekat meja. Seketika, Satya terbangun dan mengubah posisi berbaringnya dengan duduk mengawasi gerak-gerik papa barunya itu. Entah mengapa, Satya selalu berprasangka buruk kepada Haryadi--papa tirinya. Satya merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria berusia 55 tahun itu yang sampai saat ini belum diketahui. "Satya, makasih lah, kamu sudah menjaga mamamu sampai petang begini. Kalau kamu mau istirahat, istirahat saja. Biar papa yang akan menemani