"Kapan lagi aku bertemu dia di sini." Satya mempercepat langkahnya guna mencari seseorang yang ia yakini adalah sosok Danu. Sampai di lantai satu rumah sakit tersebut, Satya segera berlari keluar. Namun, sayang pria itu sudah tak nampak lagi di sana. Satya tidak begitu saja berhenti mencari, pria itu terus menyusuri jalanan yang kemungkinan dilalui oleh Danu."Aku yakin itu si Danu. Kemana perginya pria itu?" Satya kelelahan setelah berjalan setengah berlari sekitar 200 meter. Ia begitu menyesal karena rusaknya lift rumah sakit memperlambat usahanya mengejar pria berbahaya itu."Ah," desis Satya seraya memayungi rambutnya dengan telapak tangan saat tersengat panas sinar matahari. Ia pun mengambil langkah pulang menuju kamar rawat mamanya. ***"Kemana perginya?" tanya Mita yang mendapati Danu sudah tidak berada di Villa. "Saya tidak tau, Mbak. Waktu saya ke sini temen Mbak nya sudah tidak ada," jawab pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu kemana perginya pria yang diti
Derap langkah tegas terdengar dari luar kamar rawat inap Mama Ami. Saat itu, Satya masih setia menemani mamanya sambil berbaring di sofa yang tersedia di kamar tersebut. Suara langkah tersebut menganggu lelap pria itu. Mama Ami juga yang sedari tadi tidak bisa mengerjapkan kelopak matanya barang sebentar pun menoleh ke ambang pintu. "Pa ...," seru Mama Ami sambil menggerakan tubuhnya menyambut sang suami dengan senyum merekah di bibirnya. Pria berperawakan tinggi besar itu mendekati istrinya lalu duduk setelah menggeser ķursi di dekat meja. Seketika, Satya terbangun dan mengubah posisi berbaringnya dengan duduk mengawasi gerak-gerik papa barunya itu. Entah mengapa, Satya selalu berprasangka buruk kepada Haryadi--papa tirinya. Satya merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria berusia 55 tahun itu yang sampai saat ini belum diketahui. "Satya, makasih lah, kamu sudah menjaga mamamu sampai petang begini. Kalau kamu mau istirahat, istirahat saja. Biar papa yang akan menemani
Hari ini, hari yang harusnya dipenuhi mood semangat bagi Widia. Karena hari ini wanita itu akan mulai bekerja di perusahaan Ayahnya Mita sebagai office girl. Belum terbayang sedikit pun bagaimana bekerja di perusahaan itu. Meski, perasaan was-was merajai hati. Namun, Widia menyerahkan semuanya kepada yang di atas. Kemarin malam, setelah mendengarkan keluhan ibu terhadap sahabatnya. Widia langsung keluar rumah dan berbicara sedikit lantang di hadapan ibu dan sahabatnya. "Mit, aku mau kerja di perusahaan ayahmu." "Tapi, kamu kan masih trauma dengan kejadian penculikan kemarin?" timpal Bu Siti dengan perasaan tak enak terhadap putrinya. "Nggak papa, Bu. Nasib orang itu tak akan selalu sama. Semoga saja, di tempat kerja yang baru aku bisa bekerja tanpa kendala.""Ya, kalau begitu, siap ya. Besok juga kamu datang langsung ke kantor ayahku. Nanti, kamu bakal ketemu aku di sana. Tapi, mungkin gak akan setiap hari. Karena urusanku di sana hanya mengontrol saja. Pokoknya, besok kamu langsu
MDM 38Widia berjalan tergesa namun ada perasaan ragu di dalam lubuk hatinya. Bagaimana tidak, ini hari pertamanya menginjakan kaki di tempat baru dan ia akan bertemu dengan orang-orang baru. Tak sedikit beberapa pasang mata tertuju pada perempuan dengan stelan khas pelamar kerja. Atasan putih dan bawahan celana hitam. "Percaya diri, Wid. Percaya diri! Seperti yang dikatakan influencer itu. Berjalan tegap dan jangan merasa takut pada siapa pun." Widia bergumam pada dirinya sendiri. Entah ia bisa atau tidak, hanya saja jika ia tetap tinggal. Tidak akan ada jaminan dari siapapun untuk melanjutkan kehidupan selain berusaha sendiri.Hingga di mulut pintu yang terbuat dari kaca tebal non transparan Widia mengambil napas dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. "Bismillah," desisnya pelan. "Emm, permisi, Mbak." Widia menyapa seorang wanita yang tampaknya seorang resepsionis di perusahaan itu. "Iya, ada perlu apa ya?" Tatapan seorang wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu begitu
"Duh, kebiasaan ini cewek ku. Kalo nggak bikin terpesona, ya gini ... bikin aku cemas. Kemana dia belum keluar jam segini. Karyawan lain sudah bubar. Dia kemana? Mana hujan, HP nya juga gak aktif." Satya kebingungan sendiri, kemana ia harus mencari tahu tentang Widia. Pria itu sudah mencoba bertanya kepada karyawan yang kebetulan melintas di tempat Satya berteduh. Namun, dengan langkah tergesa mereka menggelengkan kepala dan menjawab, "Gak tau, gak kenal!" Sambaran petir dan suara guntur yang sempat memekakkan telinga membuat Satya terpaksa masuk ke dalam kendaraannya. "Apa dia gak jadi masuk? Gak mungkin ... Widia sendiri bilang kalau pulang cepet atau kena tolakan dia pasti ngasih kabar." Satya benar-benar dibuat cemas. Tiba-tiba saja Satya mengingat Mita. "Mita, ya ... aku gak mau tau dia harus tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan Widia." Pria itu segera menghubungi Mita seraya was-was, takut terkena sambaran petir saat mengoperasikan ponsel miliknya. "Halo, Mit. Widia belum
"Mau pulang sekarang?" tanya Satya setelah keduanya saling membisu sekitar 10 menit lamanya. Kejadian yang baru saja mereka alami berbuah kecanggungan di hati keduanya. "Emh, nggak, Bang. Eh, Mas. Aku harus membereskan ini dulu, udah itu baru bisa pulang." "Tapi ini sudah hampir magrib, Wid! Kamu mau nginep di sini? Yang benar saja." "Iya, kalo perlu aku nginep di sini, Mas. Mendapatkan pekerjaan di sini tentu lah tidak mudah. Bergadang semalam saja aku pikir tidak masalah.""Widia ... sekarang kamu tau kan bagaimana sifat asli sahabatmu itu." "Kenapa kamu jadi membahas Mita, Mas?" "Iya, maksud aku. Di mana dia sekarang saat sahabatnya kesulitan." "Mas, persahabatan itu tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Ini tanggung jawab aku, Mas gak perlu ikut campur. Kalau mau pulang, ya pulang aja!" Widia memalingkan wajahnya dari Satya. Perempuan ini merasa riskan dengan perkataan Satya yang terkesan selalu memojokkan sahabatnya. Menurut Widia, tidak ada yang lebih tahu tentang s
"Ya Allah lindungi aku dari marabahaya," desis Widia sambil menutup tubuhnya hingga kepala menggunakan selimut tebal. Hati Widia semakin gentar saat gedoran pintu rumahnya semakin kentara. "Siapa yang menggedor pintu, Bang Danu atau warga yang tidak suka dengan keberadaanku di sini?" Widia terus menebak dengan hatinya. Widia memejamkan kedua netranya dan berjanji tidak akan keluar, sebelum jelas siapa sebenarnya yang ada di depan rumahnya itu. Widia bangkit sesaat dan mengambil earphone yang masih diikat rapi dalam box ponsel pemberian Satya. Ia akan mendengarkan sholawat demi menenangkan hatinya dan meleburkan suara gedoran itu. Sambil berkumandang lirih, Widia menikmati lantunan sholawat yang dinyanyikan oleh salah seorang Ning dari sebuah pesantren. "Adem sekali suaranya, MasyaAllah ...," ucap Widia sambil terus terhanyut dalam lantunan tersebut. Dan tanpa ia sadari, suara itu telah lenyap seperti hanya sebuah teror ringan yang tak berlangsung lama. Widia sempat penasaran ketika
Perkelahian antara Satya dengan pria yang diduga ODGJ itu berlangsung sengit. Lawan Satya tampak memegang kayu balok sisa-sisa bangunan rumah Widia. Sementara, Satya hanya melawannya dengan tangan kosong. Beberapa kali, Widia menutup matanya saat melihat adegan perkelahian yang terjadi di luar rumahnya. Ia takut terjadi apa-apa dengan pahlawan hidupnya karena pria asing itu beberapa kali menghajar Satya. Meski dengan tangan kosong, Satya mampu menaklukan pria ODGJ itu dengan cara memegangi balok yang hampir mengenai bahunya saat pria itu hendak memukul Satya. Dengan kekuatannya, Satya dapat memutar balok tersebut hingga tangan pria itu melilit dan hampir patah tulang. "Siapa kamu?" teriak Satya saat ia berhasil menguasai pertahanan pria itu."Ampun, Bang ... ampun. Lepaskan saya." Pria itu menelungkupkan kedua tangannya sambil memelas.Dari permohonan pria itu, Satya sudah dapat menyimpulkan bahwa dia bukan lah ODGJ. Dia adalah pria normal yang sedang menjalankan tugas nya dari sese