"Kenapa berhenti? Terusin makannya," ucap pria yang tak lelah memperhatikan Widia."Bang Danu ...," desis Widia sebelum menutup wajahnya. Satya mengerutkan dahi. Kalau tidak salah, dia mendengar wanita di sampingnya itu menyebut nama pria yang tak mungkin ada bersama mereka di sana. Ekspresi Widia yang langsung menutup wajah karena ketakutan membuat Satya penasaran dengan apa yang telah dilihatnya. Ia bangkit dan melangkah sampai ke depan etalase roti. Sambil mengecek situasi di luar toko roti itu. Namun, ia tak melihat apapun selain hujan yang mulai reda. Ia pun kembali mendekati Widia. "Wid, coba lihat aku, kamu kenapa?""Ada Bang Danu, aku takut," ucap Widia. Tangannya semakin merapat ke wajah dan sedikit gemetar. Satya mengeceknya lagi, namun tetap saja tak ada apapun di sana."Wid, Danu nggak ada di sini. Dia dipenjara!" "Nggak, Bang. Dia udah bebas, aku lihat sendiri tadi di stopan lampu merah." Satya terdiam. "Ya udah, untuk mastiin, besok aku ke lapas nya. Udah, sekarang k
"Mita, kamu di sini?" Widia terkejut karena saat dia baru saja sampai, Mita sudah ada di rumahnya. Tentu saja, Widia merasa canggung dan tidak enak pada sahabatnya itu, terlebih saat dia mengingat acara makan malam yang sempat gagal gara-gara Satya lebih memilih datang ke rumahnya."Iya, tadi aku sempat ditelpon sama ibu kamu. Jadi, aku ke sini, deh. Nggak apa-apa kan? Nggak ganggu juga kan?" tanya Mita sambil duduk tak jauh dari posisi duduk Widia. Sementara Satya masih berdiri di belakang kursi sambil menyilang tangan di depan dadanya. Satya mendelik memutar bola matanya ke atas saat mendengar pertanyaan Mita yang mulai memancing suasana kaku. "Iya, nggak apa-apa lah. Cuma kasian malem-malem kamu harus ke sini. Maaf ya, Mit," ucap Widia dengan tatapan haru. Mita tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu itu kok, nggak enak ngerepotin aku, tapi enak ngerepotin Satya." "Bukan, gitu, Mit ...." Widia menelan salivanya saat merasa salah mengucap kata. "Hem ... oya, kata ibu ka
"Dex? Eh, Danu!" "Agh," keluh Danu sambil tetap berusaha bangkit. Danu mendongak kembali dengan susah payah. "Euh, kurang ajar kau!" "Kok gua yang kurang ajar? Kenapa lu tiba-tiba nongol di depan motor gua, huh?"Danu tertunduk lagi, masih merasa sakit di bagian betis. Sembari berpikir bagaimana kalau memanfaatkan Mita atau minta pertolongan padanya. "Mit, gua minta tolong dong. Please!" Mita terdiam sesaat. Ia berfikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu. "Minta tolong apa, lu?" "Tolong carikan tempat tinggal?" "Jadi lu buronan polisi sekarang?" "Bukan, gua lagi diuber ini. Cepatlah, bawa gua pergi dari sini sekarang juga. Kalau nggak, gua bisa mati."Mita harus membawa pria buronan ini kemana? Bagaimana jika ada orang yang melihatnya bersama seorang pria jahat, bisa jadi nanti dikira temannya. Namun, tiba-tiba saja ada suatu ide yang direncanakan Mita. "Oke, gua tolongin lu sekarang. Tapi, ini gak gratis, lu harus bantu gua juga!" "Gampang!" balas Danu dengan su
"Pagi, Om," sapa Satya kepada seorang polisi senior yang berasal dari kerabatnya sendiri. "Eh, Nak Satya, ada apa nih, pagi-pagi sudah nongol aja di sini." "Em, aku mau cari informasi, Pak." "Tentang?""Itu, napi yang bernama Danu. Emang bener dia sudah bebas?" "Oh, iya, semua tuduhan sudah tidak berlaku karena kami menemukan bukti otentik tentang kebenaran barang bukti kemarin. Dan ternyata, daging itu tidak sesuai dengan sample daging manusia." "Oh gitu, kalau tentang anting Ratih?" Satya masih penasaran akan hal itu."Itu ada juga sebabnya. Yang jelas, si Danu gak bersalah tentang wanita dalam pencarian itu." "Hm, kira-kira dia kemana ya sekarang?" "Lah, ya mana saya tau, Sat." "Hehe, iya juga. Ya sudah, terima kasih atas informasinya, ya, Om." Raut khawatir mulai tampak di wajah Satya. Tentu saja, menurut Satya seorang penjahat seperti Danu sangat berbahaya berkeliaran di luar. Apalagi di tangannya membawa dendam. Kini, yang dikhawatirkannya adalah Widia. Sudah pasti Danu
"Kapan lagi aku bertemu dia di sini." Satya mempercepat langkahnya guna mencari seseorang yang ia yakini adalah sosok Danu. Sampai di lantai satu rumah sakit tersebut, Satya segera berlari keluar. Namun, sayang pria itu sudah tak nampak lagi di sana. Satya tidak begitu saja berhenti mencari, pria itu terus menyusuri jalanan yang kemungkinan dilalui oleh Danu."Aku yakin itu si Danu. Kemana perginya pria itu?" Satya kelelahan setelah berjalan setengah berlari sekitar 200 meter. Ia begitu menyesal karena rusaknya lift rumah sakit memperlambat usahanya mengejar pria berbahaya itu."Ah," desis Satya seraya memayungi rambutnya dengan telapak tangan saat tersengat panas sinar matahari. Ia pun mengambil langkah pulang menuju kamar rawat mamanya. ***"Kemana perginya?" tanya Mita yang mendapati Danu sudah tidak berada di Villa. "Saya tidak tau, Mbak. Waktu saya ke sini temen Mbak nya sudah tidak ada," jawab pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu kemana perginya pria yang diti
Derap langkah tegas terdengar dari luar kamar rawat inap Mama Ami. Saat itu, Satya masih setia menemani mamanya sambil berbaring di sofa yang tersedia di kamar tersebut. Suara langkah tersebut menganggu lelap pria itu. Mama Ami juga yang sedari tadi tidak bisa mengerjapkan kelopak matanya barang sebentar pun menoleh ke ambang pintu. "Pa ...," seru Mama Ami sambil menggerakan tubuhnya menyambut sang suami dengan senyum merekah di bibirnya. Pria berperawakan tinggi besar itu mendekati istrinya lalu duduk setelah menggeser ķursi di dekat meja. Seketika, Satya terbangun dan mengubah posisi berbaringnya dengan duduk mengawasi gerak-gerik papa barunya itu. Entah mengapa, Satya selalu berprasangka buruk kepada Haryadi--papa tirinya. Satya merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria berusia 55 tahun itu yang sampai saat ini belum diketahui. "Satya, makasih lah, kamu sudah menjaga mamamu sampai petang begini. Kalau kamu mau istirahat, istirahat saja. Biar papa yang akan menemani
Hari ini, hari yang harusnya dipenuhi mood semangat bagi Widia. Karena hari ini wanita itu akan mulai bekerja di perusahaan Ayahnya Mita sebagai office girl. Belum terbayang sedikit pun bagaimana bekerja di perusahaan itu. Meski, perasaan was-was merajai hati. Namun, Widia menyerahkan semuanya kepada yang di atas. Kemarin malam, setelah mendengarkan keluhan ibu terhadap sahabatnya. Widia langsung keluar rumah dan berbicara sedikit lantang di hadapan ibu dan sahabatnya. "Mit, aku mau kerja di perusahaan ayahmu." "Tapi, kamu kan masih trauma dengan kejadian penculikan kemarin?" timpal Bu Siti dengan perasaan tak enak terhadap putrinya. "Nggak papa, Bu. Nasib orang itu tak akan selalu sama. Semoga saja, di tempat kerja yang baru aku bisa bekerja tanpa kendala.""Ya, kalau begitu, siap ya. Besok juga kamu datang langsung ke kantor ayahku. Nanti, kamu bakal ketemu aku di sana. Tapi, mungkin gak akan setiap hari. Karena urusanku di sana hanya mengontrol saja. Pokoknya, besok kamu langsu
MDM 38Widia berjalan tergesa namun ada perasaan ragu di dalam lubuk hatinya. Bagaimana tidak, ini hari pertamanya menginjakan kaki di tempat baru dan ia akan bertemu dengan orang-orang baru. Tak sedikit beberapa pasang mata tertuju pada perempuan dengan stelan khas pelamar kerja. Atasan putih dan bawahan celana hitam. "Percaya diri, Wid. Percaya diri! Seperti yang dikatakan influencer itu. Berjalan tegap dan jangan merasa takut pada siapa pun." Widia bergumam pada dirinya sendiri. Entah ia bisa atau tidak, hanya saja jika ia tetap tinggal. Tidak akan ada jaminan dari siapapun untuk melanjutkan kehidupan selain berusaha sendiri.Hingga di mulut pintu yang terbuat dari kaca tebal non transparan Widia mengambil napas dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. "Bismillah," desisnya pelan. "Emm, permisi, Mbak." Widia menyapa seorang wanita yang tampaknya seorang resepsionis di perusahaan itu. "Iya, ada perlu apa ya?" Tatapan seorang wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu begitu