Widia sempat memohon dengan sisa suaranya yang kian serak. Namun, lagi-lagi ekspresi Widia malah membuatnya semakin cantik dalam pandangan pria pemabuk itu. Widia terus mencari cara supaya dapat melepaskan cengkraman yang mengunci tubuhnya. Sehingga terbersit pemikiran untuk menendang kelemahan pria di hadapannya. "Eugh!" Widia berhasil menendang target dengan satu kakinya hingga pria itu terjungkal ke belakang. Preman itu merasakan sakit yang teramat di bagian kelemahannya. "Kau sudah memancing emosi, sekarang kau harus menerima hukuman!" Pria itu menodongkan sebuah belati tajam tepat ke arah perempuan yang terus melangkah mundur. Sesekali ia menginjak semak berduri hingga ia berdesah kesakitan. "Kau tidak akan bisa lari kemana-mana, br*ngsek! Menyerah lah dan lakukan saja apa yang kuminta!" "Cuih, aku lebih baik mati daripada menyerahkan diri sama kamu ba*ingan!" "Mati? Sini aku bunuh kamu, karna itu kan yang kau mau?" Widia begitu ketakutan, ia terus berusaha minta tolong den
MDM 16Satu minggu setelah ditangkapnya Danu, keadaan Widia berangsur pulih. Begitu pula dengan Bu Siti yang sudah mulai berniat mengunjungi ladang hari ini. "Assalamualaikum." Terdengar suara khas seorang pria yang sudah beberapa hari ini baru terdengar lagi. Widia yang masih menyiapkan sarapan untuk ibu dan dirinya menoleh ke arah pintu. "Bang Satya. Ada apa dia ke sini lagi Bu?" Tatapan penuh tanya ia lemparkan kepada ibunda. "Buka saja, Wid!" titah Bu Siti kepada putrinya. Widia melangkah ke arah pintu dan membukakan pintu untuk pria yang sudah tiga kali mengucap salam itu."Bang Sat-ya ... ada apa ya. Bang?" Widia membuka sedikit pintu rumahnya. "Boleh, aku masuk?" "Eum, tapi ibu sedang tidak ...." Baru saja Widia hendak membuat alasan supaya pria itu tak jadi masuk ke rumahnya. Dari sana ibunya mempersilakan masuk kepada pria yang masih berdiri mematung di muka pintu. "Masuk aja, Nak Satyaa!" Seru Bu. Siti dengan suara kentaranya. "Boleh kan?" Satya mengerlingkan sebelah
MDM 17"Kami pamit ya, Bu." Satya bersama Widia mencium punggung tangan Bu Siti. Sambil melangkah menuju kendaraan roda empat milik Satya. Seperti biasa, beberapa pasang mata menyoroti setiap langkah Widia. Kali ini ia harus siap-siap digunjingkan dengan kepergiannya bersama pria yang sebenarnya semua tahu bahwa pria itu adalah calon tunangan Mita, sahabatnya sendiri. Widia melirik satu per satu orang itu dengan anggukan berniat untuk menyapa mereka. Namun, mereka tak membalas baik sapaan Widia. Malah ada yang bergidik ngeri melihat tingkah Widia, ada juga yang menggelengkan kepala. Namun, sungguh ... Widia sendiri berani bersumpah atas apa pun kalau dalam lubuk hatinya tak ada sedikit pun niat untuk mengganggu hubungan sahabatnya. Selain itu, sedikit banyaknya Widia mengalami trauma atas pernikahan tidak mungkin bagi Widia untuk semudah itu melupakan perasaanya kepada Danu sang cinta pertamanya dan menerima laki-laki lain setelah perceraiannya. Dan mereka tidak akan pernah tahu aka
"Kau tidak akan hidup tenang meski dengan pria br*ngsek itu!" Adalah kalimat mengerikan yang terus membayangi pikiran Widia. Tatapan tajam dari kedua mata merah Danu semakin membuatnya paranoid. Ia harus mulai berjaga-jaga untuk suatu hal buruk yang mungkin akan mengintainya kelak. Karena suatu saat pria yang baru saja menalaknya itu akan bebas juga. Tangan Widia bersandar, sementara tatapannya menjadi kosong. Sejak mobil melaju meninggalkan lapas 15 menit yang lalu tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia terlalu parnoid dengan ancaman Danu. "Kamu masih khawatir, Wid?" tanya Satya sambil mengemudi. Satya dapat melihat raut panik oada wajah wanita yang duduk di sampingnya. Widia tak menjawab, hanya saja kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. "Sudah lah, jangan panik. Berfikir positif saja, tindakan kamu ini gak salah. Jika kamu saja bisa menganggap cemoohan warga itu sebagai angin lalu. Terus, kenapa kamu tidak bisa melakukan itu pada ancaman Danu?" Widia tetap ber
"Ampun, Bang. Tidaak! Jangan lakukan itu" Widia terperanjat tepat pukul 15.45 WIB. Dahi Widia sudah banyak mengeluarkan peluh. Tubuhnya masih bergetar, tenggorokannya hampir kering, dan debar jantung seakan berguncang hebat. Mitos tidur selepas ashar memang berbahaya baik bagi kesehatan fisik atau pun mental. Yang terlelap di antara waktu ashar dan maghrib memang sering menyisakan kebururukan setelah itu. Ada yang dihantui dengan mimpi-mimpi aneh seperti yang dialami oleh Widia. Ada pula yang terganggu dari kesehatan fisiknya. Tak sedikit dari mereka yang merasa pusing bahkan gejala flu setelah itu. Napas Widia terasa sesak. Ia bersyukur karena itu hanya lah sebuah mimpi buruk. Wanita itu bangkit dan melirik ke ruangan dapur. Ia melangkah masuk ke sana dan menatap lekat lantai ruangan itu. Masih sangat terasa saat tubuhnya diseret Danu hingga ke halaman belakang. Situasi cuaca sangat mirip dengan yang tergambar pada mimpi. Sedikit gerimis dan beberapa kali suara kilat saling membur
"Nah, yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga." Mama Ami menghamburkan diri berlari ke arah pintu dan menyambut kedatangan keluarga Mita. Mita hadir didampingi ayah dan bundanya. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Mama Ami kepada calon menantunya dengan tatapan penuh bangga. Setiap apa yang dikenakan oleh Mita begitu istimewa di mata Mama Ami. Apalagi malam ini, Mita mengenakan gaun bermode slip dress. Gaun tanpa lengan yang memiliki potongan tali tipis atau spaghetti strap itu begitu membuat Mita tampak feminim dan menawan. Apalagi Mita mengimbangi gaun tersebut dengan pemilihan warna netral yang cenderung hangat seperti warna beige."Lho, kok, kita jadi bengong di sini. Aduh maaf, saya takjub banget sama penampilan Mita malam ini, serius," puji Mama Ami lagi yang tersadar saat mereka malah berdiri di ambang pintu untuk beberapa menit."Ya udah, yuk. Kita langsung saja ke meja makan ya. Sambil ngobrol sambil makan." Mereka pun melangkah, Mita digandeng Mama Ami. "Satya mana, Tante
Satya tersentak setelah mendengar berita yang tersiar di televisi. Lelaki itu langsung melirik mesin pemutar waktu yang terletak tak jauh dari alat elektronik audio visual itu. Satya merasa bahwa dirinya masih sempat berkunjung ke rumah Widia saat itu juga karena belum terlalu larut malam. "Maaf, semuanya. Aku harus pergi," pamit Satya kepada orang-orang yang masih duduk di meja makan. "Satya! Kau ini nggak ada sopan-sopannya. Kita ini lagi bahas hal yang lebih penting dari pada berita itu!" cegah Mama Ami sambil ikut beranjak. Kelopak mata wanita itu terbuka lebar, ia begitu dibuat marah oleh putranya. Perempuan bernama Widia itu selalu menjadi pengacau bagi rencana Mama Ami. Terlebih membuat malu sampai ke ubun-ubun. "Maaf, Ma. Maaf ya, Tante, Om, Mita!" Satya melambaikan tangan sambil pergi terburu-buru meninggalkan mereka tanpa mendengar cekalan mamanya. "Astaga, anak itu. Dia benar-benar pergi." Mama Ami panik karena acara makan malamnya benar-benar kacau dengan akhir yang be
Namun, tatapan Widia memiliki arti lain terhadap Satya setelah menempelkan benda pipih itu pada indra pendengarannya. Widia berucap beberapa kata, tak lama dari itu Widia menutup telponnya. Ia bergegas melangkah ke dekat Satya. "Kenapa sih, Bang. Kamu bikin kecewa sahabatku, Mita? Bukannya kamu sering bilang kalo ada apa-apa, aku harus lapor sama kamu. Sekarang malam-malam gini kamu datang ke sini sampe ninggalin acara penting sama keluarga Mita? Aku kan gak lapor apa-apa sama kamu, Bang!" "Jadi, Mita cerita sama kamu?""Aku gak ngerti lagi gimana caranya buat kamu jauh-jauh dari kehidupanku, Bang?" "Udah tau kan, aku ini biang masalah. Sekarang, masih aja deket-deket," sambung Widia. "Wid, denger!" Satya menghentikan omelan Widia sambil memegangi kedua lengan wanita itu. "Apa, Bang? Gak usah pegang-pegang!" Widia melepaskan diri dari pria itu. "Oke, Dengar! Aku gak ada rasa sama Mita. Aku gak mau dijodohin sama dia. Lalu, kalo aku malah milih mengkhawatirkan kalian. Apa itu sal