Share

Tato Bunga

"Mari duduk, Pak," sambut perempuan berusia lanjut kepada pria berseragam coklat lengkap dengan senjata api yang bertenteng menempel di pinggang pria itu.

"Jadi bagaimana, Pak? Anak saya sudah menghilang lama sekali. Sedangkan, anda-anda ini baru mengunjungi kami." Belum juga dua petugas polisi itu duduk di kursi teras. Seorang pria renta--orangtua Ratih--menodong pertanyaan sarkas kepada mereka. 

"Pak, sabar! Biarkan mereka duduk dulu," cela istri dari pria renta itu sambil mengusap dada kurus suaminya. 

"Maafkan kami, sebenarnya kasus hilangnya saudari Ratih ini sudah kami tangani. Namun, kami mohon maaf karena  sampai detik ini belum jua mendapatkan titik terang. Maka dari itu, kedatangan kami disini adalah untuk meminjam tanda pengenal saudari Ratih lebih detail. Seperti foto misalnya." 

"Oh, foto. Ada, Pak," sahut ibundanya Ratih dengan begitu antusias. 

"Boleh saya lihat?" 

"Tentu saja. Sebentar, Pak." Wanita yang memiliki rambut didominasi warna putih itu segera masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa lembar foto milik Ratih. Kemudian, ia pun memperlihatkannya kepada dua petugas kepolisian. 

"Oke, oke." Salah satu petugas manggut-manggut saat melihat foto Ratih yang berpakaian sexi dengan hanya mengenakan celana hotpants berwarna navy dan kaos atasan pendek berwarna putih. 

"Coba, Pak. Boleh kami ikut melihat foto itu?" tanya seorang warga yang rumahnya tak jauh dengan rumah yang dihuni oleh kedua orang tua Ratih.

"Oh, iya. Silakan." Pria yang tampak berwibawa itu mengulurkan tangannya. Foto itu sudah berada di tangan para tetangga dekat Ratih. Selayaknya ibu-ibu ada saja cibiran yang keluar dari mulut mereka saat melihat foto sexi itu. Sampai mereka tak sadar jika di belakang ada seorang warga yang tengah berusaha mendekat untuk ikut melihat foto tersebut. 

Beberapa detik kemudian, suara benda jatuh yakni tiga box makanan dalam styrofoam itu mengejutkan mereka yang tengah berkerumun. Tentu saja tatapan reflek warga dan kedua polisi itu terfokus pada kedua tangan Widia yang tengah dilanda kepanikan. Hal tersebut dapat dilihat dari kedua tangannya yang bergetar. Juga raut wajah yang tak luput dari kepanikan.

"Ma-maafkan saya," ucap Widia terbata. 

"Bu Widia, sejak kapan kamu ke sini? Tumben juga ikut nimbrung?" 

"Maaf, maafkan saya kalau sudah membuat kekacauan." Widia panik sendiri, tatapannya terus menunduk tak berani melihat orang-orang di hadapannya. Untuk membuang kepanikan, Widia segera memunguti tiga box makanan yang tersisa dan segera memasukannya lagi ke dalam kantong keresek putih. 

Sungguh, saat ini jantung Widia berdegup sangat kencang. Aliran darahnya seakan naik sehingga membuat dirinya tak mampu mengontrol diri. Hal ini terjadi disebabkan oleh gambar tato pada paha wanita yang sedang dalam pencarian itu. Bayang-bayang daging dalam keresek yang ia sembunyikan di belakang pohon pisang pun kini menghantuinya. Bagaimana tidak, gambar tato yang sama terpampang jelas dalam foto tersebut. 

"Saya lupa tidak sarapan, mungkin asam lambung saya naik lagi. Saya pamit, maafkan saya." Widia bergegas pergi.

"Huh, dasar wanita anti sosial. Dilihatin sedikit gemetarnya minta ampun. Dia tremor kan pasti, bukan semata-mata dia sedang kelaparan." 

"Ahh, entahlah," jawab wanita di samping orang yang mencibir kelakukan Widia. 

"Boleh kami minta fotonya kembali?" tanya pria bersenjata itu dengan sopan. Warga yang tengah memegang foto Ratih segera mengulurkannya kembali kepada pihak berwajib. 

***

Sementara, Widia tengah berusaha berjalan setengah berlari. Perasaan takutnya dikejar para polisi itu membuat langkah kakinya tergesa. Dan akhirmya Widia masuk ke dalam rumah dengan perasaan lega karena untuk sementara dia aman. Sebab kedua polisi itu tak lantas mengejar dan mengintrogasinya.

"Astaghfirullah, mengapa rasanya aku sedang dikejar-kejar rasa bersalah yang teramat parah?" desis Widia sambil mengelus dadanya berulang kali.

"Kenapa kau?" tanya Danu saat melihat istrinya panik sementara nafasnya pun masih terengah. 

"Kenapa box-nya masih tersisa?" Danu beranjak dari duduknya lalu melangkah mendekati Widia. 

"Ini, aku sisain buat ibu," jawab Widia sambil mengangkat sedikit kantong keresek itu. Wanita itu membuat jawaban asal supaya diijinkan pulang ke rumah orang tuanya untuk menenangkan diri beberapa saat saja.

"Bolehkan aku ke rumah ibu?" tanya Widia ragu. 

"Hm. Lantas, kenapa kau panik sekali?" tanya Danu penasaran dengan kondisi Widia.

"Ada polisi di rumah Ratih." 

"Ratih?" Kedu netra Danu sempat melebar mendengar nama Ratih. 

"Iya, Ratih. Sudah delapan bulan wanita itu menghilang dari kampung ini." Widia berjalan melewati posisi berdirinya Danu. Sampai ia tak sengaja menabrak lengan tubuh Danu yang menghalangi jalan. Widia ingin tahu bagaimana reaksi pria jahat itu setelah mendengar nama Ratih. Yang kemungkinan besar telah menjadi korbannya. 

"Dia pergi sehari setelah Abang merantau." 

"Kenapa sekarang kau kait-kaitkan dengan keberangkatanku?" Jiwa Danu mulai terusik dan seakan mengetahui maksud dan tujuan istrinya yang memang sudah tampak curiga.

"Eum, aku cuma mengingat hari keberangkatannya, itu saja." Widia berusaha memalingkan pandangannya dengan cara mengelap debu pada guci kecil di lemari kaca dengan selembar tissue.

Danu melangkah mendekati istrinya. Berdiri tak jauh dari tegak perempuan itu. Ia membelai rambut sang istri sambil berbisik.

"Apa kau berpikir bahwa daging yang kau masak itu ... adalah daging perempuan yang hilang itu?" Danu semakin memancing ekspresi Widia. Kini, keadaannya menjadi terbalik. Widia yang memiliki niat memancing ekspresi suaminya malah dirinya sendiri yang terjebak dalam pertanyaan Danu. 

"Memangnya, Abang kenal dengan Ratih? Apa hubungan kalian sebenarnya? Apakah sebenarnya, Abang yang telah menghilangkan jejak Ratih? Ngaku, Bang!" Widia tak mau kalah, meski dadanya mulai sesak, kedua netranya mulai berkaca akibat memaksakan diri melawan sang suami kasar itu dengan suara bernada tinggi untuk pertama kalinya selama menjalin bahtera rumah tangga.

"Ha ha ha, sejauh itu kau berpikir tentang suamimu ini, hah? Kurang ajar!" 

"Plakk!!" Tamparan keras mendarat di pipi Widia. Perempuan itu tersungkur di samping lemari kaca. Sikutnya sedikit tergores material tajam pada sudut lemari kaca.

Walaupun sakit, Widia merasa lega karena dirinya mampu melawan sang suami. Meski, hanya dengan kalimat yang membuat pria itu marah. Karena pada akhirnya, lambat laun Widia juga merasa bahwa dirinya harus mengungkap kejahatan sang suami. Tak salah jika Widia memulainya dari sekarang. 

Sebenarnya, kecurigaan Widia muncul sejak jauh-jauh hari. Dulu, setiap pulang dari rantauan. Danu sering membawa barang-barang mahal. Seperti perhiasan kalung, cincin, dan bahkan sejumlah uang yang katanya hasil dari kuli tambang minyak. Namun, pada saat bersamaan tiga  kawan seperjuangannya malah resign dari pekerjaan itu dan memilih bekerja serabutan di kampung halaman. Katanya, penghasilan di sana tak sepadan dengan keringat yang mereka peras. Bahkan untuk  makan di perantauan saja tak cukup apalagi sampai membeli dan membawa pulang perhiasan mewah.

Awalnya Widia tak menghiraukan hal itu. Widia mencoba berbaik sangka, mungkin saja Danu memang mendapatkan gaji yang berbeda dari yang lainnya atau mendapatkan jabatan lebih tinggi dari pada mereka. Dan ketika tabungan Widia terkumpul untuk membangun rumah sederhana. Danu bersama Widia sepakat membelanjakan tabungan itu untuk membangun rumah permanen.

Tiba-tiba kabar burung pun menghampiri Widia. Istri dari salah seorang kawan seperjuangan Danu itu memberi tahu bahwa selama di rantauan Danu sering kepergok ganti-ganti perempuan. Widia tak begitu saja percaya dengan kabar tersebut. Ia sampai mengajukan permintaan untuk dapat berkomunikasi dengan perempuan yang katanya dekat dengan Danu sebagai perantaranya adalah suami dari pemberi kabar itu. Namun, kawannya Danu sama sekali tak bisa memberikan bukti apa-apa. Pria itu malah memberi keterangan tak masuk akal. Bahwa beberapa wanita yang pernah dekat dengan Danu selalu tak ada jejaknya. Hilang entah kemana. Maka, Widia pun menyimpulkan bahwa pria itu hanya menghasud dirinya dengan memfitnah suaminya tanpa bukti.

Meskipun memiliki watak tempramental, Danu juga terkenal pria paling tampan di kampung itu. Tentu saja, tak aneh jika beberapa wanita datang mendekat dan menggoda Danu di rantauan. Widia hanya memakluminya tanpa percaya jika Danu sampai berselingkuh apalagi sampai menghilangkan jejak para perempuan itu.

Namun, sejak berita hilangnya wanita bernama Ratih dan buah tangan berupa daging misterius itu. Pun percakapan tunggal yang dilakukan suaminya dengan menyebut nama Ratih di depan rebusan daging itu membuat Widia overthingking hingga kini. Sampai ia bertekad untuk mengungkap kejahatan suaminya. Untuk sikap tempramen, Widia masih bisa bersabar. Tetapi, ia tak akan terima jika suaminya berselingkuh bahkan sampai membunuh seseorang. 

"Sekarang kau mulai berani meninggikan suara, hm? Aku ingatkan kau, jangan main-main dengan suamimu ini. Karena aku bisa kapan saja membuat nasibmu seperti wanita-wanita murahan yang hilang itu!" Danu meremas bahu istrinya lalu mendorong tubuh wanita itu hingga terhentak ke dinding.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status