"Wid, Widia ... buka pintunya! Cepat!" Suara ketukan pintu dan juga suara keras Danu berhasil membuat Widia seketika terjaga dari lelapnya yang baru 30 menit itu.
"Bang Danu, benarkah itu suara dia?" Di keheningan malam tentu lah ada sedikit rasa takut dan waspada bagi seorang wanita yang hanya tinggal sendiri di rumah nya. Rumah yang baru saja dibangun itu terletak 200 meter dari pemukiman warga. Danu --suami Widia-- sengaja memilih tempat yang agak berjarak supaya istrinya tidak banyak bergaul dengan warga lain.
"Widia ...!" teriak Danu semakin keras. Dia terus menggedor pintu begitu menggemparkan.
"I-iya, Bang. Sebentar," sahut wanita yang mengenakan daster kusut itu bergegas bangkit dari ranjang besinya. Menyambut sang suami yang sudah delapan bulan tak pulang. Delapan bulan yang lalu pria itu pergi merantau ke pulau seberang untuk bekerja di tambang minyak.
Langkah Widia terhenti di depan pintu, tangannya sedikit gemetar saat membuka slot kunci. Meski belum terlihat, wajah garang penuh amarah sudah terbayang oleh istrinya. Saat pria di balik pintu itu menyadari bahwa pintunya sudah bisa dibuka, ia mendorong kasar pintu tersebut sehingga Widia hampir terjungkal.
"Lama sekali sih? Kau tak kenal suara suami sendiri, hm? Atau kau sedang menyembunyikan pria lain di rumah ini?" Kedua bola mata Danu membulat sempurna, rahangnya mengeras seperti hendak menerkam perempuan di hadapannya.
"Maaf, Bang. Aku hanya waspada, takutnya perampok atau orang jahat yang mengetuk pintu."
"Waspada, waspada. Aku tau kau ini terlalu nyenyak tidur. Memangnya kau bisa menyembunyikan mata merahmu itu, dasar pembohong." Wanita itu menunduk. Suaminya terlalu teliti untuk bisa ia kelabui.
"Nyalakan kompor! Masak daging ini sekarang juga!" bentak Danu menjatuhkan satu kantong keresek hitam tebal ukuran 40 dan hampir mengenai sebelah kaki Widia. Perempuan itu mengikat rambutnya yang sebelumnya terurai sepunggung. Tubuhnya merengkuh mengambil dan membuka ikatan keresek tersebut.
Seketika angan Widia terlonjak kaget melihat tumpukan daging tanpa tulang di dalam keresek hitam itu. Widia menutup hidung, kepalanya mulai pusing. Ia benar-benar diuji kesabaran oleh suaminya. Sudah tahu bahwa Widia bukan penyuka daging. Namun, Danu seolah amnesia akan hal itu bahkan pura-pura tidak tahu.
"Huek!" Akhirnya, rasa tak enak dari dalam perut perlahan merambat sampai ke kerongkongan Widia. Ia sudah tak tahan lagi menahan mual sampai mulutnya pun mulai bereaksi.
"Heh, Wid! Sampai kapan kau seperti itu di sana hah? Cepat masak sekarang juga!"
"Tapi, Bang. Kalau masak sekarang, bumbu-bumbunya nggak ada. Sedangkan yang punya warung sudah terlelap jam segini," ucap Widia masih berusaha menutup hidungnya supaya tidak mencium bau amis.
"Kalau nunggu besok, daging itu semakin bau. Kau bisa merebusnya dulu malam ini. Kau ini, begitu saja mesti aku ajari." Danu berlalu setelah mengganti pakaiannya ke luar rumah sambil memantik api di depan lintingan nikotin yang menyelip di sela jarinya. Sanggup tidak sanggup, Widia tetap harus menjalankan titah suaminya itu. Sambil memproses daging bawaan suaminya itu, Widia sempat menerka daging hewan apa yang dibawa Danu. Tampilan dan teksturnya baru kali ini ia lihat. Namun, Widia tak memikirkannya secara berlanjut. Secepat mungkin ia mengerjakan tugasnya. Selain ia tahu watak sang suami yang tempramen itu, Widia juga tak mau berlama-lama dengan hal yang tidak ia sukai.
Usai mengolah bawaan Danu, perempuan itu mengganti pakaiannya lalu menemui suaminya di teras rumah.
"Ini, Bang. Kopinya," ucap Widia meletakan segelas kopi hitam. Seburuk apapun sikap suami, ia tetap menampakan pelayanan terbaik meski sering kali tak dihargai. Diam-diam, Widia duduk di samping pria itu.
"Bang, i-itu yang tadi. Daging apa ya? Kok, perasaan aku baru melihat tampilannya."
"Daging babi," jawabnya enteng.
"Astagfirullah, itu kan haram, Bang."
"Haram itu kalau kau memakannya sebagai orang yang patuh agama. Kalau kau tak merasa begitu, ya biasa saja."
"Maksud, Abang?" Sebenarnya ia tak berani menyelah, namun ia penasaran juga. Jangan-jangan selama merantau Danu sudah bukan muslim lagi.
"Kau pikir saja lah, sendiri. Aku males ngejelasin sama istri yang kurang pintar seperti kamu, pasti kau akan tanya lagi. Maksud, Abang? Maksud, Abang? Apa nggak lelah? Sudahlah, jangan kau bahas lagi daging apa itu. Kalau kau cerewet, aku sumpelin juga daging itu ke mulutmu supaya mingkem."
Dada Widia kembung kempis menahan semua rasa yang menyergapi. Marah, kesal, sedih, dan penasaran. Namun, apa daya. Daripada ancaman suaminya menjadi nyata, Widia memilih diam tak mau bersuara lagi.
"Selama aku pergi, apa yang diributkan di kampung ini?" tanya Danu di sela-sela menghisap batang rokok yang tinggal separuh itu.
"Eum, aku tidak tau, Bang. Karena aku jarang keluar rumah. Paling keluar cuma buat beli bumbu dan keperluan lain di warung terdekat." Sebenarnya, banyak yang ingin ia keluhkan kepada sang suami tentang tanggapan masyarakat kepada keluarga kecilnya. Meski terdengar samar, Widia bersama Danu sering menjadi cibiran dengan julukan mahluk anti sosial. Karena Widia tahu watak suami yang mudah tersinggung bisa saja mengamuk. Maka, ia memilih tak mengungkapkannya. Widia lebih suka mencari aman.
"Mulai besok, kau keluar saja. Gabung sama mereka. Tak perlu mengurung diri seperti pintaku sebelumnya. Dan ingat, rekam semua yang keluar dari mulut mereka." Setelah menoleh ke arah istrinya, ia meluruskan kembali pandangannya menerawang ke angkasa hitam sambil menghisap asap rokok.
Widia terdiam, berusaha mencerna apa yang disampaikan suaminya. Meskipun ia tak tahu maksud dan tujuan pria itu.
"Ba-baik, Bang." Widia mengiyakan meski ragu untuk menjalankannya esok hari.
"Kau simpan dimana daging itu?"
"Di panci, Bang. Baru aku rebus setengah matang."
"Ya sudah, lanjut tidur saja sana!"
"Hm," desis Widia menghela nafas lega. Ia bersyukur karena suaminya tidak meminta ditemani sepanjang malam. Ia pun beranjak dan melangkah gontai kembali ke dalam kamar.
Di kamar, pakaian Danu yang dipakai saat pulang dari rantauan berserakan di lantai. Widia memunguti pakaian itu sambil menjauhkan indra penciumannya. Seketika bau amis menyeruak ke rongga hidung. Percis sekali dengan bau yang ia hirup saat membuka kantong keresek hitam berisi daging aneh.
Widia kembali membuka pintu kamarnya. Ia berniat menyimpan pakaian kotor itu ke keranjang cucian. Posisi kamar mandi dan dapur masih dalam satu ruangan. Saat kaki Widia berada di ambang pintu ruangan itu. Danu sudah lebih dahulu berada di sana. Menghadap ke panci berisi rebusan daging setengah matang, membelakangi posisi Widia, dan berkata.
"Sekarang, kau sudah merasakan hukuman atas ancamanmu itu, Ratih."
Kedua netra milik Widia terbelalak. Hatinya penuh tanya, mengapa suaminya mengucapkan nama 'Ratih'. Saat itu pula, Widia membayangkan sosok pemilik nama itu. Seorang gadis yang beralamat masih satu kampung dengannya. Kini, gadis bernama Ratih itu pun tengah hangat-hangatnya menjadi buah bibir warga kampung sebab kepergiannya yang mendadak sehari setelah Bang Danu pergi merantau. Dan sampai saat ini, gadis itu belum jua kembali.
Widia masih berdiri terpaku di ambang pintu. Tangan yang masih memegangi satu stel pakaian milik sang suami pun ikut bergetar merasakan kecurigaan di dalam benaknya. "Ratih ... jangan-jangan daging yang baru pertama kali kulihat itu adalah daging manusia?" Overthingking segera menyergap hati sanubari pun insting seorang istri terhadap gelagat aneh suaminya itu. Rasa tak enak di rongga mulut Widia kembali. Isi pikiran dan indra pengecapnya merasakan hal yang sama. Jijik dengan daging aneh itu. "Huek ...." Widia tak kuasa menahan mual di mulutnya. Sebisa mungkin ia menahan reaksi menyebalkan itu supaya tak terulang untuk yang kedua kalinya. Tiba-tiba, Danu melirik ke belakang. Berjalan perlahan mendekati posisi tegak Widia. Danu sudah paham betul dengan gelagat istrinya. Jika, beberapa bagian tubuh Widia gemetar pasti perasaan atau pikiran wanita itu sedang terganggu. "Kenapa kau? Sakit?" Tatapan penuh selidik bak mengancam keselamatan Widia. "A--aku tak apa, mungkin aku hanya m
"Mari duduk, Pak," sambut perempuan berusia lanjut kepada pria berseragam coklat lengkap dengan senjata api yang bertenteng menempel di pinggang pria itu. "Jadi bagaimana, Pak? Anak saya sudah menghilang lama sekali. Sedangkan, anda-anda ini baru mengunjungi kami." Belum juga dua petugas polisi itu duduk di kursi teras. Seorang pria renta--orangtua Ratih--menodong pertanyaan sarkas kepada mereka. "Pak, sabar! Biarkan mereka duduk dulu," cela istri dari pria renta itu sambil mengusap dada kurus suaminya. "Maafkan kami, sebenarnya kasus hilangnya saudari Ratih ini sudah kami tangani. Namun, kami mohon maaf karena sampai detik ini belum jua mendapatkan titik terang. Maka dari itu, kedatangan kami disini adalah untuk meminjam tanda pengenal saudari Ratih lebih detail. Seperti foto misalnya." "Oh, foto. Ada, Pak," sahut ibundanya Ratih dengan begitu antusias. "Boleh saya lihat?" "Tentu saja. Sebentar, Pak." Wanita yang memiliki rambut didominasi warna putih itu segera masuk ke
MDM 4 Isak tangis tampak di mimik wajah Widia pagi ini. Ia begitu dirundung kepedihan oleh sikap kasar pun ancaman yang dilontarkan pria yang sudah tiga tahun menjadi imam rumah tangga baginya. Beberapa kali, jemari gemetar itu menyeka bulir bening yang lolos tak tertahankan lagi. "Aku tidak boleh begini, aku harus kuat," desis Widia menyeka tuntas pipi basahnya. Perempuan itu segera bangkit membuang ekspresi kelemahannya sebagai wanita. Seketika pikirannya teringat keresek hitam berisi daging yang ia sembunyikan dibalik pohon pisang. Hanya itu lah yang dapat dijadikan bukti satu-satunya untuk menjerat Danu ke jalur hukum. Widia berjalan mengendap dan hampir tak bersuara. Tatapannya memindai ruangan demi ruangan yang ia lewati. Wanita itu masih takut dengan pria bernama Danu. Takut, jika niatnya di hadang pria itu. Namun, lima menit sebelumnya Danu pergi entah kemana. Pria itu berniat mengalihkan amarah yang begitu menggebu di dalam dada dengan meninggalkan rumah tat kala istr
"Mit, aku mohon jangan sampai kamu kasih tau ibu aku," pinta Widia setengah memohon karena jika ibunya tahu, ia takut malah akan menjadi beban pikiran baginya."Kamu ini, kayak ke orang asing aja. Ya jelas lah aku gak bakalan kasih tau ibu. Itu sama aja artinya aku bikin sakit ibu kamu!" Kedua bola mata Mita mendelik kesal."Iya, makasih ya, Mit." Kini perasaan Widia mulai bercampur aduk. Antara takut, khawatir, dan juga sedih. Jika Widia memang benar-benar akan memilih jalur hukum, maka ia juga harus benar-benar siap dengan konsekunsinya. "Ya Allah, aku berpegang teguh kepadamu. Jauhkan aku dari orang-orang jahat," desis Widia dengan suara pelan. Mita beranjak dan menerawang ke jalanan tandus nan berdebu. Di ujung pandangannya ia melihat wanita sepuh yang berjalan pelan membawa beban berat di punggungnya berupa seikat kayu bakar."Nah, itu ibu kamu, Wid." Mita setengah berlari menghampiri Siti-Ibu Kandung Widia--dari jarak 150 meter.Perlahan Mita bersama ibunya Widia semakin mendek
"Bang ...." Tatapan ragu disertai takut menghiasi wajah Widia. "Apa? Ayok, masuk!" Wajah menantang suaminya membuat Widia semakin enggan untuk mengikuti ajakannya. "Tolong jauhkan dulu pisau itu, Bang," pinta Widia seraya memberanikan diri berbicara tegas tanpa segan. Sesaat Danu terdiam sambil melihat gelagat istrinya. "Memangnya kenapa? Aku tidak akan menyakitimu dengan ini." Danu mengangkat pisau di tangannya lalu beralih menatap Widia yang masih saja gentar. Ia berseringai sedikit menertawakan mental ciut wanita di hadapannya. "Ayok!" Danu mempertegas lagi. Akhirnya, Widia melangkah perlahan dengan mendahulukan kaki kanan. Sementara di dalam hatinya sibuk berdoa supaya dilindungi dari segala macam ketakutan dan marabahaya."Gimana kabar ibumu?" tanya Danu seraya duduk di kursi meja makan. Ternyata pisau itu ia gunakan untuk mengupas buah mangga. Meski begitu, tetap saja hati wanita itu belum jua tenang selama pisau tajam itu masih dipegangi suaminya. Sudut matanya pun berulang
Suara Danu terdengar kentara dari belakang. Sialnya, pria itu memang tipe orang yang tidak suka saat barang pribadinya dibongkar orang lain termasuk oleh istrinya sendiri. "Sedang apa kau di sana?" Posisinya yang semula terlentang, kini beranjak dan berdiri tegak di belakang Widia. Tak ada cara lain lagi bagi wanita itu agar selamat dari ancaman suaminya selain berbohong. Widia menghela napas tenang, berusaha bersikap biasa. "Aku nggak bongkar-bongkar, Bang. Cuma benerin resletingnya aja." "Coba lihat aku ...," titah Danu tak percaya. Ia berniat mencari petunjuk sebuah gerak mata tanda bahwa seseorang yang berbicara dengannya itu berdusta. Widia pun berhati-hati dengan hal itu, ia tak akan mungkin memperlihatkan kegugupannya. "Akh, sakit sekali kepalaku ...." Sambil mengerjapkan kelopak matanya, Widia juga membuat jemarinya menutupi sebagian wajah. "Kau sakit?" Pria itu mulai khawatir. Bagi Danu, wanita cantik yang berdiri di hadapannya itu adalah segalanya. Danu pernah mati-mati
"Maaf ... aku minta maaf, Bang." Widia tersungkur di lantai ruang tamu setelah pria itu menghempaskan tubuh wanita itu. Untuk pertama kalinya, Danu merasa tertipu oleh wanita yang begitu ia cintai. Kini, amarahnya telah sampai ke ubun-ubun. Tangan kekar Danu telah mengepal sempurna. Ingin sekali ia menghabisi wanita itu. Namun, bukan itu yang akan ia lakukan. "Ayok, katakan apa yang ingin kamu katakan. Bela diri kamu supaya aku bisa meminimalisasi hukuman apa yang pantas untukmu." Danu menatap istrinya seraya mengharapkan alasan yang paling masuk akal baginya. Widia menunduk, sesekali ia menyentuh kakinya yang sempat terkilir karena hardikan suaminya. "Cepat katakan alasanmu, kenapa kau sampai tega menipu suamimu sendiri dan berduaan dengan laki-laki b*engs*k itu?" tegas Danu semakin geram. Akhirnya ia mengambil posisi jongkok untuk melihat lebih jelas wajah gentar istrinya. Mulut Widia mengatup rapat, tangan yang menyentuh kaki gemetar, dan napas pun terasa terhenti di tenggoroka
Plak!!Widia tak sanggup menahan kebencian terhadap pria itu. Meski dengan sisa-sisa tenaganya, telapak tangan Widia mendarat mulus di pipinya. Ia berhasil meluapkan amarah di relung hati. "Dasar penjahat!" Kecaman Widia semakin membuat Danu terkejut hingga kedua bola matanya hampir keluar, mengapa istrinya jadi seberani itu?"Apa? Kau bilang apa tadi?" tanya Danu seraya mengusap pipinya ke atas ke bawah secara berulang. Memang, tamparan Widia tidak terlalu keras, hanya saja Danu tertampar kenyataan bahwa istrinya sekarang sudah berani berubah. Seburuk itu kah Danu di hadapan Widia, sampai istrinya memanggilnya 'penjahat'.Danu mendekat hingga posisi keduanya hanya berjarak sekitar 30 cm saja."Kenapa kau panggil aku dengan sebutan itu? Pen-ja-hat?" Danu mengulang umpatan Widia. Rahangnya bergerak seakan ingin menerkam. Sorot matanya tak jauh beda dengan tajamnya belati."Kamu itu memang penjahat 'kan, Bang?" Meski dengan bibir bergetar, Widia berusaha mengungkap isi hati dan pikirann