"Wid?" seru Danu dari luar apartemen. Sepi dan pintu dalam keadaan terkunci. Ia pun segera menelpon petugas resepsionis dari ponselnya. "Pergi kemana dia?" Danu mengusap wajah dan menahannya di bagian mulut. Sebelah tangannya berkacak pinggang. Ia tak mengerti dengan wanita itu, mengapa sulit sekali untuk menuruti pintanya? Semua ini demi kebaikan Widia. Danu takut, sangat takut jika Widia berkeliaran di luar dan anak buah Haryadi yang juga bosnya sendiri mendapati keberadaan Widia."Pasti dia disekap lagi," keluh Danu saat seluruh hatinya sibuk memikirkan wanita itu. "Ini kuncinya, Pak." Seorang petugas apartemen berlari ke arahnya dan memberikan kunci yang dititip Widia. "Kamu tau tidak, kemana wanita itu pergi?" tanya Danu berharap ia menemukan jawaban atas kegundahannya. Namun, office girl itu menggeleng."Ya sudah, kembali lah." Danu bergegas membuka pintu kamar apartemennya. Memutar badan memindai jejak-jejak Widia. Di meja masih tersisa banyak makanan yang ia pesan. Danu me
86"Gawat, di mana map coklat itu?" Halimah menyingkap tumpukan barang yang sudah tersusun di lemari. Tanpa ia ingat jika map tersebut berada di dalam koper di bawah pakaian miliknya. "Oh, apa masih di koper?" tanya dirinya sendiri sambil mengacungkan jari telunjuknya. Saat ingatannya pasti tentang map itu. Halimah segera membongkar koper miliknya yang tersimpan di pojok kamar. "Ah, ini dia." Halimah menemukannya dan sekitar beberapa detik ia termenung. Ia kebingungan, apa yang harus ia lakukan dengan surat ini? Apa ia cukup berani membuka dan mengungkapkan kebenaran yang mungkin kini terselimuti oleh kejahatan Haryadi. Meski ragu, karena perempuan itu tau persis bagaimana sifat Haryadi yang terbilang keras, kasar, dan nekat dalam menindak siapa saja yang menentangnya. "Aduh, gimana ya? Aku buka saja lah dulu map ini. Apa isinya, baru mikir apa yang harus aku lakukan." Dengan hati-hati, Halimah membuka map tersebut dan membaca isinya. "Hah? Ini kan surat-surat hak milik kekayaan
"Wih, tumben datang kemari, Bung?" sambut seorang polisi yang mengenal Satya dengan baik. "Aku ada perlu ini. Tolong lah urus segera," pinta Satya penuh harap. "Ada apa, Bung?" Kerut kening tampak pada dahi rekan polisi yang pria itu kenal. "Ini ...." Satya segera mengutarakan maksud dan tujuannya. Melaporkan Haryadi."Parah sekali ini." Bahkan seorang polisi itu sampai menggelengkan kepalanya. "Hei, kenapa kamu sempat tertipu dengan sertifikat palsu?" tawa rekannya begitu menggelitik perasaan Satya. Benar juga, mengapa dia sampai tertipu dan tidak teliti. "Iya, makanya aku butuh banget bantuan kalian. Tolong segera ya," pinta Satya penuh harap. Ia sudah tak sabar untuk melihat Haryadi digelandangi karena perbuatannya yang jahat itu. "Oke, santai. Kamu ngopi dulu sana. Surat penangkapannya gua ketik dulu." "Makasih, Bung," ucap Satya tersenyum. Kini, pria itu dapat bernapas lega. Tak lama lagi, Haryadi akan mendekam di penjara. Laporan Satya cepat ditanggapi pihak polisi, sela
Si Raja Sesal, mungkin itu lah yang pantas disematkan kepada Satya. Sejak harta ibunya kembali. Pria ini terus memikirkan kesemena-menaan yang pernah ia lakukan kepada Widia. Semua kenangan buruk itu terus terbayang dan semakin hari ia tersadar bahwa semua itu adalah kesalahan. "Widia, Widia, Widia," desis Satya sambil mengacak rambutnya. Merasa frustasi memikirkan kebodohan melepaskan dewi pujaan hati yang telah ia perjuangkan sejak dulu sewaktu masih belia. "Den, makan dulu," seru Halimah dari luar pintu kamar Satya. Wanita itu semakin khawatir dengan kondisi jiwa Satya saat ini. Satu bulan ini Satya selalu mengurung diri di kamar. Toko ponsel pun sudah tak pernah ia kunjungi lagi. "Apa aku harus mencarinya dengan mengorbankan harga diri karena kembali menjilat ludah sendiri." Bukannya menyahut seruan Halimah, ia malah sibuk mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan untuk membunuh perasaan bersalah yang terus menghantuinya setiap detik. Namun, akhirnya pria itu berniat untuk me
Meski penasaran, Danu memantau 2 orang yang nampak sedang bermusuhan dengan metode silent treatmen. Itu karena Widia tak menanggapi ucapan Satya bahkan mungkin dia juga tidak menganggap kehadirannya. Karena Satya terus berbicara, Danu merasa kesal sendiri melihatnya. Dia pun melangkah untuk menghampiri Danu bersama Widia sekaligus memberi peringatan kepada saingannya. Langkah Danu tegas ke arah mereka dengan sebuah bungkusan di tangannya. Melihat kedatangan Danu, pria itu tampak terkejut sekaligus kesal karena merasa terganggu. "Ngapain lu nyamperin Widia lagi, hm?" Danu meletakkan bingkisannya di samping Widia kemudian meraih kerah baju milik Satya. "Memangnya kenapa?" "Lu gak ngerasa kalau lu sudah merusak wanita itu, hm?" "Gua sadar, gua sadar. Tapi, jangan lupa Danu. Lu juga pernah bersalah pada Widia. Jangan sok baik lu, jangan sok menjadi pahlawan kesiangan. Lu itu sama gue gak ada bedanya!" "Kurang ajar!" Bugh, sebuah pukulan bogem dihadiahi Danu kepada lawannya. Satya
90Meskipun wanita paruh baya itu tidak mengharapkan Ratih cepat tersadar dalam ingatannya yang hilang. Namun, ia merasa tak tega melihat kondisi Ratih yang setiap hari melamun dan berwajah murung. Bagaimana pun juga, ia merasa bahwa dirinya harus membantu pemulihan ingatan Ratih. "Apa makanan yang kamu suka, Nduk?" tanya si Mbah seraya menatapnya lekat. Ratih terdiam sesaat kemudian menjawab 'apel'. "Hewan peliharaan apa yang akan kamu rawat sepenuh hati?" tanya wanita itu lagi. "Mm ... seekor anjing." "Siapa namanya?" Mbah sudah mulai masuk kedalam memori Ratih yang tengah berusaha mereka pulihkan bersama. Ratih terdiam dalam beberapa saat. Sampai dirinya yakin untuk menjawab."Alex," jawabnya dengan bibir bergetar serta kedua netrenya yang berembun. Tiba-tiba saja ia juga mengingat sesuatu bahwa dalam mimpi itu ia tengah bersama seekor anjing. Mbah memberikan waktu untuk Ratih fokus mengingat apa yang terjadi sebelum ia tak ingat apapun. "Mbah, aku berlari di sebuah hutan ber
91 "Apa kamu bilang, Win?" tanya Ratih dengan bibir yang gemetar. Traumanya kembali. Ratih mengalami kecemasan akan apa yang terjadi dengan hewan peliharaannya. Jika, Danu memang benar menyembelih dan membagikan daging itu kepada para warga. Ratih tidak akan tinggal diam. Dia merasa dirinya harus mencari keadilan untuk hewan peliharaannya yang telah tiada. "Aku jadi curiga kalau daging itu daging anjingnya kamu," ucap kawannya lagi. "Cukup! Aku akan menuntutnya lagi! Kurang ajar sekali pria itu!" Ratih benar-benar tidak bisa menahan emosinya. "Ta-tapi, Ratih, kasus itu sudah ditutup sejak saat itu, sejak Danu jujur tentang daging itu bukan daging kamu. Tapi daging anjing." "Aku tidak rela dia membunuh Alex. Aku harus mengurusnya sekarang juga," tegasnya sambil mencari kedua orang tuanya untuk mengadu dan meminta tolong untuk melaporkannya kepada polisi. "Bu? Tolong lah, Bu. Ini aku benar-benar tidak akan bisa tidur beberapa hari sebelum menuntut kematian Alex. Bu, tolong biayai
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si