Satya melepaskan kepuasan atas tubuh Widia. Ia tak peduli dengan teriakan Widia yang tersiksa karenanya. Suara wanita di bawah penguasaan Satya lemah, hanya terdengar isak tangis kepiluan meliputi diri yang kedinginan. ***"Pusing sekali kepalaku," ucap Satya sembari menatap tubuh sendiri terbuka tanpa sehelai benang pun menutupi. "Apa-apaan ini?" Satya kebingungan sendiri. Dia memindai sekeliling ruangan basement. "Shit, aku mabuk." Dari penampakan botol-botol yang berserakan di bawah sofa, ia menyadari semuanya. Meski dengan potongan-potongan bayangan yang terekam dalam pikirannya. "Akh, sakit sekali." Satya berusaha mengingat kembali apa saja yang membuat dia bertelanjang seperti ini sekarang. Sekelebat wajah Widia tampak saat ia mengerjapkan mata. Suara teriakan Widia dan isak tangisnya pun kini terekam jelas diingatan."Widia? Apa aku telah menyiksanya lagi? Dengan kasar?" Satya beringsut dari sofa tersebut, memunguti pakaian di lantai. Kemudian bergegas mencari Widia di kont
Danu bersandar dan duduk di kursi pengemudi dengan pikiran jauh menerawang masa lalu. Tentang perbuatan kasar, tentang awal mula penyiksaan batin Widia hanya karena sebuah kesalahfahaman. Ia menyesal karena pernah memperlakukan Widia dengan begitu kasar sehingga mungkin membuat Widia tak nyaman dan pergi darinya. Awal mula mendapatkan kabar bahwa wanita itu telah dekat dengan Satya yang akhirnya menikah. Danu sempat kecewa dan mempertanyakan nasib Widia selanjutnya. Ternyata, dugaannya tak menyalahi kenyataan yang terjadi. Widia tidak sedikitpun merasakan kebahagiaan bersama Satya saat ini. Danu merasa bahwa dirinya wajib melindungi wanita pertama yang ia cintai. Dia tidak ingin membiarkan Widia menjalaninya sendirian. Oleh sebab itu lah Danu mulai menjadi penguntit Widia meskipun dengan beberapa ancaman yang ia lontarkan atau sebuah kalimat-kalimat menakut-nakuti Widia. Bahkan Danu sampai harus menyewa sebuah taxi untuk mengantar Widia kemana pun ia mau. Danu membayar pemilik ken
79 "Aku?" Danu tercekat dengan tuduhan Widia yang menyebut dirinya terobsesi. Sama seperti yang baru saja dirinya tuduhkan terhadap Satya. Suami Widia saat ini. "Ya ... kamu juga seperti itu. Makanya, kamu gak pernah memanusiakan aku, berbuat kasar semau mu. Apa kamu pikir aku ini tidak punya perasaan?""Aku hanya tempramen, tapi aku ... sayang kamu, Widia." Wanita itu terdiam, pandangannya tak lagi lekat ke arah pria itu. Widia menatap senja yang kian pamit dari pelupuk mata. "Ini sudah malam, tidak mungkin kita bermalam di sini. Apa kamu bisa mengantarkan aku pulang?" "Tentu, tapi aku tidak akan tinggal diam jika kamu disakiti lagi pria itu. Soal uang itu ... soal utang mu. Aku bisa melunasinya." "Hm?" Widia terkejut, pria itu mengetahui masalah Widia yang kini menjadi penyebab kemelut dalam rumah tangga Widia."Kenapa kamu tau juga tentang itu?" "Aku ini penguntit mu. Apapun yang kamu lakukan, apapun yang kalian bicarakan aku tau, Widia! Maka itu, aku tau kamu tersakiti pagi
"Dimana alat itu?" Widia terus melakukan penyisiran ke sela-sela ruangan basemen. Sambil berjaga jika Satya mencurigai dan memergokinya. "Wid, temen mu datang!" teriak Satya dari bangunan atas basemen. Widia menunda pencariannya dahulu untuk menemui Ayu. Ia bergegas menaiki anak tangga. "Ayu ...," sapa Widia sambil menyalaminya."Wid, bener uangnya udah ada?" Ayu menggenggam kuat tangan sahabatnya. "Iya, Ay." Senyuman mengembang di bibir Widia. Namun, mata bening Ayu berkaca-kaca karena terharu dengan keseriusan Widia mengadakan uang sebesar itu dengan serentak. "Aku minta maaf ya Wid, harusnya aku ngasih kamu sesuatu atas musibah yang menimpa kamu. Tapi, aku ini malah ngejar-ngejar uang yang bahkan kamu harus bersusah payah dulu mencarinya." "Gak papa, ini bukan salah kamu Ay. Aku bersyukur karena punya sahabat seperti mu. Aku senang ketika aku terpuruk ada kamu yang selalu memberiku support." "Sekarang kamu gimana sama Satya? Dia baik kan sama kamu?" Tiba-tiba sahabatnya menyi
Danu duduk mengarah kepada sang mantan istri, matanya penuh dengan kelembutan yang tak terucapkan. Roti di tangannya, menunggu Widia membuka mulut. Ekspresi wajahnya serius namun lembut, seolah-olah dia sedang menyuapi anak kecil.Saat sesuap roti itu mendekati bibir mantan istrinya, dia menatapnya dengan penuh perhatian. Dia memastikan bahwa dia tidak merasa tidak nyaman atau terganggu. Danu menyuapinya dengan perlahan, membiarkan Widia menikmati setiap suapan.Widia sendiri, merasa seolah-olah dia telah kembali ke masa lalu. Wanita itu merasa seperti saat mereka pertama kali bertemu, saat mereka masih muda dan penuh harapan. Widia merasa seperti saat dia pertama kali jatuh cinta dengan pria ini, yang kini dengan lembut menyuapinya.Seolah-olah waktu telah berhenti, dan mereka berdua kembali ke masa lalu. Widia merasa kembali menjadi gadis muda yang jatuh cinta, dan pria di depannya adalah pria yang dia cintai. Manis, yang dirasakan indra pengecap Widia. Namun, terasa pahit saat me
"Jangan dekati aku, aku ini pembawa sial! Kamu tau itu kan, Bang? Menjauh lah dariku!" ucap Widia setelah Danu berdiri tegak di hadapannya. Menatap penuh kewaspadaan, jangan sampai pria itu berhasil membawanya pergi lagi. "Ya, aku tau kamu ini memang wanita pembawa sial. Makanya aku tak mau kamu dekat dengan orang lain. Ayo ikut aku!" Danu menarik pergelangan tangan Widia, sedikit memaksanya untuk masuk ke dalam taxi sewaannya. "Duduk lah!" Danu menutup pintu mobil kemudian setengah berlari ke arah joknya untuk siap mengemudi. "Agh," keluh Widia kesakitan seraya mengusap pergelangan tangan yang dicengkram pria itu. Danu sudah duduk di samping Widia. Wanita di sampingnya masih menahan tangis dengan dada kembang kempis. Danu tahu betapa jiwa perempuan itu tengah terguncang dengan kepedihan yang menimpanya beberapa saat lalu. Ditambah lagi dengan pemaksaan yang dilakukan Danu kepadanya. "Menangis lah, jika itu bisa membuatmu lega. Kemudian, berhenti lah menumpahkan air mata mu itu ha
Widia membuka matanya, terjaga dari tidur yang membawanya melalui malam yang terasa seolah-olah tak berakhir. Cahaya pagi, lembut memenuhi ruangan, menandai awal hari. Dengan perasaan campur aduk, ia menyadari bahwa ia berada di apartemen Danu, mantan suaminya."Aku ... semalam? Ah, syukurlah." Satu tangannya memegangi dada. Ia bersyukur karena semalam tidak terjadi hal buruk kepadanya. Namun, Widia merasakan sakit di kepala karena terlalu banyak menangis semalaman. Ia merasa berat untuk bangkit, tetapi akhirnya melakukannya, merasa perlu untuk membersihkan diri dan menyegarkan pikiran. Air hangat dari shower menyapu tubuhnya, mencuci perasaan kacau dan kelelahan dari malam sebelumnya.Setelah itu, Widia menghabiskan waktu untuk memperhatikan apartemen Danu. Melihat dengan detail, setiap benda yang ada di dalam ruangan tersebut. Dari mulai peluru yang terdapat di laci lemari sampai beberapa pistol yang terdapat dalam lemari. Belum lagi beberapa buah ponsel genggam tanpa daya. Mungk
"Oke, aku akan menjemputmu." Mita tersenyum puas setelah diberi tahu alamat Widia saat ini. Mita segera menyuruh sopirnya untuk memanaskan kendaraan sebelum ia pakai. Pagi sekali, Mita sudah berkunjung ke rumah Bu Siti. "Bu ... Ibu ...," panggil Mita dari luar. Tak lama setelah itu terdengar suara sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk. Sudah lama, Mita ingin tahu keadaan Bu Siti. Maksud hatinya, ia ingin mencari tahu tentang perkembangan kehidupan Widia. Apakah dia bahagia, atau kah sebaliknya. Jika Widia bahagia, ia harus mengatur strategi untuk menghancurkannya. Namun, jika Widia dalam keadaan terpuruk. Maka, sudah saatnya Mita menghantamnya dengan batu ujian besar sebagai hadiah pamungkas darinya. "Bu," sapa Mita sambil melangkah masuk ke dalam mencari keberadaan wanita sepuh yang sudah lama tak ia kunjungi. "Masuk, Mit." Bu Siti ternyata sedang berbaring di tempat tidurnya. Dengan nada suara lemah perempuan itu menyapa Mita kembali. "Mita, kamu ke sini?" Tatapan Bu Siti