Satya sudah terlelap setelah melewati permainan panas bersama sang istri. "Sayang, sekarang aku yakin dengan cintamu itu," bisik Satya yang kini terngiang-ngiang di telinga Widia. Widia lega karena akhirnya pria yang kini terlelap, bertelanjang dada di sampingnya itu puas dengan apa yang telah wanita itu usahakan. Semua permintaan Satya diturutinya. Widia berhasil melayani Satya dengan baik meski setelahnya cairan bening di sudut mata terasa hangat menganak sungai di pipinya. Satya tak perlu tahu lagi isi hati Widia. Bagaimana keadaan hatinya. Karena yang terpenting bagi pria itu adalah kepercayaan dan kepuasan. Semuanya tentang kepercayaan dan kepuasan seorang suami. Hanya itu. Widia masih terjaga bahkan jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ia sungguh tak bisa tidur saat ini. Pikirannya terkuras untuk mengingat sosok Danu yang terasa nyata di gudang itu. Tadi ...."Hey, kamu, ikut aku!" seru seorang wanita berseragam ART yang tiba-tiba datang kemudian mengajak Widia pergi.
"Maksud kamu?" Widia tercengang dengan ucapan suaminya. "Iya, besok kita periksa kesehatan kamu!" Satya merapikan rambutnya yang kusut, menarik piyama untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu duduk di tepi ranjang. "Mas, aku gak gila." "Siapa yang bilang kamu gila? Aku hanya mau kamu cek kesehatan mentalmu saja! Lagian, akhir-akhir ini kamu sering cemas, kan?" Satya menatap istrinya penuh telisik.Widia bergeming, apa ajakan suaminya itu bentuk dari perhatian suami? Entahlah, Widia hampir tak mampu menebak sikap suaminya. "Kalau kamu gak mau aku bersikap kayak gini, ya udah ... kamu bersikap biasa dong. Jangan khawatir, panik, sama ketakutan kayak gitu!"Tekanan. Ini sebuah tekanan batin yang menjadi resiko diperistri Satya. Mengapa, sifat posesif itu baru terlihat pasca menikah? Widia menyesal. Bukan, ia malah mengutuk dirinya sendiri karena merasa menjadi manusia yang paling rugi dengan paras wajah sempurna tapi menjadi petaka baginya. Menjadi incaran pria sejak remaja menciptakan ke
Rute perjalanan yang dilalui Mama Ami itu semakin sepi. Wanita itu menjadi sedikit khawatir dengan tujuannya."Kamu yakin ini jalannya?" Mama Ami balik bertanya. "Iya, Nyonya. Saya mengikuti arahan Nyonya." "Ya sudah, mungkin setelah ini kita lewati jalan ramai." Supir itu tidak menjawab. Pandangannya terfokus pada rute yang terus menuju ke arah kawasan buntu. "Coba saja kamu pikir, memangnya jalan ini dibuat untuk apa? Masa pemerintah gabut bikin jalan menuju kawasan buntu?" "Iya, Nyonya. Tapi, saya tidak yakin." "Kamu jangan membuat saya panik. Atau kalau kamu tidak yakin, putar balik saja!" Tiba-tiba tekad wanita itu goyah, karena kondisi langit juga malah berubah kelabu dan menakutkan. Kendaraan mewah yang sebelumnya melaju dengan kecepatan rata-rata itu tiba-tiba menepi. "Bagaimana, Nyonya?" Wajah sang supir sumringah ketika majikannya menyuruh dia putar balik arah. Lega, karena kemungkinan tersesat hingga masuk jurang tak akan menjadi resikonya. Namun, sayang sekali. Nia
"Hh, sial," keluh Haryadi seraya melepaskan pegangannya dan kehilangan kenikmatan memegangi kulit mulus menantunya. Satya setengah berlari menuruni anak tangga. Pria ini tak sudi jika istrinya dijadikan objek mata jelalatan ayah angkatnya. "Apa-apaan barusan?" Satya memelototi pria yang sungguh menyebalkan itu. "Ahh, lupakan saja. Bukan apa-apa. Wajah istri mu cantik dan enak dilihat. Wajar lah kalau saya menyapanya seperti ini. Bukannya dia juga menantu saya?" Haryadi sengaja memancing keributan dengan Satya. Wajah culas Haryadi membuat anak tirinya itu melayangkan sebuah bogem tepat pada pipi pria itu. Bugh!"Akh, kau memang pemarah, Satya. Hei, Widia ... apa kamu tidak riskan menikah dengan pria sensitif seperti dia?" tanya Haryadi semakin menjadi, ia pun menyeka bercak merah di sudut bibir nya. "Apa tujuan kamu ke sini, tua bangka?" tantang Satya yang merasa tersinggung dengan pertanyaan Haryadi. "Tenang, kamu tak perlu sekasar ini kepada tuan rumah. Nanti saya terpaksa mang
"Kamu tidak perlu tau apa isi map itu. Kamu simpan saja. Nanti kalau sudah waktunya saya butuhkan, saya cari kamu." Pesan Mama Ami kala itu. "Baik, Nyonya." Merasa dipercaya, merasa dibutuhkan, merasa menjadi tempat yang paling aman adalah yang dirasakan Halimah saat itu dan sampai sekarang pun ia merasa bahwa dirinya harus menjaga map titipan Mama Ami meskipun orang nya sudah tiada. Dengan hati-hati, Halimah meletakkan map tersebut di dasar koper. Setelah itu ia menumpuknya dengan pakaian dan barang lainnya. "Hei, kenapa kamu lama sekali?" tanya satpam yang kini diberi tugas memastikan kepulangan para ART. "Ck, sabar lah. Saya juga hampir selesai ini. Huh, mentang-mentang cuma dia yang tidak kena pecat!" gerutu Halimah sambil beringsut dari samping lemari miliknya. "Heh, satpam! Kenapa kamu gak ikut resign?" "Kenapa musti resign kalo aku masih dibutuhkan di sini?" "Tapi kamu sudah menghianati Den Satyadan bersikap kurang ajar padanya." "Itu kan perintah majikan saya yang bar
"Halo, sayang!" Suara itu tidak asing ditelinga Widia, suara yang langsung membawa kengerian ke sekujur tubuhnya. Dan detik itu pun Widia dibekam seseorang yang sudah ia bisa ia tebak. "Mmm!" Widia tak bisa berucap satu oatah kata pun. Tangan dan kaki wanita itu mulai memberontak, melakukan penolakan. "Diam dan dengarkan aku!" bisik Danu pada telinga Widia. Pria itu menambah kekuatannya lebih supaya dirinya mampu mengatasi mantan istrinya. "Aku mencintai mu," lanjut kata pria itu yang membuat Widia semakin memberontak. Widia semakin tak mengerti. Entah apa yang diinginkan pria itu hingga berani-beraninya dia masuk dan mengacau di sana. Bahkan, Danu sampai mengeluarkan ikatan hitam untuk mengikat mantan istrinya supaya dia duduk diam di sebuah kursi kayu. "Harusnya aku menculik mu? Aku hanya perlu membopong mu keluar dari sini." Widia menggeleng ketakutan, kedua tatapan netranya seolah meminta Danu melepaskan dan tidak melakukan tindakan bodoh itu. "Kalau kau tak mau ikut dengan k
Berbagi kehangatan di ruang basah dengan ikatan suci. Mereka menyingkap setiap helai kain yang semula menutupi tubuhnya. Bercampur saling memadu kasih, Widia melakukannya dengan penuh hati. Berharap menjadi pelipur lara untuk sang imam rumah tangga. Berharap kedukaan yang dirasakan suami berkurang meski tak sepenuhnya. Tak usai sampai di sana, setelah keduanya sudah dalam keadaan kering dengan handuk melilit di tubuh mereka masing-masing. Layaknya sepasang pengantin baru, Satya kembali memintanya di kursi sofa ruangan konter. Tak ada penolakan dari Widia, wanita itu masih berusaha menjadi penghibur dan penyembuh duka lara yang dirasakan suaminya. Namun, saat berada di tengah-tengah kenikmatan...."Maaf kan aku, Ma." Sebuah kalimat pendek terucap dari mulut manis Satya bagai belati menusuk lubuk hati. Bagaimana tidak, wanita itu mendengar sendiri ucapan Satya yang menyesal menikahinya kemarin malam. Ditambah lagi kali ini pria itu kembali mengucap kalimat menyakitkan dengan meminta m
75Syurga? Jika benar begitu, Widia tidak akan selalu merasa terintimidasi dengan semua ketakutan Satya tentang istrinya yang katanya belum bisa move on dari masa lalu. "Coba fokus pada masalah kita saja, Wid. Tentang ibumu nanti kita berkunjung ke rumahnya. Esok atau lusa." Setelah mendongak menatap langit-langit, Widia menyeka air matanya. Bisa-bisanya pria itu kini menjadi begitu posesif. "Ayo habiskan makannya. Setelah itu aku mau siap-siap buka konter lagi." Batin Widia lelah dengan sikap Satya yang jauh berbeda dengan sebelum pernikahan itu terjadi. Namun, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain menjalani dengan berusaha mengabdi. "Iya, Mas." Widia menggeser pintu konter, udara pagi hari dan kehangatan sinar matahari pagi cukup menghibur Widia. Seberkas harapan muncul ketika pintu tersebut dibuka. Beberapa pelanggan mendekat ke arah Widia. "Mbak, maaf mau tanya. Apa konter ini akan dibuka kembali?" Seorang wanita berpenampilan kantoran datang menyapa. "Benar, Mbak." Wi