MDM 57"Ayu, maaf aku telpon kamu malam-malam begini," sapa Widia seraya meminta maaf. "Gak papa, aku juga belum tidur, ini. Kenapa, Wid?" Suara Ayu terdengar berat dari sana, tampaknya dia sedang terkena flu. "Em ... kamu bisa kirim bahan produksi secepatnya gak?" Langsung saja, Widia mengutarakan maksudnya. "Oh, soal itu. Mm, belum kayaknya, Wid. Kainnya masih OTW dari luar. Jadi, aku gak berani kalo pake kain sembarangan meskipun warna dan motifnya samaan." "Gitu, ya. Paling kapan tuh kira-kira barangnya sampai?" "Gak tau juga, Wid. Emang kenapa, sih? Rehat dulu aja kali, kamu udah kerja keras beberapa hari ini kan." "Gak, gak papa, kok. Ya udah, aku tunggu kabar baiknya segera ya ...," ucap Widia sebelum menutup telponnya. "Eh, bentar dulu, Wid. Ada apa dulu, heii! Ayo cerita!" "Gak ada apa-apa. Aku cuma BT aja gak ada kerjaan, Yu." "Ya udah, nanti aku kabarin cepet-cepet kalo barangnya udah sampe, ya." "Siap, Yu." Sambungan telpon terputus detik itu juga. Widia tak teg
MDM 58"Bakar! Bakar saja rumah perempuan ini!" seru seseorang dari kerumunan paling belakang. "Ba ... kar, ba ... kar, bakar!" sorak mereka semakin melangitkan suaranya. Masih dalam keadaan tubuh terikat di kursi, Widia sudah pasrah bahkan jika mereka akan menghakiminya sampai mati pun ia sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa menyelamatkan diri. Di depan mata kepala si pemilik rumah. Tempat tinggalnya benar-benar disembur minyak dari derigen yang sebelumnya berjejer di depan rumah terpencil itu. Perlahan, si jago merah yang berasal dari satu batang korek itu membesar saat dilempar pada tiang dan dinding rumah yang telah dibasahi oleh minyak tanah. "Huu!" sorak warga ketika melihat api itu benar-benar besar dan menjadi pelita di daerah itu. Satya yang memang sedang dalam perjalanan saat hendak menuju kampung Widia melihat jelas bias merah di langit gelap, serta kepulan asap dan suara gemeretak material yang terbakar. Satya yakin, semua itu berasal dari rumah Widia. Hanya tin
MDM 59Kelopak mata Widia melebar saat kalimat lamaran diucapkan oleh pria di hadapannya. Satya seperti memaksanya untuk menerimanya detik itu juga. Widia menunduk menghindari tatapan dalam dari lawan bicaranya. Seluruh pikirannya dipenuhi pertanyaan untuk apa yang akan terjadi jika ia menerima Satya. "Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, semua akan baik-baik saja," ucap Satya seraya menggapai dagu lancip wanita itu sehingga Widia kembali menatapnya. "Mita ...." "Sahabatmu itu tidak mencintai aku sedikit pun. Percayalah." "Aku tidak akan pernah tenang sebelum menggenggam tanganmu, berjalan bersama melalu semua halang rintangan. Aku mohon, Wid." Pria itu sampai berlutut di hadapan Widia dengan cairan bening yang membentuk kaca pada indra penglihatannya. "Apa aku egois?" Widia kembali bersua. Pria itu menggelengkan kepala. "Kita harus meminta restu kan? Ibumu tidak akan merestui, Mas." "Aku akan berusaha untuk itu, yang penting kamu bersedia. Selebihnya, itu urusanku, oke. Besok,
"Bu," sapa Widia seraya menghamburkan diri menghampiri Bu Siti. Wanita itu langsung menggapai punggung tangan yang sudah kian keriput. "Kamu kemana saja, Nak?" balas Bu Siti sambil mengelus puncak kepala putri satu-satunya itu. Seandainya Widia tau, sungguh dia begitu menantikan kehadiran Widia setiap ia membuka mata di pagi hari, di malam hari. Namun, semua keinginannya itu terhalang ego yang mengurung niatnya. Kini pertemuan mereka mampu menghapus ego masing-masing antara ibu dan anak itu."Maafkan aku, Bu." Widia pun lantas mendekap wanita sepuh itu yang tinggi badannya 10 cm lebih rendah darinya. Kerinduan mereka berdua kini hanyut dalam pelukan hangat antara anak dan ibu. Di hadapan Satya yang terabaikan untuk sementara karena fokus sambutan Bu Siti hanya kepada putrinya yang begitu ia rindukan. "Nak Satya. Maaf ibu membuat kamu nunggu tanpa mempersilakan masuk." Akhirnya, pemilik rumah menyadari kehadiran pria yang datang bersama putrinya. "Gak apa, Bu. Justru aku senang seka
Setelah mengetuk pintu, Satya memegang gagang pintu secara perlahan. Pintu itu terbuka, tampak wanita yang telah melahirkan pria itu terbaring di atas ranjang rumah sakit menatap lesu ke arah putranya. Punggung tangan yang masih tertusuk jarum infus membuat wanita itu sulit bergerak. "Satya, sibuk sekali kamu. Sampai tak menghiraukan mama." Namun, ia masih mampu meluapkan kekesalannya kepada pria yang baru saja datang membesuknya. "Maaf, Ma. Aku gak tau mama masuk rumah sakit." Perlahan Satya melangkah kemudian duduk di kursi depan ranjang pasien. "Bakal tau dari mana kalau seharian kamu cuma ngurusin janda gatel itu." "Maafkan aku ya, Ma. Lagian, semalam mama gak kenapa-napa kan? Malah ada Om juga nemenin Mama." "Mm," desis Ibunda diakhiri pecahnya tangisan yang sedari tadi ia tahan."Mama kenapa?" Secepatnya, wanita itu menggeleng supaya permasalahan yang tengah ia hadapi itu tak diketahui oleh Satya. "Ma, kenapa? Jangan buat aku curiga sama pria itu." Feeling Satya seketika
Sepasang suami istri itu saling beradu pandang setelah Widia meminta Satya tidur bersamanya. Wanita itu tak tega jika membiarkan suaminya tidur di bawah."Ah, sudah lah. Aku di sini saja." Memperhatikan gurat ragu dalam wajah istrinya membuat pria itu urung menuruti pinta Widia. "Kenapa, Mas?" Meski ragu, Widia bertanya. "Aku takut khilaf," desis Satya seraya menatapnya lekat. "Aku sudah menjadi hak mu, Mas." Wajah Satya yang semula menunduk dan pasrah. Kini kembali menatap wajah cantik istrinya. Satya menarik napas berat. Pria itu memindahkan bantal dan selimut ke atas ranjang di sisi Widia. Wanita itu menelan saliva. Siap tidak siap, ia harus menerima apa yang akan dilakukan Satya sesuai pernyataannya beberapa detik lalu bahwa ia sudah menjadi hak pria itu. "Oke, aku sudah di sini Widia. Di sampingmu. Dan ... hm ... kamu adalah hak milik ku malam ini." Telapak tangan Satya sudah berada di atas punggung tangan Widia. Mereka pun saling berpegangan kuat. Widia tertunduk, dadanya
"Halo, Ma?" Satya duduk di tepi pembaringan. Hampir semalaman ia tak mampu memejamkan kelopak matanya. Semalaman pula, ia berusaha menahan hasratnya sebagai pria dewasa kepada wanita yang sudah sah menjadi miliknya. "Kamu, ke rumah ya. Mama mau ngadain syukuran untuk kesembuhan mama." "Aku ... sama Widia?" Satya mengucek kantung mata hitam kelelahan akibat begadang. Pria itu belum yakin jika ibunya tidak mempermasalahkan tentang pernikahan yang ia lakukan secara siri bersama Widia tanpa memberi tahu keluarganya. "Hhm, iya." Sambungan terputus. Hanya itu keperluan Mama Ami menghubungi putranya. Satya melirik wajah istrinya yang masih terlelap. Dada bidangnya mengembang bahkan pusaka nya sampai tak terkendali. Tapi, lagi-lagi ia harus memendam semua hasratnya demi kenyamanan sang istri. Ia tak mau memaksa wanita itu meski pun ia tersiksa sendiri. Pendiriannya itu mulai goyah. Entah ia bisa menahan gejolak jiwanya, entah ia akan melakukannya saat ini juga. Pagi ini. Sesekali ia meng
"Bajingan itu sudah menikah dengan wanita idamannya. Hh, pria bertopeng yang sebenarnya adalah srigala yang tak jauh berbeda denganku," desis Haryadi--ayah angkat Satya--sambil menghisap lalu mengepulkan asap rokok yang diapit kedua jarinya di depan seorang anak buahnya. "Kenapa wanita itu bodoh sekali?" Batang berapi yang baru dihisap itu ditekannya pada sebuah asbak. Raut kekecewaan menjadi penghancur mood Haryadi pagi ini. Kabar itu seakan membuat dirinya putus asa, bagaimana caranya merebut perempuan itu dari pria yang sangat ia kenal. "Biarkan saya memata-matai mereka, Tuan," ucap Dex menyalip lamunan majikannya. "Kau ini pembunuh bayaran, bukan mata-mata. Nanti kau malah menghabisi mereka." Apa yang dirasakan oleh Haryadi, sebenarnya sama percis dirasakan oleh pria yang berdiri tepat depan meja Haryadi, seorang Mafia berkedok Direktur. Ya, Danu atau yang ia kenal sebagai Dex masih setia pada Haryadi--majikan nya--sebagai pembunuh bayaran."Anda tenang saja. Saya tidak akan m