Bapak dan ibu yang membawaku dan Santo pulang, memperlakukan kami layaknya anak sendiri. Ucapan pengurus panti benar adanya. Karena tanpa meminta, segala kebutuhan kami sudah terpenuhi. Sandang, pangan, papan. Bahkan lebih dari itu. Tapi, sambutan hangat dan penerimaan tidak berlaku untuk saudara-saudara bapak. Mereka tidak pernah menerima kami. Aku dan adikku adalah orang asing yang kehadirannya tidak diharapkan oleh mereka. Sementara bapak dan ibu yang memang tidak memiliki anak, benar-benar mencurahkan waktu dan kasihnya pada kami berdua. Hal yang membuat saudara-saudara bapak memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan kami. Dan pada akhirnya, adikku yang namanya tidak pernah lagi di sebut benar-benar pergi. Meninggalkanku yang tidak bisa pergi karena ibu- "Jadi, masuk golongan yang mana keluarga Lo?" Ucapan Sarah yang sorot matanya menantang, membuatku kembali dari apa yang melintas dalam pikiran. Mataku hanya berkedip untuk tatapan menusuk remaja putri yang rasanya tida
"Kau ingin aku duduk di sampingmu?" Lena yang bertanya langsung menggeser duduk tanpa mendengar jawaban dariku. "Jadi, kita akan nyanyi apa, nih?" "Apa saja, aku tak begitu pemilih." "Benarkah?" Entah ia benar-benar terkejut atau hanya pura-pura, tapi alisnya terangkat tinggi. "Bagaimana kalau aku mau lagu dangdut? kau takkan ilfil denganku, kan?" "Tentu tidak, Lena." "Asiiik." Tak butuh waktu lama, nyanyian Lena memenuhi ruangan kedap suara yang ku pesan. Sementara lirik lagu yang tercetak di layar televisi jadi panduan gadis yang berdiri, meliukkan tubuhnya, sesekali mengajakku bernyanyi. Bahkan tertawa untuk nada salah yang terlewat. Dan Lena, tampak menikmati apa yang sedang dilakukannya. "Boleh aku memesan minum lagi?" Meski botol minuman di depan kami masih tersisa, Lena bertanya. "Bukankah kamu sudah cukup minum?" "Ayolah, Runi-" ia bahkan tak lagi menyebutku mbak, hanya nama. "-makin banyak aku membantu penjualan, semakin besar bonus yang kudapat. Aku bahkan akan m
"Satenya gak jadi dimakan?" "Ish, Mas, nih. Kita lagi nungguin mbak Runi tauk." Aku yang tak hanya melihat pantulan diri dalam cermin, tidak perlu menoleh untuk tahu mas Rendra yang mengambil satu tusuk sate, ikut melirikku yang punggungnya pasti akan berlubang jika tatapan penasaran mampu mengeluarkan sesuatu. Sampai aku yang mengelap tangan basahku, kembali bergabung dengan cucu-cucu pemilik rumah yang pandangannya terus mengikuti. "Mbak jalan sama siapa, Mbak?" "Cewwek? Cowwok?" Aku ingin tersenyum untuk tanya yang rasanya tidak akan berhenti dari dua anak kembar yang benar-benar mengabaikan sate mereka. Sementara wajah orang-orang yang menjadi rekan kerjaku terbayang. "Mbak jalan sama cewek," ucapku menciptakan binar dalam mata Riris dan Ares yang menghilang saat kalimat keduaku terucap, "juga cowok." Begitu mudahnya harap keduanya terbaca mata, "dan cowok kecewek-cewekan." Sementara kalimat ketiga yang kuucap, membuat mas Rendra yang sedang mengunyah menoleh padaku lalu
"Kamu baru pulang?" Aku yang berpikir penghuni rumah yang sedang ku masuki sudah terlelap semua, menoleh. Sementara lelaki yang rambutnya masih basah, menutup kulkas dengan gelas berisi air dingin di tangan. "Iya, Mas." Jawabku berhenti melangkah lalu menggeleng untuk tawaran mas Rendra yang meneguk minumannya. "Sudah makan?" Kali ini aku mengangguk, memperhatikan lelaki yang keluar dari dapur. Entah kenapa, aku jadi ikut melangkah, menaiki anak-anak tangga bersama mas Rendra yang aroma samponya menggelitik. "Kamu sudah dapat lemburan?" "Aku hanya jalan-jalan, Mas." Jawabku yang berharap aroma apapun yang menempel pada tubuh tidak akan dicium mas Rendra yang tubuhnya wangi sabun. Tadi, Lena menumpahkan botol minumnya pada pangkuanku. Tidak sengaja tentu. "Dan pegawai magang mana yang sudah dapat lemburan dari pengawasnya, Mas?" Ucapanku membuat langkah mas Rendra berhenti. Tatapannya lebih menunduk dari biasanya karena aku menjaga jarak dua anak tangga dengannya. Jdar! Sa
Bisa seberuntung apa manusia? Ponselku kehabisan daya, power bank yang kubawa dipinjam rekan kerja, taksi yang kupesan tak juga menunjukan moncongnya. Dan mobil yang penggunanya seolah tak punya otak, menciptakan air hujan pada halte sepi yang hanya berisi diriku. Sungguh, bisa seberuntung apa manusia sesungguhnya? Sementara rintik deras yang diterbangkan angin kencang, tetap bisa menyapa tubuhku yang sudah menempel pada dinding halte. Berharap berkas dalam tas yang ku sembunyikan di belakang tubuh, tidak terkena cipratan air yang begitu ruahnya jatuh dari langit. "Apa ada angkot yang tidak akan protes pada pakaian basahku?" Dan aku tetap bertanya lalu melangkah maju setiap mendengar deru kendaraan. Meski, aku merasa aneh karena tak ada satupun bus atau angkot yang biasanya bersliweran, lewat. Sampai mobil warna putih yang platnya kukenali berhenti dan membuka pintunya. "Masuk, tak akan ada kendaraan yang lewat!" Tanpa perintah ke dua, aku yang bajunya basah meloncat ke dalam
"Ui...!" Panggilan diikuti tawa yang rasanya begitu nyata, membuatku membuka mata perlahan. Tapi, suara yang kudengar nyatanya lebih pelan dari hembusan nafasku yang terasa begitu panas. Sementara dekap hangat pemilik dada lebar yang memperdengarkan dengkuran pelan, tampak begitu nyaman dalam lelapnya. Aku terbangun dengan mata basah dan kerinduan yang begitu menyesakkan. Seakan mendorong dadaku begitu kuat sampai sakit sekali rasanya. "Runi?" Kurasa, aku membangunkan lelaki yang tidur di sampingku dan membuatnya terkejut, karena aku menangis dalam diam, lalu menyandarkan kening pada dadanya yang terasa begitu hangat. Tak ada kata apalagi tanya yang terucap dari bibir mas Rendra yang mengusapi kepalaku. Sementara suara hujan masih saja terdengar begitu jelas. Seolah belum ingin berhenti membasahi apa yang sudah tergenang. Aku benci sakit. Sakit membuatku tidak bisa berpikir jernih. Apalagi mengontrol apa yang kurasakan. Sakit tak hanya melemahkan tubuhku. Tapi juga hati, pe
Bukan tidak menyadari tatapan Clara, tapi, aku yang sesekali menyuap sarapan lebih memilih untuk bersikap biasa. "Apa pak Bram masih menyebalkan, Runi?" Yoshie yang menyendok nasi gorengnya menatapku. "Lo kenal juga,Yos?" "Gue pindah kerja karena gak tahan sama tu orang," jawab Yoshie yang kelopak matanya melebar. "Dan gak hanya gue tau, beberapa anak seangkatan gue pun milih resign gak tahan sama sikap pak Bram." "Bramujaya maksud lo?" "Iya, Dedo, lo kenal juga?" Yoshie bertanya. "Taulah gue." Semangat Dedo yang meletakkan cangkir kopi. "Bini gue juga bawahannya dulu. Dan tiap dia pulang, ada aja cerita tentang pak botak itu." Ucapan Dedo menciptakan tawa di meja yang isinya berupa, ada nasi goreng, pastri, pun mie. Teh dan kopi yang isinya sudah diminum pun ada. "Tapi sumpah, deh, kayaknya isi kepala botaknya itu cuma cara buat bikin bawahannya menderita dan jadi meragukan kemampuan sendiri," Yoshie menimpali, "bener-bener lingkungan kerja yang gak sehat. Toxic banget. Tiap
Klep! Suara cangkir yang mas Rendra letakkan pelan pada tatakan, rasanya menggema begitu keras untuk telingaku yang bisa melihat jadi seberubah apa ekspresi Clara. "Gak usah, Mas," jawabku cepat, tidak ingin menoleh pada Clara yang sorotnya begitu tajam saat ia melirikku. "Aku berangkatnya masih lamaan, kok." "Tuh, kamu denger dia ngomong apa 'kan?" Tidak ingin menyebut namaku, Clara berucap, "ayolah, Rendra, jangan buat aku menunggu untuk hal lain yang tidak penting." Ucapan Clara membuat mas Rendra mendongak. Menatapi sang kekasih yang tidak perduli pada pandangan orang. "Ren. Come on." Clara menarik tangan mas Rendra tak sabar. Benar-benar tidak perduli pada pandangan teman-teman satu kantor mereka yang memperhatikan dengan lirikan yang seolah bertanya, 'apa yang terjadi?' Dan aku yang dapat tatapan mas Rendra, menunjukkan senyum yang membuat mas Rendra menarik nafas dalam lalu berdiri. Tanpa kata, lelaki yang tangannya terus dirangkul sang kekasih, pergi. Meninggalkan dirik
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re