Bisa seberuntung apa manusia? Ponselku kehabisan daya, power bank yang kubawa dipinjam rekan kerja, taksi yang kupesan tak juga menunjukan moncongnya. Dan mobil yang penggunanya seolah tak punya otak, menciptakan air hujan pada halte sepi yang hanya berisi diriku. Sungguh, bisa seberuntung apa manusia sesungguhnya? Sementara rintik deras yang diterbangkan angin kencang, tetap bisa menyapa tubuhku yang sudah menempel pada dinding halte. Berharap berkas dalam tas yang ku sembunyikan di belakang tubuh, tidak terkena cipratan air yang begitu ruahnya jatuh dari langit. "Apa ada angkot yang tidak akan protes pada pakaian basahku?" Dan aku tetap bertanya lalu melangkah maju setiap mendengar deru kendaraan. Meski, aku merasa aneh karena tak ada satupun bus atau angkot yang biasanya bersliweran, lewat. Sampai mobil warna putih yang platnya kukenali berhenti dan membuka pintunya. "Masuk, tak akan ada kendaraan yang lewat!" Tanpa perintah ke dua, aku yang bajunya basah meloncat ke dalam
"Ui...!" Panggilan diikuti tawa yang rasanya begitu nyata, membuatku membuka mata perlahan. Tapi, suara yang kudengar nyatanya lebih pelan dari hembusan nafasku yang terasa begitu panas. Sementara dekap hangat pemilik dada lebar yang memperdengarkan dengkuran pelan, tampak begitu nyaman dalam lelapnya. Aku terbangun dengan mata basah dan kerinduan yang begitu menyesakkan. Seakan mendorong dadaku begitu kuat sampai sakit sekali rasanya. "Runi?" Kurasa, aku membangunkan lelaki yang tidur di sampingku dan membuatnya terkejut, karena aku menangis dalam diam, lalu menyandarkan kening pada dadanya yang terasa begitu hangat. Tak ada kata apalagi tanya yang terucap dari bibir mas Rendra yang mengusapi kepalaku. Sementara suara hujan masih saja terdengar begitu jelas. Seolah belum ingin berhenti membasahi apa yang sudah tergenang. Aku benci sakit. Sakit membuatku tidak bisa berpikir jernih. Apalagi mengontrol apa yang kurasakan. Sakit tak hanya melemahkan tubuhku. Tapi juga hati, pe
Bukan tidak menyadari tatapan Clara, tapi, aku yang sesekali menyuap sarapan lebih memilih untuk bersikap biasa. "Apa pak Bram masih menyebalkan, Runi?" Yoshie yang menyendok nasi gorengnya menatapku. "Lo kenal juga,Yos?" "Gue pindah kerja karena gak tahan sama tu orang," jawab Yoshie yang kelopak matanya melebar. "Dan gak hanya gue tau, beberapa anak seangkatan gue pun milih resign gak tahan sama sikap pak Bram." "Bramujaya maksud lo?" "Iya, Dedo, lo kenal juga?" Yoshie bertanya. "Taulah gue." Semangat Dedo yang meletakkan cangkir kopi. "Bini gue juga bawahannya dulu. Dan tiap dia pulang, ada aja cerita tentang pak botak itu." Ucapan Dedo menciptakan tawa di meja yang isinya berupa, ada nasi goreng, pastri, pun mie. Teh dan kopi yang isinya sudah diminum pun ada. "Tapi sumpah, deh, kayaknya isi kepala botaknya itu cuma cara buat bikin bawahannya menderita dan jadi meragukan kemampuan sendiri," Yoshie menimpali, "bener-bener lingkungan kerja yang gak sehat. Toxic banget. Tiap
Klep! Suara cangkir yang mas Rendra letakkan pelan pada tatakan, rasanya menggema begitu keras untuk telingaku yang bisa melihat jadi seberubah apa ekspresi Clara. "Gak usah, Mas," jawabku cepat, tidak ingin menoleh pada Clara yang sorotnya begitu tajam saat ia melirikku. "Aku berangkatnya masih lamaan, kok." "Tuh, kamu denger dia ngomong apa 'kan?" Tidak ingin menyebut namaku, Clara berucap, "ayolah, Rendra, jangan buat aku menunggu untuk hal lain yang tidak penting." Ucapan Clara membuat mas Rendra mendongak. Menatapi sang kekasih yang tidak perduli pada pandangan orang. "Ren. Come on." Clara menarik tangan mas Rendra tak sabar. Benar-benar tidak perduli pada pandangan teman-teman satu kantor mereka yang memperhatikan dengan lirikan yang seolah bertanya, 'apa yang terjadi?' Dan aku yang dapat tatapan mas Rendra, menunjukkan senyum yang membuat mas Rendra menarik nafas dalam lalu berdiri. Tanpa kata, lelaki yang tangannya terus dirangkul sang kekasih, pergi. Meninggalkan dirik
"Ayo, biarkan mbak Runi istirahat." Ajakan eyang membuat dua bocah kembar yang wangi shampo dan sabunnya tidak ku cium karena hidungku tersumbat, berdiri enggan. Pelukan Riris yang ku larang tidur di kamarku begitu erat. Sampai ia yang pundaknya dirangkul eyang keluar bersama Ares, "Get well soon, Mbak-qu." Dan harapan sama dari Ares membuatku mengangguk sambil membalas lambaian tangan Riris. "Kamu yakin tak butuh sesuatu?" Aku menggeleng untuk tanya lelaki yang di tangannya memegang mangkok bubur yang isinya kuhabiskan tak bersisa. "Tidak, Mas, terimaksih. Dan maaf sudah merepotkan." "Tidak ada yang merasa direpotkan, Runi." Lelaki yang rasanya sengaja ditinggal keluarganya itu melangkah. Tapi ia yang sudah memegang engsel pintu menoleh, "telepon saja kalau kamu butuh sesuatu." Aku mengangguk dengan senyum yang menghilang saat pintu yang mas Rendra buka, tertutup. Dalam kamar yang kini benar-benar sunyi, aku tak lagi menunjukkan tawa, apalagi saat mengingat sorot mata mas Re
"SIALAN! LO BENARAN MAU MATI, HAH!?" Teriakan Lena mengagetkan gadis yang tampak begitu takut. Dan Lena yang sudah berdiri di samping Yuni, langsung mengangkat tas yang ia pukulkan pada tubuh Yuni, bertubi-tubi! Sekuat hati! "BRENGSEK!" "DASAR SIALAN!" "LANCUR GILA! LO BENERAN MAU MATI MALAM INI, HAH!?" Umpatan-umpatan kasar silih berganti dan begitu lancar keluar dari mulut Lena. Tangannya yang memegang tas, terus terarah pada tubuh Yuni. Gadis yang perawakannya lebih kecil. "Ampun Lena, ampun! Jangan pukul lagi, kumohon." Tapi, Lena yang rasanya dikuasai emosi tidak mau mendengar rengekan Yuni, gadis yang berlindung di belakangku. Sampai tanganku yang juga merasakan pukulan tas, memeluk tubuh Yuni. Menghindarkan Yuni dari amukan Lena yang benar-benar berasal dari hati. "Jangan pukul lagi, Lena, sakit. Kumohon." Dalam pelukanku, Yuni yang takut tak berani melawan. "MINGGIR! Cewek pemadat ini harus diberi pelajaran!" teriak Lena menariki tangan Yuni yang memelukku makin e
Jawaban Lena membuatku hampir menginjak rem mendadak. Dan wajah kaget ku membuat Lena tertawa geli. Begitu terhibur sampai matanya berair dan jemarinya menjetik batang rokok yang abunya terbang di bawa angin. "Pas istirahat, gue ketemu bartender bule yang ngajak gue kencan sehabis kerja." Lena lanjut bercerita. Pun, sesekali menghisap rokok yang setia terselip di jarinya. "Caranya halus dan dia tau bagaimana memperlakukan wanita," kata gadis yang bahkan belum memiliki KTP ini. "Kita jalan, makan, ngobrol sampe pagi meski bahasa inggris gue pas-pasan," Lena yang melirikku, membuang sembarangan rokoknya yang hanya tinggal pangkal, "dan setelah itu kita pulang ke apartemenya, s*exnya hebat dan kita nyoba bermacam posisi sampe sore." Begitu lugas dan santai Lena bercerita padaku yang tidak menyela. Hanya mendengarkan saja. "One night stand yang ok banget dan tak terlupakan." Lena kembali menyalakan rokok. Bibir bergincunya mempermainkan kepulan asap yang kadang jadi bulatan sebelum t
Tap! Tap! Tap! Aku yang menaiki tangga tanpa menoleh ke arah manapun akhirnya membuka pintu. Pintu yang jadi sandaran saat dadaku yang mampu menahan diri, melirik laci terkunci. Sementara tubuh lelap remaja putri yang menyisakan ruang di atas kasur, mampu membuat debaran dadaku tak lagi bertalu-talu. Dan aku kembali melangkah. Menghampiri lemari dan masuk ke dalam kamar mandi dengan ponsel yang layarnya terus menyala. Sementara balasan-balasan pesan, masuk tanpa suara. Hanya getar yang mampu diredam suara shower yang sengaja kunyalakan. Send : berapa lama saya harus menunggu? Ping : tidak akan lama dan senang berbisnis dengan anda, nona Runi. (M.K) Apa aku menarik nafas panjang untuk kalimat yang sedang ku baca itu. Rasanya tidak. Karena ponselku yang tak lagi bergetar, hanya melihat bagaimana sorot mataku yang menjauh sebelum layarnya mati. Zras...! Dan suara shower yang airnya membasahi ubin, kini menyapa tubuhku yang tak mengatakan apapun. Tidak dalam kepalaku, tidak dala