Home / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 42. KEBIASAAN CLARA YANG BERUBAH

Share

42. KEBIASAAN CLARA YANG BERUBAH

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-08-18 21:30:57

"Kamu baru pulang?"

Aku yang berpikir penghuni rumah yang sedang ku masuki sudah terlelap semua, menoleh.

Sementara lelaki yang rambutnya masih basah, menutup kulkas dengan gelas berisi air dingin di tangan.

"Iya, Mas." Jawabku berhenti melangkah lalu menggeleng untuk tawaran mas Rendra yang meneguk minumannya.

"Sudah makan?"

Kali ini aku mengangguk, memperhatikan lelaki yang keluar dari dapur.

Entah kenapa, aku jadi ikut melangkah, menaiki anak-anak tangga bersama mas Rendra yang aroma samponya menggelitik.

"Kamu sudah dapat lemburan?"

"Aku hanya jalan-jalan, Mas." Jawabku yang berharap aroma apapun yang menempel pada tubuh tidak akan dicium mas Rendra yang tubuhnya wangi sabun.

Tadi, Lena menumpahkan botol minumnya pada pangkuanku. Tidak sengaja tentu.

"Dan pegawai magang mana yang sudah dapat lemburan dari pengawasnya, Mas?"

Ucapanku membuat langkah mas Rendra berhenti. Tatapannya lebih menunduk dari biasanya karena aku menjaga jarak dua anak tangga dengannya.

Jdar!

Sa
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJADI ORANG KEDUA   43. MANUSIA BERUNTUNG

    Bisa seberuntung apa manusia? Ponselku kehabisan daya, power bank yang kubawa dipinjam rekan kerja, taksi yang kupesan tak juga menunjukan moncongnya. Dan mobil yang penggunanya seolah tak punya otak, menciptakan air hujan pada halte sepi yang hanya berisi diriku. Sungguh, bisa seberuntung apa manusia sesungguhnya? Sementara rintik deras yang diterbangkan angin kencang, tetap bisa menyapa tubuhku yang sudah menempel pada dinding halte. Berharap berkas dalam tas yang ku sembunyikan di belakang tubuh, tidak terkena cipratan air yang begitu ruahnya jatuh dari langit. "Apa ada angkot yang tidak akan protes pada pakaian basahku?" Dan aku tetap bertanya lalu melangkah maju setiap mendengar deru kendaraan. Meski, aku merasa aneh karena tak ada satupun bus atau angkot yang biasanya bersliweran, lewat. Sampai mobil warna putih yang platnya kukenali berhenti dan membuka pintunya. "Masuk, tak akan ada kendaraan yang lewat!" Tanpa perintah ke dua, aku yang bajunya basah meloncat ke dalam

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   44. BERTEMU CLARA DI HOTEL YANG SAMA

    "Ui...!" Panggilan diikuti tawa yang rasanya begitu nyata, membuatku membuka mata perlahan. Tapi, suara yang kudengar nyatanya lebih pelan dari hembusan nafasku yang terasa begitu panas. Sementara dekap hangat pemilik dada lebar yang memperdengarkan dengkuran pelan, tampak begitu nyaman dalam lelapnya. Aku terbangun dengan mata basah dan kerinduan yang begitu menyesakkan. Seakan mendorong dadaku begitu kuat sampai sakit sekali rasanya. "Runi?" Kurasa, aku membangunkan lelaki yang tidur di sampingku dan membuatnya terkejut, karena aku menangis dalam diam, lalu menyandarkan kening pada dadanya yang terasa begitu hangat. Tak ada kata apalagi tanya yang terucap dari bibir mas Rendra yang mengusapi kepalaku. Sementara suara hujan masih saja terdengar begitu jelas. Seolah belum ingin berhenti membasahi apa yang sudah tergenang. Aku benci sakit. Sakit membuatku tidak bisa berpikir jernih. Apalagi mengontrol apa yang kurasakan. Sakit tak hanya melemahkan tubuhku. Tapi juga hati, pe

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   45. CLARA YANG TERGANGGU

    Bukan tidak menyadari tatapan Clara, tapi, aku yang sesekali menyuap sarapan lebih memilih untuk bersikap biasa. "Apa pak Bram masih menyebalkan, Runi?" Yoshie yang menyendok nasi gorengnya menatapku. "Lo kenal juga,Yos?" "Gue pindah kerja karena gak tahan sama tu orang," jawab Yoshie yang kelopak matanya melebar. "Dan gak hanya gue tau, beberapa anak seangkatan gue pun milih resign gak tahan sama sikap pak Bram." "Bramujaya maksud lo?" "Iya, Dedo, lo kenal juga?" Yoshie bertanya. "Taulah gue." Semangat Dedo yang meletakkan cangkir kopi. "Bini gue juga bawahannya dulu. Dan tiap dia pulang, ada aja cerita tentang pak botak itu." Ucapan Dedo menciptakan tawa di meja yang isinya berupa, ada nasi goreng, pastri, pun mie. Teh dan kopi yang isinya sudah diminum pun ada. "Tapi sumpah, deh, kayaknya isi kepala botaknya itu cuma cara buat bikin bawahannya menderita dan jadi meragukan kemampuan sendiri," Yoshie menimpali, "bener-bener lingkungan kerja yang gak sehat. Toxic banget. Tiap

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   46. TATAPAN MAS RENDRA

    Klep! Suara cangkir yang mas Rendra letakkan pelan pada tatakan, rasanya menggema begitu keras untuk telingaku yang bisa melihat jadi seberubah apa ekspresi Clara. "Gak usah, Mas," jawabku cepat, tidak ingin menoleh pada Clara yang sorotnya begitu tajam saat ia melirikku. "Aku berangkatnya masih lamaan, kok." "Tuh, kamu denger dia ngomong apa 'kan?" Tidak ingin menyebut namaku, Clara berucap, "ayolah, Rendra, jangan buat aku menunggu untuk hal lain yang tidak penting." Ucapan Clara membuat mas Rendra mendongak. Menatapi sang kekasih yang tidak perduli pada pandangan orang. "Ren. Come on." Clara menarik tangan mas Rendra tak sabar. Benar-benar tidak perduli pada pandangan teman-teman satu kantor mereka yang memperhatikan dengan lirikan yang seolah bertanya, 'apa yang terjadi?' Dan aku yang dapat tatapan mas Rendra, menunjukkan senyum yang membuat mas Rendra menarik nafas dalam lalu berdiri. Tanpa kata, lelaki yang tangannya terus dirangkul sang kekasih, pergi. Meninggalkan dirik

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   47. ANCAMAN DALAM AMARAH

    "Ayo, biarkan mbak Runi istirahat." Ajakan eyang membuat dua bocah kembar yang wangi shampo dan sabunnya tidak ku cium karena hidungku tersumbat, berdiri enggan. Pelukan Riris yang ku larang tidur di kamarku begitu erat. Sampai ia yang pundaknya dirangkul eyang keluar bersama Ares, "Get well soon, Mbak-qu." Dan harapan sama dari Ares membuatku mengangguk sambil membalas lambaian tangan Riris. "Kamu yakin tak butuh sesuatu?" Aku menggeleng untuk tanya lelaki yang di tangannya memegang mangkok bubur yang isinya kuhabiskan tak bersisa. "Tidak, Mas, terimaksih. Dan maaf sudah merepotkan." "Tidak ada yang merasa direpotkan, Runi." Lelaki yang rasanya sengaja ditinggal keluarganya itu melangkah. Tapi ia yang sudah memegang engsel pintu menoleh, "telepon saja kalau kamu butuh sesuatu." Aku mengangguk dengan senyum yang menghilang saat pintu yang mas Rendra buka, tertutup. Dalam kamar yang kini benar-benar sunyi, aku tak lagi menunjukkan tawa, apalagi saat mengingat sorot mata mas Re

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   48. KECELAKAAN

    "SIALAN! LO BENARAN MAU MATI, HAH!?" Teriakan Lena mengagetkan gadis yang tampak begitu takut. Dan Lena yang sudah berdiri di samping Yuni, langsung mengangkat tas yang ia pukulkan pada tubuh Yuni, bertubi-tubi! Sekuat hati! "BRENGSEK!" "DASAR SIALAN!" "LANCUR GILA! LO BENERAN MAU MATI MALAM INI, HAH!?" Umpatan-umpatan kasar silih berganti dan begitu lancar keluar dari mulut Lena. Tangannya yang memegang tas, terus terarah pada tubuh Yuni. Gadis yang perawakannya lebih kecil. "Ampun Lena, ampun! Jangan pukul lagi, kumohon." Tapi, Lena yang rasanya dikuasai emosi tidak mau mendengar rengekan Yuni, gadis yang berlindung di belakangku. Sampai tanganku yang juga merasakan pukulan tas, memeluk tubuh Yuni. Menghindarkan Yuni dari amukan Lena yang benar-benar berasal dari hati. "Jangan pukul lagi, Lena, sakit. Kumohon." Dalam pelukanku, Yuni yang takut tak berani melawan. "MINGGIR! Cewek pemadat ini harus diberi pelajaran!" teriak Lena menariki tangan Yuni yang memelukku makin e

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   49. PETUNJUK KEBERADAAN SANTO

    Jawaban Lena membuatku hampir menginjak rem mendadak. Dan wajah kaget ku membuat Lena tertawa geli. Begitu terhibur sampai matanya berair dan jemarinya menjetik batang rokok yang abunya terbang di bawa angin. "Pas istirahat, gue ketemu bartender bule yang ngajak gue kencan sehabis kerja." Lena lanjut bercerita. Pun, sesekali menghisap rokok yang setia terselip di jarinya. "Caranya halus dan dia tau bagaimana memperlakukan wanita," kata gadis yang bahkan belum memiliki KTP ini. "Kita jalan, makan, ngobrol sampe pagi meski bahasa inggris gue pas-pasan," Lena yang melirikku, membuang sembarangan rokoknya yang hanya tinggal pangkal, "dan setelah itu kita pulang ke apartemenya, s*exnya hebat dan kita nyoba bermacam posisi sampe sore." Begitu lugas dan santai Lena bercerita padaku yang tidak menyela. Hanya mendengarkan saja. "One night stand yang ok banget dan tak terlupakan." Lena kembali menyalakan rokok. Bibir bergincunya mempermainkan kepulan asap yang kadang jadi bulatan sebelum t

    Last Updated : 2024-08-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   50. HUBUNGAN MEREKA

    Tap! Tap! Tap! Aku yang menaiki tangga tanpa menoleh ke arah manapun akhirnya membuka pintu. Pintu yang jadi sandaran saat dadaku yang mampu menahan diri, melirik laci terkunci. Sementara tubuh lelap remaja putri yang menyisakan ruang di atas kasur, mampu membuat debaran dadaku tak lagi bertalu-talu. Dan aku kembali melangkah. Menghampiri lemari dan masuk ke dalam kamar mandi dengan ponsel yang layarnya terus menyala. Sementara balasan-balasan pesan, masuk tanpa suara. Hanya getar yang mampu diredam suara shower yang sengaja kunyalakan. Send : berapa lama saya harus menunggu? Ping : tidak akan lama dan senang berbisnis dengan anda, nona Runi. (M.K) Apa aku menarik nafas panjang untuk kalimat yang sedang ku baca itu. Rasanya tidak. Karena ponselku yang tak lagi bergetar, hanya melihat bagaimana sorot mataku yang menjauh sebelum layarnya mati. Zras...! Dan suara shower yang airnya membasahi ubin, kini menyapa tubuhku yang tak mengatakan apapun. Tidak dalam kepalaku, tidak dala

    Last Updated : 2024-08-19

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status