Tap! Tap! Tap! Aku yang menaiki tangga tanpa menoleh ke arah manapun akhirnya membuka pintu. Pintu yang jadi sandaran saat dadaku yang mampu menahan diri, melirik laci terkunci. Sementara tubuh lelap remaja putri yang menyisakan ruang di atas kasur, mampu membuat debaran dadaku tak lagi bertalu-talu. Dan aku kembali melangkah. Menghampiri lemari dan masuk ke dalam kamar mandi dengan ponsel yang layarnya terus menyala. Sementara balasan-balasan pesan, masuk tanpa suara. Hanya getar yang mampu diredam suara shower yang sengaja kunyalakan. Send : berapa lama saya harus menunggu? Ping : tidak akan lama dan senang berbisnis dengan anda, nona Runi. (M.K) Apa aku menarik nafas panjang untuk kalimat yang sedang ku baca itu. Rasanya tidak. Karena ponselku yang tak lagi bergetar, hanya melihat bagaimana sorot mataku yang menjauh sebelum layarnya mati. Zras...! Dan suara shower yang airnya membasahi ubin, kini menyapa tubuhku yang tak mengatakan apapun. Tidak dalam kepalaku, tidak dala
Ruang tamu jadi sunyi untuk beberapa saat karena ucapan Ares. Tidak ada suara yang membantah atau teguran, meski pandangan sepasang suami istri yang potret kebersamaanya tidak tersimpan dalam figura-figura yang dipamerkan rasanya berubah. Sementara Ares yang berdiri tegak, menatap jalinan tangan sepasang suami istri yang ... 'entahlah, aku hanya orang asing yang baru mengenal keduanya beberapa menit.' Tidak mungkin aku bisa menggambarkan siapa mereka atau bagaimana perangai keduanya. Hanya saja, akan buta sekali diriku jika tidak bisa menilai sebaik apa hubungan orang-orang di sampingku. "Tante saat itu sakit, Res." Dan ucapan Tante Laksmi yang senyumnya menghilang, membuat Ares menaikkan ujung bibir kanannya tinggi. Dengusan pelan bahkan terdengar sampai Ares meraih amplop yang ia pandangi lekat. Tidak perduli pada wajah Tante Laksmi yang senyum permanenya terhapus, apalagi ingin menanggapi. "3 tahun?" Ucap Ares dengan suara penuh nada tak percaya. "Gak salah tulis, Pi?" Ares
"Beneran kamu gak ikut?" "Yah, gak seru dong." "Kamu mau kemana emang?" "Ini malam kita bisa keluyuran sampe puas tanpa berpikir harus bangun pagi buat kerja." "Runi...." Pamitku dapat banyak respon dari teman-teman kantor yang ingin jalan. Menghabiskan malam Minggu sekedar mencari suasana baru atau semacamnya. "Lho, Runi gak ikut kita?" "Gak, palingan dia ada kencan." "Sama?" "Yang waktu itu palingan." "Yang mana?" "Yang- Brak! Aku yang menutup pintu setelah menata posisi duduk di belakang kemudi, tak ingin mendengar kelanjutan dari kalimat yang memang tidak ingin kutanggapi. Dan, mataku melirik ponsel saat satu pesan masuk. Ping: done, Nona Runi. Semua sudah saya kirimkan ke e-mail anda. (M.K) Send: terimakasih. Hanya itu kalimat yang kukirim pada nomer yang memang chatnya kutunggu. Tapi, aku yang hendak meraih laptop mengurungkan niat. Memundurkan laju mobil yang terus ditatapi beberapa pasang mata. Orang-orang yang membalas lambaianku setelah menurunkan jendela.
'Tinggal bersama ayah dan ibu, bagaimana rasanya?' Aku adalah anak yang harus mendapat perawatan jiwa setelah ikut tinggal dengan bapak dan ibu. Mereka berdua adalah orang tua angkat yang nyatanya mau bersabar dengan luka yang kumiliki. Aku yang tidak perlu lagi menyembunyikan wajah Santo dari jepretan kamera, merasa takut teramat sangat saat adikku tidak ada dalam jangkauan tangan. Kalimat ayah yang menyuruhku untuk menjaga Santo, membuatku menangis sejadi-jadinya jika saat bangun Santo tidak ada di sisiku. Apa yang terjadi padaku begitu mengguncang jiwa saat aku tak lagi perlu merasa waspada. Rumah nyaman yang bapak dan ibu ciptakan untukku di kediaman mereka, bak pisau bermata dua yang mengharuskan diriku mendapat perawatan khusus untuk jiwaku. Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu, orang tua yang membuatku harus berlari menembus hujan petir? Meski usiaku baru enam tahun saat itu, di rumah kami aku dan adikku tumbuh dengan tawa. Dengan kasih juga cinta. Sampai tragedi yang meni
"Lain kali ajak akku main juga." Dahi Ares mengernyit dalam untuk ucapan Riris yang wajahnya menunjukkan kesal berbeda. Bocah tukang makan yang kenyang sebelum kami pulang melirikku dari tempatnya duduk. Tapi, tak mengatakan apapun kecuali membuat Riris makin iri untuk waktu yang ia habiskan bersamaku. Puas makan dan bermain setelah membeli kado untuk istri kedua ayah mereka. "Mbak, besok bolos juga dong." Dan pinta Riris membuatku mengusap rambutnya. "Aku tidur di kamar mbak lagi ya?" Aku hanya mengangguk sebelum pamit pada eyang, wanita yang tersenyum sesekali, mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca. "Selamat malam, Eyang." "Malam Runi." Aku tahu, wanita tua yang terus memandang punggungku ini pasti ingin tahu, 'apa aku akan mengiriminya pesan di tengah malam nanti?' Tapi ia lebih memilih menahan diri. Seolah percaya, gadis yang ingin ia jodohkan dengan cucu pertamanya tidak sedang melakukan hal buruk. "Kenapa tarikan nafasmu begitu dalam, Runi?" Aku bahkan tidak
"Jadi yang mana, nih? kue apa Arka yang kita samperin?" Pipi Riris merona untuk godaan bocah besar yang bersikap kalimatnya tentang Clara seolah tak berarti apapun. Dan aku yang tak ingin bertanya ataupun mencari tahu maksud dari ucapan Ares, turut menghampiri bocah lain yang mengenalkan diri. "Saya Arka, Mbak Runi. Salam kenal." Aku yang belum mengenalkan diri menjabat tangan Arka. Bocah tampan yang mampu membuat Riris mau tinggal lebih lama dalam pesta yang tak ingin ia hadiri. Meski pada akhirnya tak bisa mengobrol lama karena Arka sedang berkerja. Menghampiri siapapun dengan nampan berisi minuman dalam gelas yang isinya berkurang atau bertambah dengan gelas kosong yang airnya sudah pindah ke perut seseorang. "Saya izin dulu, Mbak.'" "Ya," jawabku pada Arka, bocah yang lesung pipinya seolah menoleh padaku yang akhirnya menyingkir, karena Ares dan Riris dihampiri beberapa kenalan mereka. Dipaksa tinggal untuk bercerita banyak hal, termasuk kanapa mereka bolos sekolah kemarin
"Bagian keuangan terus menolak dengan alasan sama, Runi, tidak perduli proposal macam apa yang kami berikan hah...!" Hembusan nafas kesal yang begitu dalam mbak Miska perdengarkan pada telingaku, yang bisa melihat wajah-wajah saudara bapak meski yang nampak di hadapanku adalah langit gelap. Sepasang kakak beradik yang selalu bisa menemukan salah pada diri orang lain, tapi, membenarkan sikap anak-anak mereka yang membuat adikku pergi karena, ... 'rasanya sesuatu dalam hatiku tersulut.' Emosi buruk yang membuatku ingin merutuk. Tapi, tidak ada kalimat sampah yang keluar dari hati maupun kepalaku yang tangannya mengerat kuat pada pegangan gelas. Aku yang mendengar suara putus asa mbak Miska, bisa membayangkan wajah-wajah lelah rekan satu divisiku yang pasti terus-menerus menerima telepon dari orang-orang seperti pak Noko. Sementara orang-orang yang bisa meringankan pekerjaan teman satu timku hanya dengan satu tanda tangan, justru memberi kesulitan. "Itu takkan terjadi, Mbak." "Mak
"Jangan dekat-dekat jendela." "Ayo, masuk saja ke bagian dalam." "Aduh, bajuku basah sekali ini." "Kuharap Lukman tidak akan memberi kita rasa bosan di bawah hujan petir ini." Dan suara yang datang dari segala penjuru makin ramai saat aku bisa menguasai diri. "Mbak memang tidak takut petir, Ka, hanya tidak suka." Ucapku pada Arka yang terus menatapi, "dan orang itu masih menunggumu, lho." Aku mengambil gelas dari nampan Arka, mengangkatnya dengan senyum untuk pria yang mengubah wajah kesal karena tak lagi sabar menunggu. "Pergilah." Ucapku mengusap lengan Arka yang mengangguk lalu berjalan cepat, menghampiri pria yang langsung meneguk dua gelas minuman dari nampan yang Arka bawa. Nampaknya, gemuruh petir dan derasnya hujan membuat pria itu kehausan. "Kenapa jadi musik seperti ini?" "Lihat siapa yang ada di sana." "Oh, ha ha ha." "Aku sudah berharap kenakalan apa lagi yang akan bocah nakal itu lakukan sejak ia dan kakak-kakaknya datang." "Tapi, apa kau lihat siapa yang data