"Bagian keuangan terus menolak dengan alasan sama, Runi, tidak perduli proposal macam apa yang kami berikan hah...!" Hembusan nafas kesal yang begitu dalam mbak Miska perdengarkan pada telingaku, yang bisa melihat wajah-wajah saudara bapak meski yang nampak di hadapanku adalah langit gelap. Sepasang kakak beradik yang selalu bisa menemukan salah pada diri orang lain, tapi, membenarkan sikap anak-anak mereka yang membuat adikku pergi karena, ... 'rasanya sesuatu dalam hatiku tersulut.' Emosi buruk yang membuatku ingin merutuk. Tapi, tidak ada kalimat sampah yang keluar dari hati maupun kepalaku yang tangannya mengerat kuat pada pegangan gelas. Aku yang mendengar suara putus asa mbak Miska, bisa membayangkan wajah-wajah lelah rekan satu divisiku yang pasti terus-menerus menerima telepon dari orang-orang seperti pak Noko. Sementara orang-orang yang bisa meringankan pekerjaan teman satu timku hanya dengan satu tanda tangan, justru memberi kesulitan. "Itu takkan terjadi, Mbak." "Mak
"Jangan dekat-dekat jendela." "Ayo, masuk saja ke bagian dalam." "Aduh, bajuku basah sekali ini." "Kuharap Lukman tidak akan memberi kita rasa bosan di bawah hujan petir ini." Dan suara yang datang dari segala penjuru makin ramai saat aku bisa menguasai diri. "Mbak memang tidak takut petir, Ka, hanya tidak suka." Ucapku pada Arka yang terus menatapi, "dan orang itu masih menunggumu, lho." Aku mengambil gelas dari nampan Arka, mengangkatnya dengan senyum untuk pria yang mengubah wajah kesal karena tak lagi sabar menunggu. "Pergilah." Ucapku mengusap lengan Arka yang mengangguk lalu berjalan cepat, menghampiri pria yang langsung meneguk dua gelas minuman dari nampan yang Arka bawa. Nampaknya, gemuruh petir dan derasnya hujan membuat pria itu kehausan. "Kenapa jadi musik seperti ini?" "Lihat siapa yang ada di sana." "Oh, ha ha ha." "Aku sudah berharap kenakalan apa lagi yang akan bocah nakal itu lakukan sejak ia dan kakak-kakaknya datang." "Tapi, apa kau lihat siapa yang data
Om Lukman yang nampak tersinggung menatapku tajam. "Anda benar, Om Lukman, saya bukan siapa-siapa." Ucapku, "tapi, setidaknya malam ini saya adalah orang yang dipercaya oleh wanita yang merawat anak-anak Om untuk menjaga Ares dan Riris." Aku bisa melihat mata lelaki yang kuajak bicara berkilat, "awalnya saya tidak paham kenapa eyang berkata seperti itu, tapi melihat Om dan Tante saat ini, rasanya saya jadi paham kenapa eyang berkata seperti itu pada saya." "Pi!" Tante Laksmi mengguncang lengan om Lukman yang mulutnya terbuka tanpa kata. Ia memberi dukungan yang tampaknya tidak berguna karena om Lukman yang terus menatapiku tak membalas apapun. "Dan saya sungguh minta maaf untuk kenakalan Ares yang membuat Om dan Tante malu malam ini." "Mbak...." Aku menoleh pada Ares yang sorot matanya terlihat tidak rela. Menunjukkan senyumku sebelum kembali menatap sepasang suami istri yang sorot matanya berbeda. Om Lukman seolah kehilangan kata-kata. Mungkin, ia merasa bersalah untuk kalimat
Siapa yang memulai? Entahlah. Atau bermula dari mana? Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, nafasku seakan habis saat Mas Rendra melepas pagutannya dari bibirku. Dan sebelum otakku yang seakan berhenti berpikir, bekerja lagi. Seperti tak perduli pada hal lain, Mas Rendra memagut bibirku kembali. Pun, memasukkan lidahnya, menyusuri tiap jengkal mulutku yang tak juga mengeluarkan penolakan! Kecupan yang awalnya hanya seperti salam, berubah makin dalam dan tak lagi bisa dihentikan. Lagi dan lagi dan lagi. DAN tanganku yang mendorong dada bidang mas Rendra, seakan tak bertenaga. Apalagi dengan satu tangannya saja, mas Rendra mampu memaku kedua lenganku yang ia tempelkan di pintu. Ruang gerakku makin tak bebas karena salah satu kaki Mas Rendra memisahkan kakiku. Entah kaki kanan ataukah kaki kirinya. Aku yang juga membalas ciuman mas Rendra, tak ingin memilih. Keiro, satu-satunya lelaki yang pernah menyapa bibirku tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku pun, bukan gadis lugu yan
"Tidak, Eyang. Saya hanya kurang tidur." Jawabku pada akhirnya. Jawaban yang tidak sepenuhnya kebohongan karena aku memang tidak bisa tidur. Sama sekali. Meski sudah memaksa diri. Dan nyatanya, pulasan make up tidak benar-benar mampu menutupi wajahku yang masih eyang perhatikan. Sampai tangan tuanya menyentuh lenganku. "Kamu kebanyakan di depan laptopmu, Ndok," ucap eyang yang usapan lembutnya membuatku merasa bersalah. "Padahal belum lama kamu sakit, Runi." "Iya, Eyang, ada ... yang harus saya kerjakan." ucapku pada wanita yang tatapannya selalu lembut saat menatapku. "Usahakan jangan terlalu capek, Ndok, atau ibumu benar-benar akan datang ke sini dan langsung membawamu pulang." "Iya, Eyang." Jawabku yang bisa merasakan tatapan lelaki yang bergabung begitu telat untuk sarapan. "Eyang, kalo mbak Runi dibawa pulang, aku boleh ikut mbak Runi gak?" "Habiskan saja sarapanmu." Dan jawaban eyang membuat bibir Ares manyun lalu memakan kerupuk yang bunyinya renyah sementara Riris men
"Maaf, saya tak bermaksud mengagetkan." Ucap mas Rendra yang langsung turun. "Kalo gak ganteng, lu udah gue gibag pake tas, Bang," balas Nora membetulkan rok pendeknya setelah berdiri tegak. "Saya benar-benar minta maaf." sesal Mas Rendra membuat Nora yang melirikku tersenyum. "Kite maafin, dah. Tapi, anterin kita makan dong, Bang. Cowok kemayu aw-!" Sesaat Nora yang pinggangnya Toro cubit melotot. "Maksud gue, cowok super macho di sebelah saya ini takut banget sama becek." Lirikan Toro tak berpengaruh apapun pada Nora. Apalagi mas Rendra mengangguk untuk ucapannya. "Ayolah, mau makan di mana? saya juga belum makan," balas Mas Rendra menatapku yang hanya memperhatikannya. Sementara benakku yang mulutnya rapat tertutup bertanya, 'sejak kapan ia menunggu?' Tidak mungkin sejak jam empat seperti yang kukatakan tadi pagi, bukan? Karena saat ini langit jingga di atas kami sudah bercampur dengan gelap. Dan itu bukan karena awan mendung yang tetesan airnya sudah menciptakan genangan.
"Ojek payung, Om!" Tawar bocah perempuan yang tubuhnya kuyup, tak lagi perduli pada tetes hujan yang terus saja turun tanpa perduli apa yang rintiknya basahi. "Ojeknya dua, ya?" Ucapan mas Rendra yang menurunkan kaca membuat binar dalam mata bocah perempuan yang nyatanya benar-benar ada, bukan hanya sebuah cerita. Bocah-bocah payung. Anak-anak yang menawarkan jasa untuk mendapat lembaran rupiah saat hujan turun. "Siap, Om!" Begitu semangat becah perempuan itu berucap lalu menoleh kebelakang, "Nono, kemari! Ada yang mau ojek!" Sementara aku yang baru kali ini melihat apa yang kudengar dari berita, memperhatikan bocah lain yang tubuhnya pun kuyup, berlari mendekat dengan payung kebesaran Tidak takut tersandung kakinya sendiri yang membuat cipratan pada tiap langkah. (Ui) Sementara senyum lebar sang bocah lelaki yang disuruh mendekat pada pintu di sampingku, membuatku diam. Karena aku bisa melihat adikku dalam diri bocah yang harus menunggu lama jika mas Rendra tidak menyentuh l
"Apa maksudmu, Mas Rendra?" Rasanya aku ingin bertanya seperti itu pada lelaki yang jarinya masih menyentuh garis senyumku. Tapi, tatapan lelaki yang sorotnya terasa begitu berbeda, membuat bibirku makin rapat dengan senyum yang memudar. Karena aku yang melihat sorot macam apa yang sedang mataku tunjukkan dalam pantulan kaca di belakang tubuh mas Rendra, rasanya sadar, 'seberapa kesepiannya sorot mataku saat ini.' Bahkan, cahaya lampu dari pigeot yang melewati kendaan kami tidak mampu menyamarkan tatapanku. Namun, "aku jadi kangen rumah saja, Mas." Jawabku, "ini kali pertama aku jauh dari bapak dan ibu." Aku yang melihat sorot mas Rendra ingin mencari kebenaran dalam kalimatku, rasanya ingin berpaling. Tapi, akan semencurigakan apa jika hal itu kulakukan? Saat aku sadar, aku harus meyakinkan diri mas Rendra jika aku hanya sedang merindukan rumahku, merindukan bapak dan ibuku. Tidak lebih dari itu! "Maaf membuatmu khawatir padaku, Mas." Dan kalimatku membuat ujung jari mas Ren