Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 61. TATAPAN MENUSUK

Share

61. TATAPAN MENUSUK

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-21 09:25:21

"Maaf, saya tak bermaksud mengagetkan." Ucap mas Rendra yang langsung turun.

"Kalo gak ganteng, lu udah gue gibag pake tas, Bang," balas Nora membetulkan rok pendeknya setelah berdiri tegak.

"Saya benar-benar minta maaf." sesal Mas Rendra membuat Nora yang melirikku tersenyum.

"Kite maafin, dah. Tapi, anterin kita makan dong, Bang. Cowok kemayu aw-!" Sesaat Nora yang pinggangnya Toro cubit melotot. "Maksud gue, cowok super macho di sebelah saya ini takut banget sama becek."

Lirikan Toro tak berpengaruh apapun pada Nora. Apalagi mas Rendra mengangguk untuk ucapannya.

"Ayolah, mau makan di mana? saya juga belum makan," balas Mas Rendra menatapku yang hanya memperhatikannya.

Sementara benakku yang mulutnya rapat tertutup bertanya, 'sejak kapan ia menunggu?'

Tidak mungkin sejak jam empat seperti yang kukatakan tadi pagi, bukan?

Karena saat ini langit jingga di atas kami sudah bercampur dengan gelap. Dan itu bukan karena awan mendung yang tetesan airnya sudah menciptakan genangan.

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   62. AKU KESEPIAN

    "Ojek payung, Om!" Tawar bocah perempuan yang tubuhnya kuyup, tak lagi perduli pada tetes hujan yang terus saja turun tanpa perduli apa yang rintiknya basahi. "Ojeknya dua, ya?" Ucapan mas Rendra yang menurunkan kaca membuat binar dalam mata bocah perempuan yang nyatanya benar-benar ada, bukan hanya sebuah cerita. Bocah-bocah payung. Anak-anak yang menawarkan jasa untuk mendapat lembaran rupiah saat hujan turun. "Siap, Om!" Begitu semangat becah perempuan itu berucap lalu menoleh kebelakang, "Nono, kemari! Ada yang mau ojek!" Sementara aku yang baru kali ini melihat apa yang kudengar dari berita, memperhatikan bocah lain yang tubuhnya pun kuyup, berlari mendekat dengan payung kebesaran Tidak takut tersandung kakinya sendiri yang membuat cipratan pada tiap langkah. (Ui) Sementara senyum lebar sang bocah lelaki yang disuruh mendekat pada pintu di sampingku, membuatku diam. Karena aku bisa melihat adikku dalam diri bocah yang harus menunggu lama jika mas Rendra tidak menyentuh l

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-22
  • MENJADI ORANG KEDUA   63. PETUNJUK LAIN

    "Apa maksudmu, Mas Rendra?" Rasanya aku ingin bertanya seperti itu pada lelaki yang jarinya masih menyentuh garis senyumku. Tapi, tatapan lelaki yang sorotnya terasa begitu berbeda, membuat bibirku makin rapat dengan senyum yang memudar. Karena aku yang melihat sorot macam apa yang sedang mataku tunjukkan dalam pantulan kaca di belakang tubuh mas Rendra, rasanya sadar, 'seberapa kesepiannya sorot mataku saat ini.' Bahkan, cahaya lampu dari pigeot yang melewati kendaan kami tidak mampu menyamarkan tatapanku. Namun, "aku jadi kangen rumah saja, Mas." Jawabku, "ini kali pertama aku jauh dari bapak dan ibu." Aku yang melihat sorot mas Rendra ingin mencari kebenaran dalam kalimatku, rasanya ingin berpaling. Tapi, akan semencurigakan apa jika hal itu kulakukan? Saat aku sadar, aku harus meyakinkan diri mas Rendra jika aku hanya sedang merindukan rumahku, merindukan bapak dan ibuku. Tidak lebih dari itu! "Maaf membuatmu khawatir padaku, Mas." Dan kalimatku membuat ujung jari mas Ren

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-22
  • MENJADI ORANG KEDUA   64. HARAPAN

    Send: Eyang, saya keluar sebentar. Aku yang tangannya sudah memegang kunci, menatap kamar pemilik rumah yang pasti sudah lelap mengingat ini lewat tengah malam. "Saya pergi dulu, Eyang." Pamitku pada telinga yang tidak mungkin mendengar, lalu masuk ke dalam Honda Civic yang membelah jalanan malam setelah melewati area perumahan yang pagar-pagarnya tinggi menjulang. "Hati-hati, Neng Runi." "Terimakasih Pak Bowo." Hanya itu kalimatku pada satpam yang tidak pernah bertanya akan kemana diriku malam-malam begini. Dengan kecepatan di atas rata-rata, aku menyalip kendaraan yang ada di depanku. Tidak perduli yang beroda dua ataupun empat. Mobilku yang tidak bisa dikatakan besar, derunya menggema dalam jalanan lengang meski gerimis turun. Bahkan, rasanya aku merutuk untuk tiap lampu merah! Sampai mobil yang ku kendarai seperti orang tak beradab, memasuki kawasan yang tempat parkirnya penuh sesak meski sudah lewat tengah malam. Begitu turun dari mobil alunan musik yang menggetarkan pavi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-22
  • MENJADI ORANG KEDUA   65. KEHIDUPAN YANG TIDAK KUTAHU

    Angin dingin menyambutku begitu keluar gedung yang ternyata hangat. Sementara langit malam yang mendung, menambah kemuraman dengan gerimis halus yang mudahnya terbang dibawa angin. Ping : Terimakasih, Mbak Runi. Kalau butuh informasi lagi tentang Joe, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Barisan chat dari waitres yang sengaja menubrukkan badannya padaku tadi, masuk Bersama bunyi pintu mobil yang kututup. Aku yang rasanya tidak akan lagi meminta bantuannya di masa depan, tetap membalas "ya" pun, membubuhi emotikon senyum meski mulutku rapat terkatup. Ping : senang berkenalan dengan anda, Mbak Runi. Aku tidak ingin menebak adakah kejujuran dalam kalimat waitres yang begitu pandai berakting agar kamara yang menyorot kami, tidak melihat ucapkan macam apa yang ia katakan padaku. Ping: jika butuh bantuan lagi saya akan senang membantu. Karena aku sadar, aku hanya orang kesekian yang meminta bantuannya untuk sebuah informasi dengan imbalan beberapa lembar rupiah. Send : terimakasih

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-22
  • MENJADI ORANG KEDUA   66. CALISTA SI JUTEK

    "Aye gorengan aje, Pak, pake uangnya Runi juga." Nora mengerling padaku. Sementara pak Salim mencatat pesanan kami."Nasi rendang, coklat sama gorengan," ulang Pak Salim menatap catatan di bukunya pada kami yang mengangguk."Terimakasih, Pak." Sementara ucapan itu kami katakan serempak pada lelaki yang kumis tebalnya sudah bercampur uban."Untung ye?""Apanya?""Pak Salim-lah, Cowok kemayu," jawab Nora. "Ongkos jalan tiap orang ngasih minimal goceng dikali 10 orang bisa jadi bisnis sendiri, tuh.""Jangan salah lo!" Balas Toro yang suaranya agak meninggi lalu menatap arah pak Salim pergi."Asal Lo tahu ya, Mpok, ada orang tega yang cuman ngasih ucapan makasih doang."Ucapan Toro membuat dahi Nora berkerut."Apalagi kalo sekelompok kayak kita gini. Dipikir, jalan ke sana ke sini gak capek apa? kadang disuruh pake uangnya dulu lagi. Iya kalo orangnya bayar, kadang pura-pura lupa dan baru bayar kalo ditagih. Itupun kalo orangnya mau bayar, kalo gak? Tekorlah pak Salim. Uang gak dapet, cap

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • MENJADI ORANG KEDUA   67. MEMORI YANG TERLUPAKAN

    "Runi... siapa cewek itu?""cewek yang mana?""Itu lho, Ciin, yang masuk ke ruangannya Babang Tomas," goda Toro pada Nora yang meliriknya tajam.'Calista?' ingatku yang menjawab, "sepupunya kak Tomas.""Sungguh!?" Dahi Nora yang tampak terkejut bahkan mengerut dalam, "beda banget sama Babang Tomas gue yang ramah.""Jutek maksud Lo, Ciin?""Lebih dari itu, Cowok Kemayu." Balas Nora melirik Toro. "Kesannya tuh, kasar banget orangnya. Masa yak, pak Salim aje die bantak-bentak cuman gegara ngalangin jalan yang masih selebar entu."Nora kembali mengalihkan pandangan padaku, sementara tangannya menunjukan lorong yang tidak bisa disebut kecil, "sok iye banget kayaknya tuh cewek atu dah."Toro mengangguk saat mataku beralih padanya."Kasarnye tuh ye, die kayak kesel ame sesuatu tapi nyang jadi pelampiasan pak Salim, serem kagak, tuh?""Lagi PMS kali, Cinn.""Itu sih pak Botak," sambar Anne yang lewat di belakang Nora, membuat Nora dan Toro tertawa sementara Anne mengangguk untuk sapaku."Tau

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • MENJADI ORANG KEDUA   68. MATI BERDIRI

    Tapi, pentingkah tanya itu ku jawab?Saat wanita tua yang benar-benar menerimaku masuk dan tinggal di dalam rumahnya ini, menunjukkan wajah khawatir begitu nyata.Sementara sentuhannya pada lenganku terasa tidak asing."Tapi, entah kenapa aku masih ingin percaya padamu, Ndok."Dan ucpan eyang membuat manik mataku yang memilih bisu, membesar."Kau adalah anak kebanggaan Sam dan Nita. Orang tua yang selalu mengatakan hal baik tentang dirimu." Eyang bahkan menunjukkan senyum saat tangannya terangkat. Menyentuh pipiku."Dan itu pula yang kulihat, pun, kurasakan setelah kau tinggal denganku, Ndok."Eyang menepuk tanganku, "mengenal dirimu, rasanya sulit bagiku unyuk berpikir kamu sedang melakukan hal yang akan kamu sesali dikemudian hari, Seruni."Dan kini, eyang kembali memperlihatkan wajah tawanya dengan sorot mata yang tidak berubah, "tapi, kamu benar-benar membuat wanita tua ini penasaran, Runi, sungguh-sungguh penasaran."Aku yang bisa merasakan ketulusan dalam ucapan pun sorot mata

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • MENJADI ORANG KEDUA   69. ANAK PUNGUT TAK TAHU DIRI

    Jadi satu-satunya pusat perhatian.Kurasa, salah satu keponakan bapak benar-benar mendapatkannya detik ini.Saat mata pemilik bar yang memang jadi tujuanku datang, pun, bocah besar yang merangkul pundakku meliriknya."Hai, Rin." Ucapku singkat."Hai!? Cuma itu yang bisa kamu ucapin setelah beberapa lama kita gak ketemu?" Karin berjalan makin dekat. Memperpendek jarak kami. Meninggal Joe Makarov yang pandangannya mengikuti. "Apa kamu gak mau ngucapin selamat padaku?" Ucap Karin dengan keramahan yang tak bisa menipu mataku. "Hai, Kak, selamat ulang tahun ya."Karin melirik uluran tangan Silvan yang terus merangkul pundakku. Ia menggeleng dan berdiri makin dekat. Menunjukkan sedikit sifat aslinya dan melewati tangan Silvan begitu saja.Sementara bocah besar yang ucapan selamatnya diabaikan, hanya mengangkat bahu. Sampai senyum lebar Karin yang tatapannya merendahkan tertuju tepat pada diriku."Aaah, sorry," ucapnya dengan pandangan terhibur, "aku sampai lupa, kamu memang tidak pernah

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status