Angin dingin menyambutku begitu keluar gedung yang ternyata hangat. Sementara langit malam yang mendung, menambah kemuraman dengan gerimis halus yang mudahnya terbang dibawa angin. Ping : Terimakasih, Mbak Runi. Kalau butuh informasi lagi tentang Joe, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Barisan chat dari waitres yang sengaja menubrukkan badannya padaku tadi, masuk Bersama bunyi pintu mobil yang kututup. Aku yang rasanya tidak akan lagi meminta bantuannya di masa depan, tetap membalas "ya" pun, membubuhi emotikon senyum meski mulutku rapat terkatup. Ping : senang berkenalan dengan anda, Mbak Runi. Aku tidak ingin menebak adakah kejujuran dalam kalimat waitres yang begitu pandai berakting agar kamara yang menyorot kami, tidak melihat ucapkan macam apa yang ia katakan padaku. Ping: jika butuh bantuan lagi saya akan senang membantu. Karena aku sadar, aku hanya orang kesekian yang meminta bantuannya untuk sebuah informasi dengan imbalan beberapa lembar rupiah. Send : terimakasih
"Aye gorengan aje, Pak, pake uangnya Runi juga." Nora mengerling padaku. Sementara pak Salim mencatat pesanan kami."Nasi rendang, coklat sama gorengan," ulang Pak Salim menatap catatan di bukunya pada kami yang mengangguk."Terimakasih, Pak." Sementara ucapan itu kami katakan serempak pada lelaki yang kumis tebalnya sudah bercampur uban."Untung ye?""Apanya?""Pak Salim-lah, Cowok kemayu," jawab Nora. "Ongkos jalan tiap orang ngasih minimal goceng dikali 10 orang bisa jadi bisnis sendiri, tuh.""Jangan salah lo!" Balas Toro yang suaranya agak meninggi lalu menatap arah pak Salim pergi."Asal Lo tahu ya, Mpok, ada orang tega yang cuman ngasih ucapan makasih doang."Ucapan Toro membuat dahi Nora berkerut."Apalagi kalo sekelompok kayak kita gini. Dipikir, jalan ke sana ke sini gak capek apa? kadang disuruh pake uangnya dulu lagi. Iya kalo orangnya bayar, kadang pura-pura lupa dan baru bayar kalo ditagih. Itupun kalo orangnya mau bayar, kalo gak? Tekorlah pak Salim. Uang gak dapet, cap
"Runi... siapa cewek itu?""cewek yang mana?""Itu lho, Ciin, yang masuk ke ruangannya Babang Tomas," goda Toro pada Nora yang meliriknya tajam.'Calista?' ingatku yang menjawab, "sepupunya kak Tomas.""Sungguh!?" Dahi Nora yang tampak terkejut bahkan mengerut dalam, "beda banget sama Babang Tomas gue yang ramah.""Jutek maksud Lo, Ciin?""Lebih dari itu, Cowok Kemayu." Balas Nora melirik Toro. "Kesannya tuh, kasar banget orangnya. Masa yak, pak Salim aje die bantak-bentak cuman gegara ngalangin jalan yang masih selebar entu."Nora kembali mengalihkan pandangan padaku, sementara tangannya menunjukan lorong yang tidak bisa disebut kecil, "sok iye banget kayaknya tuh cewek atu dah."Toro mengangguk saat mataku beralih padanya."Kasarnye tuh ye, die kayak kesel ame sesuatu tapi nyang jadi pelampiasan pak Salim, serem kagak, tuh?""Lagi PMS kali, Cinn.""Itu sih pak Botak," sambar Anne yang lewat di belakang Nora, membuat Nora dan Toro tertawa sementara Anne mengangguk untuk sapaku."Tau
Tapi, pentingkah tanya itu ku jawab?Saat wanita tua yang benar-benar menerimaku masuk dan tinggal di dalam rumahnya ini, menunjukkan wajah khawatir begitu nyata.Sementara sentuhannya pada lenganku terasa tidak asing."Tapi, entah kenapa aku masih ingin percaya padamu, Ndok."Dan ucpan eyang membuat manik mataku yang memilih bisu, membesar."Kau adalah anak kebanggaan Sam dan Nita. Orang tua yang selalu mengatakan hal baik tentang dirimu." Eyang bahkan menunjukkan senyum saat tangannya terangkat. Menyentuh pipiku."Dan itu pula yang kulihat, pun, kurasakan setelah kau tinggal denganku, Ndok."Eyang menepuk tanganku, "mengenal dirimu, rasanya sulit bagiku unyuk berpikir kamu sedang melakukan hal yang akan kamu sesali dikemudian hari, Seruni."Dan kini, eyang kembali memperlihatkan wajah tawanya dengan sorot mata yang tidak berubah, "tapi, kamu benar-benar membuat wanita tua ini penasaran, Runi, sungguh-sungguh penasaran."Aku yang bisa merasakan ketulusan dalam ucapan pun sorot mata
Jadi satu-satunya pusat perhatian.Kurasa, salah satu keponakan bapak benar-benar mendapatkannya detik ini.Saat mata pemilik bar yang memang jadi tujuanku datang, pun, bocah besar yang merangkul pundakku meliriknya."Hai, Rin." Ucapku singkat."Hai!? Cuma itu yang bisa kamu ucapin setelah beberapa lama kita gak ketemu?" Karin berjalan makin dekat. Memperpendek jarak kami. Meninggal Joe Makarov yang pandangannya mengikuti. "Apa kamu gak mau ngucapin selamat padaku?" Ucap Karin dengan keramahan yang tak bisa menipu mataku. "Hai, Kak, selamat ulang tahun ya."Karin melirik uluran tangan Silvan yang terus merangkul pundakku. Ia menggeleng dan berdiri makin dekat. Menunjukkan sedikit sifat aslinya dan melewati tangan Silvan begitu saja.Sementara bocah besar yang ucapan selamatnya diabaikan, hanya mengangkat bahu. Sampai senyum lebar Karin yang tatapannya merendahkan tertuju tepat pada diriku."Aaah, sorry," ucapnya dengan pandangan terhibur, "aku sampai lupa, kamu memang tidak pernah
Permukaan air kolam makin bergelombang saat aku naik kepermukaan dengan nafas tersengal butuh udara.Pelampiasan.Itulah yang sedang kulakukan saat saat ini.Saat aku yang seharusnya masih mengabiskan waktu duduk di salah satu kursi bar, pulang lebih awal dengan perasaan buruk yang tak tahu harus ku salurkan kemana.Sementara wajah Karin yang begitu lugasnya menyebut adikku menjijikan dan tak tahu diri, berubah pucat hanya karena aku membalas dengan beberapa kata.Tes! Tes!Dan tetes hujan yang menyapu wajah, mengalir ke dalam mata kemudian jatuh menyusuri pipiku bersama air mata yang keluar tanpa isak.Dadaku begitu sesak.Bukan karena ucapan yang terlalu sering diperdengarkan Karin padaku. Baik langsung atau berbisik. Ucapan sama yang juga keluarga bapak perdengarkan padaku juga pada adikku sejak kami hadir dalam hidup mereka.Mungkin kini, aku sudah benar-benar mati rasa untuk memikirkan apa yang sengaja mereka semua perdengarkan, orang-orang yang sikapnya langsung berubah begitu b
Rasanya aku tidak bermimpi apapun semalam, kecuali merasakan kerinduan untuk adikku saat bangun. "Tumben Mbak Runni bangun sebelum aku." Pun, tanya heran Riris yang membangunkan diriku yang nyatanya benar-benar telat bangun. Tapi, lihatlah kini. Kakiku rasanya benar-benar terpaku saat lelaki berdarah Rusia yang menunggu, bangun dari sofa tempat ia duduk. Pun, tampak sekali tidak perduli pada decak kagum serta tatapan terpesona berpasang-pasang mata yang menjadikannya 'eye candy' gratisan. Termasuk gadis Betawi nyablak yang bahkan tak berkedip. Melupakan babang Tomas yang selalu ia puji dimanapun. Sementara Toro, menyentuh lenganku. "Siapa?" Tanyanya. Tapi, aku bahkan tidak yakin harus menjawab apa. Karena Joenathan Makarov bukan apa-apa bagiku yang ingin bertemu Santo. Ia hanya lelaki yang hasil foto dari kameranya, mampu mengabadikan potret adikku, gadis yang menghilang sejak aku mengirim DM, juga Lena. Tidak lebih dari itu. "Runi?" "... tunggu, ya." Jawabku yang sudah bi
"Kamu sudah merasa lebih tenang?"Joe menyerahkan tissu padaku yang menatapnya. "Dimana adikku, Joe?"Lelaki yang ku tanyai melirik tissu yang terpaksa kuambil dan hanya kugenggam sampai Joe yang ada di depanku berdiri tegak.Sementara aku yang terduduk di atas ubin, mendongak. Melihatnya menoleh pada lukisan adiku."Santo benar, kamu tak kan bisa bicara saat menangis melihat potretmu ini, Seruni."Joe mengulurkan tangan padaku yang diam menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaanku."Come on, atau minuman spesial buatan mbok Sumi jadi benar-benar dingin dan aku akan memintanya membuat lagi untuk kita."Aku terpaksa berdiri, menyambut tangan lelaki yang langkahnya kuikuti. Tidak ingin merepotkan wanita yang menyambutku dengan tatapan kaget sejak pertama kali mbok Sumi melihatku tadi."Duduklah."Tanpa perintah ke dua, aku yang diajak masuk lebih dalam, duduk di teras belakang.Taman dengan botsai yang tampaknya jadi koleksi, mempercantik kolam renang berbentuk oval yang airnya begitu
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re