"Runi... siapa cewek itu?""cewek yang mana?""Itu lho, Ciin, yang masuk ke ruangannya Babang Tomas," goda Toro pada Nora yang meliriknya tajam.'Calista?' ingatku yang menjawab, "sepupunya kak Tomas.""Sungguh!?" Dahi Nora yang tampak terkejut bahkan mengerut dalam, "beda banget sama Babang Tomas gue yang ramah.""Jutek maksud Lo, Ciin?""Lebih dari itu, Cowok Kemayu." Balas Nora melirik Toro. "Kesannya tuh, kasar banget orangnya. Masa yak, pak Salim aje die bantak-bentak cuman gegara ngalangin jalan yang masih selebar entu."Nora kembali mengalihkan pandangan padaku, sementara tangannya menunjukan lorong yang tidak bisa disebut kecil, "sok iye banget kayaknya tuh cewek atu dah."Toro mengangguk saat mataku beralih padanya."Kasarnye tuh ye, die kayak kesel ame sesuatu tapi nyang jadi pelampiasan pak Salim, serem kagak, tuh?""Lagi PMS kali, Cinn.""Itu sih pak Botak," sambar Anne yang lewat di belakang Nora, membuat Nora dan Toro tertawa sementara Anne mengangguk untuk sapaku."Tau
Tapi, pentingkah tanya itu ku jawab?Saat wanita tua yang benar-benar menerimaku masuk dan tinggal di dalam rumahnya ini, menunjukkan wajah khawatir begitu nyata.Sementara sentuhannya pada lenganku terasa tidak asing."Tapi, entah kenapa aku masih ingin percaya padamu, Ndok."Dan ucpan eyang membuat manik mataku yang memilih bisu, membesar."Kau adalah anak kebanggaan Sam dan Nita. Orang tua yang selalu mengatakan hal baik tentang dirimu." Eyang bahkan menunjukkan senyum saat tangannya terangkat. Menyentuh pipiku."Dan itu pula yang kulihat, pun, kurasakan setelah kau tinggal denganku, Ndok."Eyang menepuk tanganku, "mengenal dirimu, rasanya sulit bagiku unyuk berpikir kamu sedang melakukan hal yang akan kamu sesali dikemudian hari, Seruni."Dan kini, eyang kembali memperlihatkan wajah tawanya dengan sorot mata yang tidak berubah, "tapi, kamu benar-benar membuat wanita tua ini penasaran, Runi, sungguh-sungguh penasaran."Aku yang bisa merasakan ketulusan dalam ucapan pun sorot mata
Jadi satu-satunya pusat perhatian.Kurasa, salah satu keponakan bapak benar-benar mendapatkannya detik ini.Saat mata pemilik bar yang memang jadi tujuanku datang, pun, bocah besar yang merangkul pundakku meliriknya."Hai, Rin." Ucapku singkat."Hai!? Cuma itu yang bisa kamu ucapin setelah beberapa lama kita gak ketemu?" Karin berjalan makin dekat. Memperpendek jarak kami. Meninggal Joe Makarov yang pandangannya mengikuti. "Apa kamu gak mau ngucapin selamat padaku?" Ucap Karin dengan keramahan yang tak bisa menipu mataku. "Hai, Kak, selamat ulang tahun ya."Karin melirik uluran tangan Silvan yang terus merangkul pundakku. Ia menggeleng dan berdiri makin dekat. Menunjukkan sedikit sifat aslinya dan melewati tangan Silvan begitu saja.Sementara bocah besar yang ucapan selamatnya diabaikan, hanya mengangkat bahu. Sampai senyum lebar Karin yang tatapannya merendahkan tertuju tepat pada diriku."Aaah, sorry," ucapnya dengan pandangan terhibur, "aku sampai lupa, kamu memang tidak pernah
Permukaan air kolam makin bergelombang saat aku naik kepermukaan dengan nafas tersengal butuh udara.Pelampiasan.Itulah yang sedang kulakukan saat saat ini.Saat aku yang seharusnya masih mengabiskan waktu duduk di salah satu kursi bar, pulang lebih awal dengan perasaan buruk yang tak tahu harus ku salurkan kemana.Sementara wajah Karin yang begitu lugasnya menyebut adikku menjijikan dan tak tahu diri, berubah pucat hanya karena aku membalas dengan beberapa kata.Tes! Tes!Dan tetes hujan yang menyapu wajah, mengalir ke dalam mata kemudian jatuh menyusuri pipiku bersama air mata yang keluar tanpa isak.Dadaku begitu sesak.Bukan karena ucapan yang terlalu sering diperdengarkan Karin padaku. Baik langsung atau berbisik. Ucapan sama yang juga keluarga bapak perdengarkan padaku juga pada adikku sejak kami hadir dalam hidup mereka.Mungkin kini, aku sudah benar-benar mati rasa untuk memikirkan apa yang sengaja mereka semua perdengarkan, orang-orang yang sikapnya langsung berubah begitu b
Rasanya aku tidak bermimpi apapun semalam, kecuali merasakan kerinduan untuk adikku saat bangun. "Tumben Mbak Runni bangun sebelum aku." Pun, tanya heran Riris yang membangunkan diriku yang nyatanya benar-benar telat bangun. Tapi, lihatlah kini. Kakiku rasanya benar-benar terpaku saat lelaki berdarah Rusia yang menunggu, bangun dari sofa tempat ia duduk. Pun, tampak sekali tidak perduli pada decak kagum serta tatapan terpesona berpasang-pasang mata yang menjadikannya 'eye candy' gratisan. Termasuk gadis Betawi nyablak yang bahkan tak berkedip. Melupakan babang Tomas yang selalu ia puji dimanapun. Sementara Toro, menyentuh lenganku. "Siapa?" Tanyanya. Tapi, aku bahkan tidak yakin harus menjawab apa. Karena Joenathan Makarov bukan apa-apa bagiku yang ingin bertemu Santo. Ia hanya lelaki yang hasil foto dari kameranya, mampu mengabadikan potret adikku, gadis yang menghilang sejak aku mengirim DM, juga Lena. Tidak lebih dari itu. "Runi?" "... tunggu, ya." Jawabku yang sudah bi
"Kamu sudah merasa lebih tenang?"Joe menyerahkan tissu padaku yang menatapnya. "Dimana adikku, Joe?"Lelaki yang ku tanyai melirik tissu yang terpaksa kuambil dan hanya kugenggam sampai Joe yang ada di depanku berdiri tegak.Sementara aku yang terduduk di atas ubin, mendongak. Melihatnya menoleh pada lukisan adiku."Santo benar, kamu tak kan bisa bicara saat menangis melihat potretmu ini, Seruni."Joe mengulurkan tangan padaku yang diam menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaanku."Come on, atau minuman spesial buatan mbok Sumi jadi benar-benar dingin dan aku akan memintanya membuat lagi untuk kita."Aku terpaksa berdiri, menyambut tangan lelaki yang langkahnya kuikuti. Tidak ingin merepotkan wanita yang menyambutku dengan tatapan kaget sejak pertama kali mbok Sumi melihatku tadi."Duduklah."Tanpa perintah ke dua, aku yang diajak masuk lebih dalam, duduk di teras belakang.Taman dengan botsai yang tampaknya jadi koleksi, mempercantik kolam renang berbentuk oval yang airnya begitu
Aku yang meninggalkan seluruh barangku di kantor kecuali ponsel, mengunci mobil yang begitu mencolok di tempat parkir.Tanpa kata aku melangkah, ingin masuk ke dalam kantor sepi."Sore, Mbak Runi."Sampai sapaan pak Salim yang masih memakai seragam kerjanya membuatku menoleh, "selamat sore, Pak Salim. Bapak belum pulang?""Sudah Neng, tapi balik lagi," jawab pak Salim merogoh saku baju lalu menyerahkan kunci mobil yang kukenali. "Tadi, Mas Toro nitip ini pas saya bilang mau nungguin Mbak Runi. Barang-barang punya Mbak juga sudah di masukkan ke dalam mobil."Aku menatap Honda Civic yang ditunjuk telunjuk pak Salim, "terimakasih, Pak, maaf merepotkan," ucapku menerima kunci lalu bertanya, "kenapa Bapak nungguin saya?""Sama-sama Nang," jawabnya, "itu, keripik singkong pesanan Mbak Runi sudah jadi."Pandanganku menunduk, menatap kardus yang membuat pupil mataku membesar karena dua bocah yang duduk di samping kardus wajahnya tidak asing.Rama dan Mala, dua bocah kecil yang menjual keripik
Bantingan bola basket pada beton terdengar ramai saat dua remaja yang wajahnya serupa berebut bola."Aku tak tahu kamu bisa sejahil itu."Mas Rendra yang duduk di sampingku menoleh, mengalihkan pandangan dari dua adiknya yang ingin berkeringat setelah makan malam kami."Aku juga baru tahu kamu bisa setega itu mencabut rambutku."Mendengar ucapan Mas Rendra, aku tertawa lepas seketika.Tawa yang rasanya mejadi pandangan bagi lelaki yang benar-benar memperhatikan diriku, seolah apa yang ia lihat adalah hal langka.Langka? Tentu saja tawa lepasku adalah hal yang begitu luar biasa.Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali aku menunjukkan senyum tulus sejak adikku pergi empat tahun lalu.Tidak pada orang-orang yang kutinggalkan agar bisa mencari Santo, tidak pada Keiro yang kehadirannya menjadi biasa dalam hidupku, pun, tidak pada orang-orang yang kutemui di kota yang tanahnya kupijaki detik ini.Dan mas Rendra yang sorot matanya seolah ingin mengabadikan apa yang ia lihat, terus menatapiku s
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa
"Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in