Bantingan bola basket pada beton terdengar ramai saat dua remaja yang wajahnya serupa berebut bola."Aku tak tahu kamu bisa sejahil itu."Mas Rendra yang duduk di sampingku menoleh, mengalihkan pandangan dari dua adiknya yang ingin berkeringat setelah makan malam kami."Aku juga baru tahu kamu bisa setega itu mencabut rambutku."Mendengar ucapan Mas Rendra, aku tertawa lepas seketika.Tawa yang rasanya mejadi pandangan bagi lelaki yang benar-benar memperhatikan diriku, seolah apa yang ia lihat adalah hal langka.Langka? Tentu saja tawa lepasku adalah hal yang begitu luar biasa.Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali aku menunjukkan senyum tulus sejak adikku pergi empat tahun lalu.Tidak pada orang-orang yang kutinggalkan agar bisa mencari Santo, tidak pada Keiro yang kehadirannya menjadi biasa dalam hidupku, pun, tidak pada orang-orang yang kutemui di kota yang tanahnya kupijaki detik ini.Dan mas Rendra yang sorot matanya seolah ingin mengabadikan apa yang ia lihat, terus menatapiku s
Tok tok!"Masuk aja, Mbok, gak dikunci," ucapku yang tidak mengalihkan pandangan dari layar laptop yang sudah menyala lama. Pun, entah sampai kapan akan menyala."Apa yang terjadi dengan kamar ini?"Dan suara yang bukan milik mbok Surti ataupun mbak Imah, membuatku menoleh pada lelaki yang tangannya membawa nampan berisi minuman yang kuminta."Aku membawakan kopimu, Nona," ucap mas Rendra yang menutup pintu untuk sorot mataku yang rasanya bertanya apa yang sedang ia lakukan?"Terimakasih, Mas, tolong letakkan di ... dimana saja," ucapku yang matanya sudah berkeliling, mencari tempat."Ok." Jawab mas Rendra yang langkahnya makin dekat sementara aku kembali mengetiki keyboard meraba-raba lantai."Cari ini?" Tanya Mas Rendra menyerahkan USB yang langsung kucolokkan pada laptop dan menatap pria yang menggeser tumpukan kertas untuk meletakkan nampan, "terimakasih, Mas."Tapi, lelaki yang mengangguk untuk ucapanku justru duduk sampai aku menoleh padanya. "Kamu ada perlu denganku?" tanyaku
"Atas nama pribadi, saya sungguh-sungguh meminta maaf untuk ketidak nyamanan yang sudah pihak kami timbukan, Pak Noko." Lelaki yang menjabat tanganku mengangguk, "kuharap, hal seperti ini tidak perlu terulang di masa depan, Nak Seruni." "Kami akan terus membenahi diri Pak Noko." Dan jabatan lelaki yang menoleh pada cucunya menguat. "Kuharap begitu, Nak Seruni." Aku membungkuk untuk langkah lelaki yang keluar dari lounge salah satu hotel yang menjadi tempat pertemuan kami setelah mengatur janji temu. Begitupun lelaki muda yang membungkuk lebih dalam dariku, sebelum menyusul bosnya dengan surat perjanjian yang sudah diperbaharui. Sementara bocah perempuan yang pipinya begitu bulat, melambaikan tangannya padaku yang membalas. Apa aku merasa lega untuk hal yang nyatanya lebih mudah jika dibandingkan dengan beberapa hari terakhir? Saat aku harus terbang ke tempat lain lalu kembali ke kota ini di hari yang sama. Rasanya tidak. Karena apa yang akan kulakukan setelah pulang, jauh lebi
"Rumah hanya jadi sangat sepi kalau ibu tidak ada kegiatan, Ndok." Ucap ibu yang sorot matanya pun berubah.Bohong jika aku tidak merasakan apapun untuk tatapan ibu yang rasa kesepiannya pun mengetuki batinku.Aku, anak yang sudah dirawatnya dengan penuh kasih sejak umurku enam tahun, akan buta sekali jika tidak melihat kerinduannya padaku yang baru kali ini keluar dari rumah. Tidak pulang bahkan akan tinggal jauh darinya selama berbulan-bulan.Meski setiap pagi kami bertukar kata, juga pesan. Hal macam itu tidak akan mampu menghapuskan rindu yang ibu rasakan padaku.TIDAK AKAN MUNGKIN!"Tapi, Ibu tenang karena tahu kamu tinggal dengan orang-orang yang akan menjagamu, Ndok." Ibu melirik mas Rendra yang pasti juga mendengar perubahan nada suara ibu."Terimakasih ya, Nak Rendra."Mas Rendra mulutnya terbuka, sementara matanya nampak kaget untuk kalimat tulus ibu yang membuat wajahnya sedikit bermasalah. Apalagi saat tatapannya melihat bagian leherku yang masih menggunakan baju berkerah
Mas, kalau sudah bangun turun ya| Aku yang memencet tombol kirim, menoleh pada bunyi ponsel yang membuat obrolan ibu dan mbok Darmi yang sedang berdiskusi tentang apa yang ingin keduanya masak untuk menu besok, berhenti berucap. Ping! Rasanya, mata dua wanita yang tak lagi muda itu pun terkesima dengan kehadiran lelaki yang berhenti melangkah untuk melihat layar ponselnya itu. "Anak mantuku, Mbok." Sampai ucapnya ibu membuat diriku mengalihkan pandangan dari lelaki dengan polo shirt warna putih pun celana joger yang begitu pas melekat di badan mas Rendra. Dan tarikan nafasku membuat ibu tersenyum lalu menyambut lelaki yang langsung ia suruh duduk pun tawari macam-macam. "Teh saja, Bu." Ucap mas Rendra meletakkan ponsel di meja lalu menatapku dengan tanya, "kenapa?" "Kami mau ajak kamu makan di alun-alun, Mas." "Tehnya, Den." Mbok Darmi meletakkan cangkir berisi teh hangat. Minuman yang begitu cocok di sajikan untuk menikmati sisa hari. "Terimakasih, Mbok." Ucap mas Rendra pad
"Assalamualaikum."Aku terdiam di tempatku saat mendapati bapak pulang dengan wajah lelah. Tapi, mata tuanya berbinar saat melihatku. Pun, memperlihatkan senyumnya yang selalu kuingat."Siapa ini, kok, pulang gak bilang?" Bapak memelukku erat lalu melihat Ibu yang tersenyum menyentuh bahu mas Rendra yang mendekat."Lihat, anak kita pulang dengan siapa, Pak."Bapak yang masih memelukku mengangguk. Menatapi lelaki yang mengulurkan tangan dan mencium tangan bapak."Apa kabar, Pak?""Tidak pernah sebaik ini, Nak Rendra," bapak menatapku yang kepalanya ia usap. Pun, mengeratkan pelukannya sebelum melepas ku dan kembali menatap mas Rendra, "dateng kapan, to? Kok gak ada yang ngasi tau bapak ini lho.""Siang tadi, Pak.""Bu...?" Bapak melirik ibu yang berjalan ke dapur, lebih memilih untuk membuat air jahe untuknya."Kejutan, Pak, kejutan." Balas ibu yang membuat bapak menggeleng dengan hembusan nafas lama namun berakhir dengan senyum saat menatapku. "Gimana kabar orang rumah?""Baik, Pak
"Sama sepertimu, Pak, aku juga tidak perduli pada apa yang orang katakan. Karena aku adalah putri kalian."Pandangan bapak melembut untuk genggaman tanganku yang matanya melirik apa yang ada di meja.Berkas berisi nama-nama tak asing yang wajahnya pun bapak kenali."Dan meraka," ucapku kembali menatap bapak, "adalah orang-orang yang mampu dan mencintai perusahaan keluargamu, Pak. Aku yakin mereka bisa membimbing sepupu-sepupuku selama mereka mau belajar.""Kau pikir anak-anak manja itu mau, Runi?" Pandangan mata bapak berubah, tak lagi mengguratkan amarah saat hembusan nafasnya yang keras keluar."Bapak heran, apa yang sepupu-sepupumu pelajari di bangku sekolah." Bapak memandangku, tatapan matanya melembut tapi ada sedikit kesedihan di sana. "Maafkan Bapak, Ndok."Suara Bapak yang genggaman jarinya menguat, bergetar. Lalu menarikku yang tidak menjawab ucapan maafnya saat wajah Santo memenuhi benakku."Sungguh maafkan Bapak."Aku yang matanya terasa panas, mengangkat tangan. Membalas d
Dari pada ucapannya, aku lebih terkejut untuk senyum yang mas Rendra perlihatkan saat jarinya kembali mengusap sisa air mataku."Saat pulang, seringkali aku melihat barang pecah dan sedang dibersihkan pegawai rumah sementara adik-adikku bersembunyi dalam kamarku."Sementara suara serangga jadi tak berarti untuk kalimat yang mas Rendra ucapkan dengan begitu tenang."Aku tidak pernah merasa biasa untuk wajah adik-adikku yang ketakutan memeluku dengan sangat erat, seolah aku adalah satu-satunya tempat mereka bisa merasa aman."Ucapan mas Rendra yang nampaknya sudah berdamai dengan kehidupan masa kecilnya tak beriak, "dan entah sejak kapan aku punya pemikiran, untuk apa bersama jika saling menyakiti dan berteriak tidak perduli ada aku dan adik-adikku yang melihat."Mata mas Rendra yang tak berpaling rasanya melihat apa yang ia alami saat masih kecil."Rumah tidak pernah damai setiap ayahku pulang, Runi."Sorot mata mas Rendra yang rasanya melihat masa yang sedang ia bicarakan, tampak kese
Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa