"Atas nama pribadi, saya sungguh-sungguh meminta maaf untuk ketidak nyamanan yang sudah pihak kami timbukan, Pak Noko." Lelaki yang menjabat tanganku mengangguk, "kuharap, hal seperti ini tidak perlu terulang di masa depan, Nak Seruni." "Kami akan terus membenahi diri Pak Noko." Dan jabatan lelaki yang menoleh pada cucunya menguat. "Kuharap begitu, Nak Seruni." Aku membungkuk untuk langkah lelaki yang keluar dari lounge salah satu hotel yang menjadi tempat pertemuan kami setelah mengatur janji temu. Begitupun lelaki muda yang membungkuk lebih dalam dariku, sebelum menyusul bosnya dengan surat perjanjian yang sudah diperbaharui. Sementara bocah perempuan yang pipinya begitu bulat, melambaikan tangannya padaku yang membalas. Apa aku merasa lega untuk hal yang nyatanya lebih mudah jika dibandingkan dengan beberapa hari terakhir? Saat aku harus terbang ke tempat lain lalu kembali ke kota ini di hari yang sama. Rasanya tidak. Karena apa yang akan kulakukan setelah pulang, jauh lebi
"Rumah hanya jadi sangat sepi kalau ibu tidak ada kegiatan, Ndok." Ucap ibu yang sorot matanya pun berubah.Bohong jika aku tidak merasakan apapun untuk tatapan ibu yang rasa kesepiannya pun mengetuki batinku.Aku, anak yang sudah dirawatnya dengan penuh kasih sejak umurku enam tahun, akan buta sekali jika tidak melihat kerinduannya padaku yang baru kali ini keluar dari rumah. Tidak pulang bahkan akan tinggal jauh darinya selama berbulan-bulan.Meski setiap pagi kami bertukar kata, juga pesan. Hal macam itu tidak akan mampu menghapuskan rindu yang ibu rasakan padaku.TIDAK AKAN MUNGKIN!"Tapi, Ibu tenang karena tahu kamu tinggal dengan orang-orang yang akan menjagamu, Ndok." Ibu melirik mas Rendra yang pasti juga mendengar perubahan nada suara ibu."Terimakasih ya, Nak Rendra."Mas Rendra mulutnya terbuka, sementara matanya nampak kaget untuk kalimat tulus ibu yang membuat wajahnya sedikit bermasalah. Apalagi saat tatapannya melihat bagian leherku yang masih menggunakan baju berkerah
Mas, kalau sudah bangun turun ya| Aku yang memencet tombol kirim, menoleh pada bunyi ponsel yang membuat obrolan ibu dan mbok Darmi yang sedang berdiskusi tentang apa yang ingin keduanya masak untuk menu besok, berhenti berucap. Ping! Rasanya, mata dua wanita yang tak lagi muda itu pun terkesima dengan kehadiran lelaki yang berhenti melangkah untuk melihat layar ponselnya itu. "Anak mantuku, Mbok." Sampai ucapnya ibu membuat diriku mengalihkan pandangan dari lelaki dengan polo shirt warna putih pun celana joger yang begitu pas melekat di badan mas Rendra. Dan tarikan nafasku membuat ibu tersenyum lalu menyambut lelaki yang langsung ia suruh duduk pun tawari macam-macam. "Teh saja, Bu." Ucap mas Rendra meletakkan ponsel di meja lalu menatapku dengan tanya, "kenapa?" "Kami mau ajak kamu makan di alun-alun, Mas." "Tehnya, Den." Mbok Darmi meletakkan cangkir berisi teh hangat. Minuman yang begitu cocok di sajikan untuk menikmati sisa hari. "Terimakasih, Mbok." Ucap mas Rendra pad
"Assalamualaikum."Aku terdiam di tempatku saat mendapati bapak pulang dengan wajah lelah. Tapi, mata tuanya berbinar saat melihatku. Pun, memperlihatkan senyumnya yang selalu kuingat."Siapa ini, kok, pulang gak bilang?" Bapak memelukku erat lalu melihat Ibu yang tersenyum menyentuh bahu mas Rendra yang mendekat."Lihat, anak kita pulang dengan siapa, Pak."Bapak yang masih memelukku mengangguk. Menatapi lelaki yang mengulurkan tangan dan mencium tangan bapak."Apa kabar, Pak?""Tidak pernah sebaik ini, Nak Rendra," bapak menatapku yang kepalanya ia usap. Pun, mengeratkan pelukannya sebelum melepas ku dan kembali menatap mas Rendra, "dateng kapan, to? Kok gak ada yang ngasi tau bapak ini lho.""Siang tadi, Pak.""Bu...?" Bapak melirik ibu yang berjalan ke dapur, lebih memilih untuk membuat air jahe untuknya."Kejutan, Pak, kejutan." Balas ibu yang membuat bapak menggeleng dengan hembusan nafas lama namun berakhir dengan senyum saat menatapku. "Gimana kabar orang rumah?""Baik, Pak
"Sama sepertimu, Pak, aku juga tidak perduli pada apa yang orang katakan. Karena aku adalah putri kalian."Pandangan bapak melembut untuk genggaman tanganku yang matanya melirik apa yang ada di meja.Berkas berisi nama-nama tak asing yang wajahnya pun bapak kenali."Dan meraka," ucapku kembali menatap bapak, "adalah orang-orang yang mampu dan mencintai perusahaan keluargamu, Pak. Aku yakin mereka bisa membimbing sepupu-sepupuku selama mereka mau belajar.""Kau pikir anak-anak manja itu mau, Runi?" Pandangan mata bapak berubah, tak lagi mengguratkan amarah saat hembusan nafasnya yang keras keluar."Bapak heran, apa yang sepupu-sepupumu pelajari di bangku sekolah." Bapak memandangku, tatapan matanya melembut tapi ada sedikit kesedihan di sana. "Maafkan Bapak, Ndok."Suara Bapak yang genggaman jarinya menguat, bergetar. Lalu menarikku yang tidak menjawab ucapan maafnya saat wajah Santo memenuhi benakku."Sungguh maafkan Bapak."Aku yang matanya terasa panas, mengangkat tangan. Membalas d
Dari pada ucapannya, aku lebih terkejut untuk senyum yang mas Rendra perlihatkan saat jarinya kembali mengusap sisa air mataku."Saat pulang, seringkali aku melihat barang pecah dan sedang dibersihkan pegawai rumah sementara adik-adikku bersembunyi dalam kamarku."Sementara suara serangga jadi tak berarti untuk kalimat yang mas Rendra ucapkan dengan begitu tenang."Aku tidak pernah merasa biasa untuk wajah adik-adikku yang ketakutan memeluku dengan sangat erat, seolah aku adalah satu-satunya tempat mereka bisa merasa aman."Ucapan mas Rendra yang nampaknya sudah berdamai dengan kehidupan masa kecilnya tak beriak, "dan entah sejak kapan aku punya pemikiran, untuk apa bersama jika saling menyakiti dan berteriak tidak perduli ada aku dan adik-adikku yang melihat."Mata mas Rendra yang tak berpaling rasanya melihat apa yang ia alami saat masih kecil."Rumah tidak pernah damai setiap ayahku pulang, Runi."Sorot mata mas Rendra yang rasanya melihat masa yang sedang ia bicarakan, tampak kese
"Lho, mau kemana, Le'?"Tanya eyang membuatku dan dua bocah kembar yang masih makan rambutan di depan televisi, menoleh."Keluar sebentar, Eyang.""Huh, bohong tuh Eyang. Sebentarnya Mas kan bisa berjam-jam." Celetuk Ares pada sang kakak yang tampilan kasualnya akan membuat banyak mata melirik untuk kedua kali dengan pipi bersemu."Palingan mau ketemu sama si itu," bisik Riris menyingkirkan tangan mas Rendra yang mengacak rambutnya.Sementara mata Mas Rendra menatapku yang mengangguk untuk pamitnya yang tanpa suara, "pergi dulu ya.""Hati-hati.""Iya, Eyang." Jawab mas Rendra yang tak lama deru kendaraannya terdengar. Menjauh dari rumah yang penghuninya memberiku tatapan tak enak."Kenapa sih, dia gak ngebiarin mas Rendra istirahat di rumah sebentar, besok juga ketemu kan?""Stt! Nih, daripada kesel makan rambutan aja." Ucap Ares yang melirikku dengan tersenyum, "Mbak, kamu keluar aja sama aku mau gak?""Mbak mau mandi terus tidur." Mendengar itu, Riris langsung duduk dan melirikku."
Musik menghentak yang menggetarkan ubin menyatu dengan teriakan semangat dari para pencari kesenangan malam.Rasa yang tidak pernah mampu menyapa diriku yang duduk diantara wajah-wajah semangat yang tawanya menggema. Menjerit sepenuh hati seolah ingin diakui jika merekah hadir pun mampu tertawa.Dan Damar yang masih ingin tahu jawaban dari tanya yang ia ucapkan, masih menatapiku yang memainkan jari di bibir gelas.'Apa perasaanku sedang buruk?' Jawaban apa yang harus kukatakan saat aku tidak pernah merasa baik-baik saja sejak adikku pergi. Meninggalkan tumpukan abu setelah membawa segala yang bisa mengingatkan diriku pada bocah yang ... 'rasanya aku yang terus memainkan telunjukku di bibir gelas akan terus Damar tatap sebelum ia mendengar jawaban dariku.'"Hanya sesuatu," jawabku pada akhirnya lalu menyapukan pandangan pada lantai dansa di lantai satu.Begitu riuhnya orang-orang yang berjubel menjadi satu itu bergoyang, meliuk-liukkan tubuh, mengikuti hentakan musik EDM dan teriakan
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re