Musik menghentak yang menggetarkan ubin menyatu dengan teriakan semangat dari para pencari kesenangan malam.Rasa yang tidak pernah mampu menyapa diriku yang duduk diantara wajah-wajah semangat yang tawanya menggema. Menjerit sepenuh hati seolah ingin diakui jika merekah hadir pun mampu tertawa.Dan Damar yang masih ingin tahu jawaban dari tanya yang ia ucapkan, masih menatapiku yang memainkan jari di bibir gelas.'Apa perasaanku sedang buruk?' Jawaban apa yang harus kukatakan saat aku tidak pernah merasa baik-baik saja sejak adikku pergi. Meninggalkan tumpukan abu setelah membawa segala yang bisa mengingatkan diriku pada bocah yang ... 'rasanya aku yang terus memainkan telunjukku di bibir gelas akan terus Damar tatap sebelum ia mendengar jawaban dariku.'"Hanya sesuatu," jawabku pada akhirnya lalu menyapukan pandangan pada lantai dansa di lantai satu.Begitu riuhnya orang-orang yang berjubel menjadi satu itu bergoyang, meliuk-liukkan tubuh, mengikuti hentakan musik EDM dan teriakan
Gerimis yang tampak begitu halus jadi pemandangan bagiku yang tak lagi berdiri di atas lantai dansa.Keriuhan manusia pun dentum musik yang memekakkan telinga tak lagi kudengar. Hanya samar, karena saat ini aku duduk di atas kap mobilku sendiri."Pakailah." Sampai Joe yang ikut keluar, menyelimutkan jaket hangatnya pada punggungku lalu ikut bersender.Untuk beberapa lama kami diam, menatap langit gelap yang awan mendungnya nampak."Dimana adikku, Joe?"Pupil sewarna abu Joe menoleh padaku yang rasanya ingin tenggelam di dalam matanya, mencari jawaban dari tanya yang tidak pernah lelah kutanyakan.Sampai aku yang seharusnya terlelap di samping Riris malam ini jadi berpikir, 'apa aku hanya menyia-nyiakan waktuku karena Joe tetap diam tentang keberadaan Santo?""Aku senang mendengarmu bercerita tentang adikku, Joe."Mata Joe berkedip saat bibirku yang tidak ingin tertawa mengulas senyum tipis. "Tentang apa yang kalian bicarakan, tentang apa yang membuatnya tersenyum juga kesal. Pun makan
"Jika mengikuti permainanmu bisa mempertemukan ku dengan Santo. Aku tak akan keberatan, Joenathan Makarov."Manik sewarna abu milik Joe tampak terkejut. Pun membiarkan badannya dibasahi rintik hujan yang tak lagi halus.Sedangkan aku yang tak lagi bisa membedakan tetes apa yang jatuh merambati pipi, melewatinya.Rasanya, bibir Joe yang terbuka ingin memanggilku. Tapi, hanya suara hujan yang menemani langkahku yang masuk ke dalam mobil yang pintunya ku banting keras.Lalu melajukan cepat, meninggalkan parkiran club yang nyatanya jadi tempat kerja gadis yang kucari selama ini.Lais.Gadis yang tatapannya begitu tajam, pun tak meninggalkan keramahan.(Kau pasti kakak terbaik sejagad raya, ha?)Dan sarkasme Lais yang diakui seluruh diriku, membuatku menghentikan laju karena pandanganku buram.Bukan hanya karena rintik hujan ataupun malam. Tapi, mataku tak bisa berhenti meneteskan airmata saat wajah adikku yang tak ingin membela dirinya sendiri pada tuduhan keluarga bapak, begitu jelas!Da
Begitu aku masuk dalam kamar yang kasurnya rapi setelah meninggalkan mas Rendra yang pasti terkejut aku melemparnya dengan selimut, kutarik nafas dalam.Tidak ada yang salah dengan kalimat mas Rendra. Hanya saja aku yang sedang tidak bisa mengendalikan rasa, tidak bisa menghadapi keketusan dalam nada suaranya. "Betapa kekanakannya dirimu, Seruni." Dan aku yang bersender pada pintu dengan hanya memakai kemeja basah, melirik tembok penyekat yang membuatku memejamkan mata rapat sebelum meraih tas lalu mengisi daya ponselku yang mati total. Dengan rasa kesal yang masih bercokol, aku masuk ke kamar mandi dengan rasa kesal yang masih begitu bercokol. Membersihkan diri dengan air dingin.Dan saat aku menatap pantulan diri yang rambutnya sudah kukeringkan, rasanya tarikan nafasku menggema dalam kamar mandi.Ping!Bunyi pesan yang masuk membuatku keluar dari kamar mandi.Katakan saja kamu sedang menghabiskan waktu di taman jika Ares dan Riris tanya.Sebaris kalimat yang kubaca, membuatku me
Tapi, nyatanya aku tak berani mengatakan apa yang sudah melintas dalam benak.Rasanya ... 'aku jadi takut jika lelaki yang sedang melajukan mobil masuk area kantorku akan menatapku dengan sorot yang berbeda.'Karena aku tahu jika hati manusia mampu berubah begitu cepat dengan keadaan."Runi?"Mungkin, mas Rendra yang melihatku kembali menyatukan tangan di atas pangkuan heran, kenapa aku tak juga turun."Mas, menurutmu ... apa ia bisa bahagia?"Tanya sama yang semalam Riris katakan tentang nasib anak-anak yang ia kasihani, ku perdengarkan pada lelaki yang posisi duduknya jadi terarah padaku."Tentu bisa, Runi."Dan jawaban mas Rendra yang begitu yakin membuatku menoleh. "Oh benarkah? dan bagaimana caranya?"Nada olokan bahkan terdengar begitu jelas pada tengingaku sendiri yang berucap.Membuat mas Rendra tertawa lalu menarik nafas dalam sebelum menatapku, "tentu saja bisa, Runi, karena semua orang berhak untuk bahagia tidak perduli siapa dia.""Hanya itu?" ucapanku dengan nada ejekan y
"Lho, kok gak bawa apa-apa? gak ketemu?"Nilam, gadis yang satu angkatan denganku melirik tanganku yang keluar dari ruang arsip tapi tak membawa apapun, "kurasa ada yang sudah mengambilnya.""Aneh," ucapnya dengan dahi berkerut, "padahal tiap dokumen yang keluar pasti ada laporannya. Coba nanti aku cek 'kan.""Terimakasih.""Ish, kayak sama siapa aja, Run. Tapi, siapa yang minta, nih, kak Tomas apa Pak botak?""Pak Bram," jawabku membuat Nilam alisnya terangkat."Kamu pasti akan dapet masalah kalo gak dapet laporan yang dimintanya." kata Nilam lalu tersenyum saat aku mengangkat bahuku.Akhir-akhir ini, pak Bram suka sekali memberiku tugas yang bahkan tak penting atau bisa ditunda, tapi harus segera terlaksana."Well, satu-satunya cara minta bantuan anak IT, mereka bisa mengakses bahkan dokumen puluhan tahun lalu dalam waktu singkat.""Kurasa begitu, tapi aku tak kenal satupun dari mereka.""Gampang itu! yang penting kamu traktir mereka makan siang," kata Nilam mengajakku naik ke lanta
"Apa ini?"Pak Bram menerima map yang kuberikan, "berkas yang anda minta, Pak." Jawabku.Dan ia yang membuka sampul map, tampak terkejut untuk barisan kata juga angka. Pun memastikan laporan keuangan tahun berapa yang kini ada di tangannya."Saya hanya dapat salinan saja, Pak. Yang asli sudah dipinjam orang lebih dulu."Namun, tatapan pak Bram sedikit aneh dan ia mengatakan sesuatu yang membuat dahiku berkerut meski sedikit. "Saya sudah serahkan pada Bapak pagi tadi.""Benarkah!?"Ucapan pak Bram membuatku melihat tumpukan berkas di atas meja lalu mengambil map yang kukenali, "di dalam sini semua yang Bapak minta saya kerjakan cepat, dan untuk laporan yang satu lagi masih harus menunggu bagian pemasaran juga titipan pesan dari Pak Wiro yang menyuruh Bapak untuk tidak terburu-buru karena divisinya juga mengerjakan projek lain yang jauh lebih penting."Pupil pak Bram membesar untuk kalimatku yang membuatnya mendongak, mengalihkan pandangan dari salinan berkas yang tak bisa kutemukan dal
"Bagaimana dengan kakimu?""Hanya mengenai kain, Kak. Aman."Kak Tomas yang berjalan menyusuri ruangan sepi memperhatikan langkahku. "Kamu yakin?"Dan aku yang tak perlu jadi tontonan mata penasaran mengingat ini masih jam makan siang, mengangguk. Ikut melangkah menuju pantri yang juga tak menyisakan seorangpun.Tampaknya, hari ini semua orang ingin makan di luar.Zraass!Guyuran air kran meredakan kulit tanganku yang panas dan perih di saat yang sama.Kurasa, sejak Calista mengatakan teh pesannya harus panas sekali, aku sudah merasa tak biasa. Tapi ini ..., 'aku sama sekali tidak curiga untuk jari tangan Calista yang menyenggol cangkir berisi teh yang uapnya masih mengepul tepat ke arahku.'Dan rasanya, gangguan macam ini tidak akan jadi yang terakhir, mengingat bagaimana tatapan Calista saat kak Tomas mengajakku keluar. Meninggalkannya yang terus merutuk dan memanggil sepupunya ini."Kamu yakin ini saja cukup, Runi?""Ya, Kak, terimakasih," ucapku menerima air berisi es batu dalam p
Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa