Beranda / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 88. JADIKAN RAHASIA

Share

88. JADIKAN RAHASIA

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-27 15:10:00

"Lho, kok gak bawa apa-apa? gak ketemu?"

Nilam, gadis yang satu angkatan denganku melirik tanganku yang keluar dari ruang arsip tapi tak membawa apapun, "kurasa ada yang sudah mengambilnya."

"Aneh," ucapnya dengan dahi berkerut, "padahal tiap dokumen yang keluar pasti ada laporannya. Coba nanti aku cek 'kan."

"Terimakasih."

"Ish, kayak sama siapa aja, Run. Tapi, siapa yang minta, nih, kak Tomas apa Pak botak?"

"Pak Bram," jawabku membuat Nilam alisnya terangkat.

"Kamu pasti akan dapet masalah kalo gak dapet laporan yang dimintanya." kata Nilam lalu tersenyum saat aku mengangkat bahuku.

Akhir-akhir ini, pak Bram suka sekali memberiku tugas yang bahkan tak penting atau bisa ditunda, tapi harus segera terlaksana.

"Well, satu-satunya cara minta bantuan anak IT, mereka bisa mengakses bahkan dokumen puluhan tahun lalu dalam waktu singkat."

"Kurasa begitu, tapi aku tak kenal satupun dari mereka."

"Gampang itu! yang penting kamu traktir mereka makan siang," kata Nilam mengajakku naik ke lanta
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   89. DIA MEMBENCIKU

    "Apa ini?"Pak Bram menerima map yang kuberikan, "berkas yang anda minta, Pak." Jawabku.Dan ia yang membuka sampul map, tampak terkejut untuk barisan kata juga angka. Pun memastikan laporan keuangan tahun berapa yang kini ada di tangannya."Saya hanya dapat salinan saja, Pak. Yang asli sudah dipinjam orang lebih dulu."Namun, tatapan pak Bram sedikit aneh dan ia mengatakan sesuatu yang membuat dahiku berkerut meski sedikit. "Saya sudah serahkan pada Bapak pagi tadi.""Benarkah!?"Ucapan pak Bram membuatku melihat tumpukan berkas di atas meja lalu mengambil map yang kukenali, "di dalam sini semua yang Bapak minta saya kerjakan cepat, dan untuk laporan yang satu lagi masih harus menunggu bagian pemasaran juga titipan pesan dari Pak Wiro yang menyuruh Bapak untuk tidak terburu-buru karena divisinya juga mengerjakan projek lain yang jauh lebih penting."Pupil pak Bram membesar untuk kalimatku yang membuatnya mendongak, mengalihkan pandangan dari salinan berkas yang tak bisa kutemukan dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-27
  • MENJADI ORANG KEDUA   90. ALASANNYA MEMBENCIKU

    "Bagaimana dengan kakimu?""Hanya mengenai kain, Kak. Aman."Kak Tomas yang berjalan menyusuri ruangan sepi memperhatikan langkahku. "Kamu yakin?"Dan aku yang tak perlu jadi tontonan mata penasaran mengingat ini masih jam makan siang, mengangguk. Ikut melangkah menuju pantri yang juga tak menyisakan seorangpun.Tampaknya, hari ini semua orang ingin makan di luar.Zraass!Guyuran air kran meredakan kulit tanganku yang panas dan perih di saat yang sama.Kurasa, sejak Calista mengatakan teh pesannya harus panas sekali, aku sudah merasa tak biasa. Tapi ini ..., 'aku sama sekali tidak curiga untuk jari tangan Calista yang menyenggol cangkir berisi teh yang uapnya masih mengepul tepat ke arahku.'Dan rasanya, gangguan macam ini tidak akan jadi yang terakhir, mengingat bagaimana tatapan Calista saat kak Tomas mengajakku keluar. Meninggalkannya yang terus merutuk dan memanggil sepupunya ini."Kamu yakin ini saja cukup, Runi?""Ya, Kak, terimakasih," ucapku menerima air berisi es batu dalam p

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   91. ADIKKU ADA DI SINI!

    "Mbak mau kemana? biar aku anter." Dengan seragam masih melekat di badan, remaja lelaki yang lesung pipinya tercipta saat bicara, menyapaku yang keluar dari apotek. "Bukannya kamu seharusnya masih sekolah?" "Iya, tapi males balik lagi," Arka, bocah besar yang mampu membuat pipi Riris bersemu ini pun bertanya, "Mbak Runi mau kemana? bukannya masih jam kerja." "Seharusnya, Ka, tapi Mbak disuruh pulang cepat hari ini." "Asik dong, Mbak." Arka menunjukkan senyum lalu melihat klinik di belakangku, "Mbak sakit?" tanyanya membuatku menggeleng. "Kamu dari mana? jangan bilang bolos ya." "Aku baru nganter mamaku pulang, Mbak," jawab remaja yang memakai jaket denim di atas seragam. "Di sekolah lagi ada acara kan, cuma mama gak bisa lama-lama karena ada pesenan kue hari ini." "Oh, mama kamu bikin kue apa?" "Macem-macem, Mbak. Dari yang dipanggang, dioven, dikukus, digoreng. Semuanya bisa," penuh kebanggaan Arka berucap. "Lain kali Mbak boleh pesen, dong?" "Boleh banget, Mbak, bahkan ki

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   92. KEHANGATAN YANG TAK MENGHILANG

    "Dia ... ada di sini?""Iya, Mbak."Jawaban Arka membuat jantungku berdetak begitu keras. Sementara mataku yang sedang menatap Arka, mampu melihat bayangan bocah lelaki yang wajah dan tawanya selalu kurindukan bahkan saat tidur."Lukisannya bagus kan, Mbak?"Aku yang ditanya pendapatku tentang lukisan yang ingin Arka tunjukkan, tak ingat jawaban macam apa yang kuberikan padanya, apa aku mengangguk? Ataukah menjawab "ya."Entahlah.Yang kutahu, lesung pipi Arka makin dalam saat ia tersenyum dan kembali menatap lukisan realis yang menyatukan tiga cat berbeda dalam kanfas yang ada di hadapan kami.Teknik plakat yang tiap garisnya begitu jelas dan tebal, membuat diriku berusaha keras untuk mendengar ucapan Arka saat debaran jantungku bertalu-talu, memekakan pendengaran!"Orang awan pun, pasti akan bisa merasakan tiap goresan kuas yang rasanya digores dengan penuh makna ini, Mbak."Aku yang diam di tempatku berdiri bahkan lupa bertanya, bagaimana tanggapan Arka untuk wajahku yang begitu mi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   94. KERINDUAN ADIKKU PADA ORANG TUANYA

    Suara keriuhan masih terdengar, menyusup dari celah ruangan yang mampu melihat diriku dan jemari adiku bertalian.Tak banyak kata terucap dari mulutku yang duduk bersandar pada bahu Santo, begitupun adikku yang selalu tersenyum tiap kali mataku mencuri pandangan.Diam, bersama, memastikan kami sama-sama nyata. Kurasa itu yang sedang kami lakukan detik ini.Merasakan panas tubuh Santo yang menenangkan juga mendengar denyut jantungnya yang beraturan. Kurasa, aku merasa begitu tenang. Sampai kudengar adikku tertawa pelan."Kalo aku tau Mbak akan sesenang ini hanya duduk diam denganku, kamu sungguh sederhana, Mbak.""Sederhana?" Ulangku mengingat ucapan lelaki yang mungkin masih berada dalam keramaian sekolah, ditemani dua adik kembarnya."Mbak gak inget pernah bergaya seperti itu.""Aku menggunakan imajinasiku dan menerka saat kamu sedikit lebih dewasa, Mbak." Jawab Santo menatap goresan-goresan tangannya sendiri pada potretku dalam lukisan."Begitukah?"Ia mengangguk, "lagipula, aku han

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   94. TAMPARAN CLARA

    Mimpi.Jika di pergelangan tanganku yang masih menyalurkan rasa terbakar tidak ada saputangan yang melilit, rasanya aku masih merasakan pertemuanku dengan Santo barusan tidak nyata.Tapi, senyum adikku yang jadi sangat tinggi, suaranya yang jadi semakin berat, pun sentuhan dan kehangatannya yang masih sama, bukan ilusiku.Sekalipun aku jadi benar-benar disadarkan sudah selama apa waktu yang ku lewatkan tanpa ada disisi Santo.Empat tahun ..., 'sungguh waktu yang tidak sebentar.'Bagiku itu adalah waktu yang sangat lama dan menyiksa.Rasa yang tidak hanya milikku sendiri. Karena adikku yang sorot matanya merindukan bapak dan ibu, pasti merasakan hal yang sama. Mungkin, lebih dari diriku yang tinggal bersama mereka.Namun, senyum mampu mehiasi bibirku yang berjalan menyusuri lorong panjang pun anak-anak tangga."Taksi Mbak?" Ucap pria paruh baya yang baru menurunkan penumpang."Iya, Pak." Jawabku lalu masuk ke dalam taksi yang pengemudinya bertanya kemana aku akan pergi."Siap, Mbak." U

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   95. KECEWA MEREKA

    "Dek Runi, ini aku Clara. Rendra ...."Rasanya aku tak perlu banyak bertanya kenapa Clara yang mengaku sebagai temanku, menjeda kalimatnya."Saya sendirian di bawah, Mbak." Jawabku bisa mendengar suara Clara yang rasanya masih menyisakan serak habis menangis."O-oh."Nampaknya, Clara terkejut karena aku paham maksudnya yang hanya menyebut nama sang kekasih.Tapi, akan sebodoh apa diriku yang mampu melihat kebingungan dalam mata mbok Surti saat mengatakan temanku menelpon.Mungkin, mbok Surti yang mengenali suara Clara tahu, siapa yang ingin bicara denganku. Atau, bisa saja Clara yang menyuruh mbok Surti untuk tidak mengatakan siapa dirinya jika ada seseorang di sampingku.Tapi, yang manapun rasanya tidak penting.Karena aku tahu, tangis Clara dan pertengkarannya dengan mas Rendra tadi, nampaknya ada sangkut pautnya dengan keberadaanku."Mbak ada perlu dengan saya?" Ucapku membalikkan badan untuk menatap tangga karena suara dari lantai dua terdengar lebih hidup dengan protes Ares dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   96. AKIBAT PILIHANKU

    Bukan tidak memikirkan akan bagaimana Clara yang sudah membaca pesanku, menanggapi. Tapi, nyatanya diriku memang sudah menetapkan pilihan. Membatalkan janji kami. "Lho gak jadi pergi, Ndok?" Wajah heran eyang sama persis dengan tatapan pak Bowo yang membuka gerbang untukku."Iya, Eyang, pertemuannya ditunda," jawabku yang matanya melihat televisi menyala meski tidak ada yang menonton."Mereka di atas." Eyang yang memperlihatkan senyum menyentuh pundakku."Saya ke atas dulu, Eyang." Pamitku yang dapat anggukan."Iya, Ndok."Rasanya, langkahku yang meninggalkan eyang, cepat. Apalagi saat kakiku menaiki anak-anak tangga.Aku bahkan harus mengatur nafas sebelum memijak ubin lantai dua yang mampu meloloskan suara dari salah satu kamar karena pintunya terbuka."Kan, gak asik kalo cuma kita doangan, Mas.""Mas pasti gak mastiin samma mbak Runni dullu, ia adda acara gak mallam inni.""Mas-qu payah sekali."Aku yang kembali melangkah, berhenti tepat di depan kamar yang pemiliknya tidak menjaw

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   214. AMARAH ORANG TUAKU

    Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan

  • MENJADI ORANG KEDUA   213. BALAS BUDI

    Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y

  • MENJADI ORANG KEDUA   212. PUSAT HIDUPNYA

    Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be

  • MENJADI ORANG KEDUA   211. POSESIFNYA

    Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed

  • MENJADI ORANG KEDUA   210. TAMU TAK DIUNDANG

    Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan

  • MENJADI ORANG KEDUA   209. JANGAN PERGI

    "Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja

  • MENJADI ORANG KEDUA   208. ORANG YANG KUGAJI

    RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu

  • MENJADI ORANG KEDUA   207. TERASA RINGAN

    "Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa

  • MENJADI ORANG KEDUA   206. INGIN MATI

    Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa

DMCA.com Protection Status