Mimpi.Jika di pergelangan tanganku yang masih menyalurkan rasa terbakar tidak ada saputangan yang melilit, rasanya aku masih merasakan pertemuanku dengan Santo barusan tidak nyata.Tapi, senyum adikku yang jadi sangat tinggi, suaranya yang jadi semakin berat, pun sentuhan dan kehangatannya yang masih sama, bukan ilusiku.Sekalipun aku jadi benar-benar disadarkan sudah selama apa waktu yang ku lewatkan tanpa ada disisi Santo.Empat tahun ..., 'sungguh waktu yang tidak sebentar.'Bagiku itu adalah waktu yang sangat lama dan menyiksa.Rasa yang tidak hanya milikku sendiri. Karena adikku yang sorot matanya merindukan bapak dan ibu, pasti merasakan hal yang sama. Mungkin, lebih dari diriku yang tinggal bersama mereka.Namun, senyum mampu mehiasi bibirku yang berjalan menyusuri lorong panjang pun anak-anak tangga."Taksi Mbak?" Ucap pria paruh baya yang baru menurunkan penumpang."Iya, Pak." Jawabku lalu masuk ke dalam taksi yang pengemudinya bertanya kemana aku akan pergi."Siap, Mbak." U
"Dek Runi, ini aku Clara. Rendra ...."Rasanya aku tak perlu banyak bertanya kenapa Clara yang mengaku sebagai temanku, menjeda kalimatnya."Saya sendirian di bawah, Mbak." Jawabku bisa mendengar suara Clara yang rasanya masih menyisakan serak habis menangis."O-oh."Nampaknya, Clara terkejut karena aku paham maksudnya yang hanya menyebut nama sang kekasih.Tapi, akan sebodoh apa diriku yang mampu melihat kebingungan dalam mata mbok Surti saat mengatakan temanku menelpon.Mungkin, mbok Surti yang mengenali suara Clara tahu, siapa yang ingin bicara denganku. Atau, bisa saja Clara yang menyuruh mbok Surti untuk tidak mengatakan siapa dirinya jika ada seseorang di sampingku.Tapi, yang manapun rasanya tidak penting.Karena aku tahu, tangis Clara dan pertengkarannya dengan mas Rendra tadi, nampaknya ada sangkut pautnya dengan keberadaanku."Mbak ada perlu dengan saya?" Ucapku membalikkan badan untuk menatap tangga karena suara dari lantai dua terdengar lebih hidup dengan protes Ares dan
Bukan tidak memikirkan akan bagaimana Clara yang sudah membaca pesanku, menanggapi. Tapi, nyatanya diriku memang sudah menetapkan pilihan. Membatalkan janji kami. "Lho gak jadi pergi, Ndok?" Wajah heran eyang sama persis dengan tatapan pak Bowo yang membuka gerbang untukku."Iya, Eyang, pertemuannya ditunda," jawabku yang matanya melihat televisi menyala meski tidak ada yang menonton."Mereka di atas." Eyang yang memperlihatkan senyum menyentuh pundakku."Saya ke atas dulu, Eyang." Pamitku yang dapat anggukan."Iya, Ndok."Rasanya, langkahku yang meninggalkan eyang, cepat. Apalagi saat kakiku menaiki anak-anak tangga.Aku bahkan harus mengatur nafas sebelum memijak ubin lantai dua yang mampu meloloskan suara dari salah satu kamar karena pintunya terbuka."Kan, gak asik kalo cuma kita doangan, Mas.""Mas pasti gak mastiin samma mbak Runni dullu, ia adda acara gak mallam inni.""Mas-qu payah sekali."Aku yang kembali melangkah, berhenti tepat di depan kamar yang pemiliknya tidak menjaw
Apa aku terkejut untuk ucapan lelaki yang masih menunjukkan senyum meski sorot matanya seolah menunggu bagaimana aku bereaksi?Rasanya tidak."Benar kan, Ren?"Ah, bukan hanya diriku yang ia tunggu reaksinya. 'Tapi juga lelaki di sebelahku yang sejak melihat Dedo datang bersama Riris dan Ares, tak menunjukkan sambutan hangat pada teman satu kantornya ini.'Namun, mas Rendra tak menjawab apapun sampai Dedo yang nampaknya paham kembali menoleh padaku. Mengabikan keterkejutan dua bocah kembar yang juga diam."Tubuh kalian begitu menyatu sampai tak menyisakan celah. Ku rasa, di ranjang Joenathan Makarov pun dia menyentuhmu seperti itu, ya?"Brak!Suara kursi dan meja yang terdorong keras, menyatu dengan teriakan kaget saat tubuh Dedo tersungkur jatuh.Dan mas Rendra yang sudah melayangkan tinju pada teman sekantornya itu langsung mencengkram kerah baju Dedo yang pasti tidak menyangka."Ayolah, Rendra, kita semua tahu siapa Joenathan Makarov dan pelacur-pelacurnya-," Dedo melirikiku, "wani
Brak!Pintu yang baru didorong kembali tertutup dengan keras. membuatku dan mas Rendra yang sama-sama terkejut menyusul Riris. Tapi, gadis yang juga membanting pintu kamarnya sendiri itu mengunci pintu."Kembalilah ke kamarmu, biar aku yang bicara pada Riris."Meski ingin protes, aku yang sadar pada tampilanku yang hanya menggunakan selembar handuk, mengangguk. Dan terus menajamkankan telinga setelah masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak benar-benar rapat ku tutup.Tok! Tok! Mendengarkan mas Rendra mengetuk pintu kamar Riris dan sesekali memanggil nama sang adik yang pasti sangat terkejut melihat kami berdua yang ..., 'rasanya tarikan nafasku begitu dalam saat meraih baju apa saja dan memakainya cepat.'"Mas, ada apaan sih, berisik banget?" Ares yang keluar dari kamarnya bertanya, "aku ikutan ya, kayanya seru."Tak lama, ketukan pintu yang membuat pendengaranku menajam, berubah jadi tabuhan."Riris, yuhu... keluar dong. Ngapain kunci-kunci kamar? Riris jelek keluar dong.""Beris
"Dasar pengecut! Beraninya keroyokan."Dengan dua tangan berada di pinggang. Mayang yang berdiri di hadapanku menunduk. Menatapi Clara yang ia tarik jauh dariku.Tubuh Clara yang terhuyung bahkan membentur kursi dan meja yang deritnya kalah dengan teriakan banyak mulut yang menjadikan kami tontonan."Sialan, dasar orang-orang gak punya otak!" Serunya menatap penonton dengan wajah congkak lalu menoleh padaku, "lanjutkan, Mbak. Kita hajar dua betina ini."Rasanya bukan hanya diriku yang terkejut. Tapi, juga Calista yang helai rambutnya tercabut, juga Clara yang berusaha bangun.*********"Dasar sialan! Kenapa pas gue gabung lo semua maju hah!""Mayang yang tubuhnya dijauhkan dari Clara merutuk, ia yang tidak terima bahkan menendang meja. Membuat manajer cafe yang kursi dalam ruangannya penuh diisi, menarik nafas dalam.Melirik diriku juga Calista dan Clara yang tampilannya berantakan. Pun, manusia yang tidak bisa dikatakan anak-anak meski kelakuan kami kenakan."Bukan kami yang salah.
"Pinternya anak ibu."Pujian menggema dalam rumah beralas tanah saat bocah lelaki yang giginya belum tumbuh sempurna membuka mulut. Menerima suapan dari sang ibu yang meski mulutnya tersenyum, matanya tak menyimpan tawa.Seolah langit gelap, mendungnya ikut merasuk dalam sorot mata wanita yang sekali lagi menyuapkan makanan pada sang putra.Sesekali, ia bahkan menciumi bocah lelaki yang tatapan polosnya menusukkan rasa perih yang mampu membuat matanya berair."Makan lagi ya?"Tapi, tangannya terus saja menyuapkan makanan pada bocah lelaki yang terus dipandangi buah hatinya yang lain. Bocah perempuan yang entah kenapa selalu menolak setiap tangan sang ibu menjulurkan makanan.Bocah perempuan itu bahkan menangis!Bukan tak mau makan, tapi cairan merah yang terus mengalir dari pergelangan sang ibu-lah yang membuat bocah perempuan itu takut.Bukan takut untuk dirinya sendiri!Tapi, bocah perempuan itu takut untuk sesuatu yang tidak ia pahami.Sampai sang adik yang juga penasaran, menyentu
Ucapan Santo yang pelan mengalahkan gema hujan pun gemuruh petir yang begitu meraung-raung. Sementara mulutku yang terbuka tak mampu mengatakan apapun sampai tangan adikku terjulur dengan senyum. "Jangan memasang wajah sedih seperti ini, Mbak," ucapnya, "maksudku, ayo ketemu di luar saja. Dua anak kembar yang tinggal denganmu sekolah di sini juga 'kan?" Wajah Ares dan Riris melintas seketika dalam benakku yang menatapi Santo tanpa berkedip. "Aku tak ingin membuatmu dalam masalah jika mereka melihat kita." Santo menarik nafas. Dalam sorot matanya aku bisa melihat kesedihan tanpa ucap, "keberadaanku selalu membuatmu dalam masalah, Mba- "JANGAN PERNAH BERKATA SEPERTI ITU!" Santo tidak terkejut untuk seruanku yang pipinya masih ia pegang. "Jangan pernah berkata seperti itu, Nang." Tapi, pupil Santo membesar untuk bulir airmataku yang jatuh begitu saja. "Mbak mohon atau Mbak akan benat-benar marah padamu." Dan bocah yang nampaknya sadar ucapannya menyakitiku mengangguk, "iy