"Dia ... ada di sini?""Iya, Mbak."Jawaban Arka membuat jantungku berdetak begitu keras. Sementara mataku yang sedang menatap Arka, mampu melihat bayangan bocah lelaki yang wajah dan tawanya selalu kurindukan bahkan saat tidur."Lukisannya bagus kan, Mbak?"Aku yang ditanya pendapatku tentang lukisan yang ingin Arka tunjukkan, tak ingat jawaban macam apa yang kuberikan padanya, apa aku mengangguk? Ataukah menjawab "ya."Entahlah.Yang kutahu, lesung pipi Arka makin dalam saat ia tersenyum dan kembali menatap lukisan realis yang menyatukan tiga cat berbeda dalam kanfas yang ada di hadapan kami.Teknik plakat yang tiap garisnya begitu jelas dan tebal, membuat diriku berusaha keras untuk mendengar ucapan Arka saat debaran jantungku bertalu-talu, memekakan pendengaran!"Orang awan pun, pasti akan bisa merasakan tiap goresan kuas yang rasanya digores dengan penuh makna ini, Mbak."Aku yang diam di tempatku berdiri bahkan lupa bertanya, bagaimana tanggapan Arka untuk wajahku yang begitu mi
Suara keriuhan masih terdengar, menyusup dari celah ruangan yang mampu melihat diriku dan jemari adiku bertalian.Tak banyak kata terucap dari mulutku yang duduk bersandar pada bahu Santo, begitupun adikku yang selalu tersenyum tiap kali mataku mencuri pandangan.Diam, bersama, memastikan kami sama-sama nyata. Kurasa itu yang sedang kami lakukan detik ini.Merasakan panas tubuh Santo yang menenangkan juga mendengar denyut jantungnya yang beraturan. Kurasa, aku merasa begitu tenang. Sampai kudengar adikku tertawa pelan."Kalo aku tau Mbak akan sesenang ini hanya duduk diam denganku, kamu sungguh sederhana, Mbak.""Sederhana?" Ulangku mengingat ucapan lelaki yang mungkin masih berada dalam keramaian sekolah, ditemani dua adik kembarnya."Mbak gak inget pernah bergaya seperti itu.""Aku menggunakan imajinasiku dan menerka saat kamu sedikit lebih dewasa, Mbak." Jawab Santo menatap goresan-goresan tangannya sendiri pada potretku dalam lukisan."Begitukah?"Ia mengangguk, "lagipula, aku han
Mimpi.Jika di pergelangan tanganku yang masih menyalurkan rasa terbakar tidak ada saputangan yang melilit, rasanya aku masih merasakan pertemuanku dengan Santo barusan tidak nyata.Tapi, senyum adikku yang jadi sangat tinggi, suaranya yang jadi semakin berat, pun sentuhan dan kehangatannya yang masih sama, bukan ilusiku.Sekalipun aku jadi benar-benar disadarkan sudah selama apa waktu yang ku lewatkan tanpa ada disisi Santo.Empat tahun ..., 'sungguh waktu yang tidak sebentar.'Bagiku itu adalah waktu yang sangat lama dan menyiksa.Rasa yang tidak hanya milikku sendiri. Karena adikku yang sorot matanya merindukan bapak dan ibu, pasti merasakan hal yang sama. Mungkin, lebih dari diriku yang tinggal bersama mereka.Namun, senyum mampu mehiasi bibirku yang berjalan menyusuri lorong panjang pun anak-anak tangga."Taksi Mbak?" Ucap pria paruh baya yang baru menurunkan penumpang."Iya, Pak." Jawabku lalu masuk ke dalam taksi yang pengemudinya bertanya kemana aku akan pergi."Siap, Mbak." U
"Dek Runi, ini aku Clara. Rendra ...."Rasanya aku tak perlu banyak bertanya kenapa Clara yang mengaku sebagai temanku, menjeda kalimatnya."Saya sendirian di bawah, Mbak." Jawabku bisa mendengar suara Clara yang rasanya masih menyisakan serak habis menangis."O-oh."Nampaknya, Clara terkejut karena aku paham maksudnya yang hanya menyebut nama sang kekasih.Tapi, akan sebodoh apa diriku yang mampu melihat kebingungan dalam mata mbok Surti saat mengatakan temanku menelpon.Mungkin, mbok Surti yang mengenali suara Clara tahu, siapa yang ingin bicara denganku. Atau, bisa saja Clara yang menyuruh mbok Surti untuk tidak mengatakan siapa dirinya jika ada seseorang di sampingku.Tapi, yang manapun rasanya tidak penting.Karena aku tahu, tangis Clara dan pertengkarannya dengan mas Rendra tadi, nampaknya ada sangkut pautnya dengan keberadaanku."Mbak ada perlu dengan saya?" Ucapku membalikkan badan untuk menatap tangga karena suara dari lantai dua terdengar lebih hidup dengan protes Ares dan
Bukan tidak memikirkan akan bagaimana Clara yang sudah membaca pesanku, menanggapi. Tapi, nyatanya diriku memang sudah menetapkan pilihan. Membatalkan janji kami. "Lho gak jadi pergi, Ndok?" Wajah heran eyang sama persis dengan tatapan pak Bowo yang membuka gerbang untukku."Iya, Eyang, pertemuannya ditunda," jawabku yang matanya melihat televisi menyala meski tidak ada yang menonton."Mereka di atas." Eyang yang memperlihatkan senyum menyentuh pundakku."Saya ke atas dulu, Eyang." Pamitku yang dapat anggukan."Iya, Ndok."Rasanya, langkahku yang meninggalkan eyang, cepat. Apalagi saat kakiku menaiki anak-anak tangga.Aku bahkan harus mengatur nafas sebelum memijak ubin lantai dua yang mampu meloloskan suara dari salah satu kamar karena pintunya terbuka."Kan, gak asik kalo cuma kita doangan, Mas.""Mas pasti gak mastiin samma mbak Runni dullu, ia adda acara gak mallam inni.""Mas-qu payah sekali."Aku yang kembali melangkah, berhenti tepat di depan kamar yang pemiliknya tidak menjaw
Apa aku terkejut untuk ucapan lelaki yang masih menunjukkan senyum meski sorot matanya seolah menunggu bagaimana aku bereaksi?Rasanya tidak."Benar kan, Ren?"Ah, bukan hanya diriku yang ia tunggu reaksinya. 'Tapi juga lelaki di sebelahku yang sejak melihat Dedo datang bersama Riris dan Ares, tak menunjukkan sambutan hangat pada teman satu kantornya ini.'Namun, mas Rendra tak menjawab apapun sampai Dedo yang nampaknya paham kembali menoleh padaku. Mengabikan keterkejutan dua bocah kembar yang juga diam."Tubuh kalian begitu menyatu sampai tak menyisakan celah. Ku rasa, di ranjang Joenathan Makarov pun dia menyentuhmu seperti itu, ya?"Brak!Suara kursi dan meja yang terdorong keras, menyatu dengan teriakan kaget saat tubuh Dedo tersungkur jatuh.Dan mas Rendra yang sudah melayangkan tinju pada teman sekantornya itu langsung mencengkram kerah baju Dedo yang pasti tidak menyangka."Ayolah, Rendra, kita semua tahu siapa Joenathan Makarov dan pelacur-pelacurnya-," Dedo melirikiku, "wani
Brak!Pintu yang baru didorong kembali tertutup dengan keras. membuatku dan mas Rendra yang sama-sama terkejut menyusul Riris. Tapi, gadis yang juga membanting pintu kamarnya sendiri itu mengunci pintu."Kembalilah ke kamarmu, biar aku yang bicara pada Riris."Meski ingin protes, aku yang sadar pada tampilanku yang hanya menggunakan selembar handuk, mengangguk. Dan terus menajamkankan telinga setelah masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak benar-benar rapat ku tutup.Tok! Tok! Mendengarkan mas Rendra mengetuk pintu kamar Riris dan sesekali memanggil nama sang adik yang pasti sangat terkejut melihat kami berdua yang ..., 'rasanya tarikan nafasku begitu dalam saat meraih baju apa saja dan memakainya cepat.'"Mas, ada apaan sih, berisik banget?" Ares yang keluar dari kamarnya bertanya, "aku ikutan ya, kayanya seru."Tak lama, ketukan pintu yang membuat pendengaranku menajam, berubah jadi tabuhan."Riris, yuhu... keluar dong. Ngapain kunci-kunci kamar? Riris jelek keluar dong.""Beris
"Dasar pengecut! Beraninya keroyokan."Dengan dua tangan berada di pinggang. Mayang yang berdiri di hadapanku menunduk. Menatapi Clara yang ia tarik jauh dariku.Tubuh Clara yang terhuyung bahkan membentur kursi dan meja yang deritnya kalah dengan teriakan banyak mulut yang menjadikan kami tontonan."Sialan, dasar orang-orang gak punya otak!" Serunya menatap penonton dengan wajah congkak lalu menoleh padaku, "lanjutkan, Mbak. Kita hajar dua betina ini."Rasanya bukan hanya diriku yang terkejut. Tapi, juga Calista yang helai rambutnya tercabut, juga Clara yang berusaha bangun.*********"Dasar sialan! Kenapa pas gue gabung lo semua maju hah!""Mayang yang tubuhnya dijauhkan dari Clara merutuk, ia yang tidak terima bahkan menendang meja. Membuat manajer cafe yang kursi dalam ruangannya penuh diisi, menarik nafas dalam.Melirik diriku juga Calista dan Clara yang tampilannya berantakan. Pun, manusia yang tidak bisa dikatakan anak-anak meski kelakuan kami kenakan."Bukan kami yang salah.