"Mbak mau kemana? biar aku anter." Dengan seragam masih melekat di badan, remaja lelaki yang lesung pipinya tercipta saat bicara, menyapaku yang keluar dari apotek. "Bukannya kamu seharusnya masih sekolah?" "Iya, tapi males balik lagi," Arka, bocah besar yang mampu membuat pipi Riris bersemu ini pun bertanya, "Mbak Runi mau kemana? bukannya masih jam kerja." "Seharusnya, Ka, tapi Mbak disuruh pulang cepat hari ini." "Asik dong, Mbak." Arka menunjukkan senyum lalu melihat klinik di belakangku, "Mbak sakit?" tanyanya membuatku menggeleng. "Kamu dari mana? jangan bilang bolos ya." "Aku baru nganter mamaku pulang, Mbak," jawab remaja yang memakai jaket denim di atas seragam. "Di sekolah lagi ada acara kan, cuma mama gak bisa lama-lama karena ada pesenan kue hari ini." "Oh, mama kamu bikin kue apa?" "Macem-macem, Mbak. Dari yang dipanggang, dioven, dikukus, digoreng. Semuanya bisa," penuh kebanggaan Arka berucap. "Lain kali Mbak boleh pesen, dong?" "Boleh banget, Mbak, bahkan ki
"Dia ... ada di sini?""Iya, Mbak."Jawaban Arka membuat jantungku berdetak begitu keras. Sementara mataku yang sedang menatap Arka, mampu melihat bayangan bocah lelaki yang wajah dan tawanya selalu kurindukan bahkan saat tidur."Lukisannya bagus kan, Mbak?"Aku yang ditanya pendapatku tentang lukisan yang ingin Arka tunjukkan, tak ingat jawaban macam apa yang kuberikan padanya, apa aku mengangguk? Ataukah menjawab "ya."Entahlah.Yang kutahu, lesung pipi Arka makin dalam saat ia tersenyum dan kembali menatap lukisan realis yang menyatukan tiga cat berbeda dalam kanfas yang ada di hadapan kami.Teknik plakat yang tiap garisnya begitu jelas dan tebal, membuat diriku berusaha keras untuk mendengar ucapan Arka saat debaran jantungku bertalu-talu, memekakan pendengaran!"Orang awan pun, pasti akan bisa merasakan tiap goresan kuas yang rasanya digores dengan penuh makna ini, Mbak."Aku yang diam di tempatku berdiri bahkan lupa bertanya, bagaimana tanggapan Arka untuk wajahku yang begitu mi
Suara keriuhan masih terdengar, menyusup dari celah ruangan yang mampu melihat diriku dan jemari adiku bertalian.Tak banyak kata terucap dari mulutku yang duduk bersandar pada bahu Santo, begitupun adikku yang selalu tersenyum tiap kali mataku mencuri pandangan.Diam, bersama, memastikan kami sama-sama nyata. Kurasa itu yang sedang kami lakukan detik ini.Merasakan panas tubuh Santo yang menenangkan juga mendengar denyut jantungnya yang beraturan. Kurasa, aku merasa begitu tenang. Sampai kudengar adikku tertawa pelan."Kalo aku tau Mbak akan sesenang ini hanya duduk diam denganku, kamu sungguh sederhana, Mbak.""Sederhana?" Ulangku mengingat ucapan lelaki yang mungkin masih berada dalam keramaian sekolah, ditemani dua adik kembarnya."Mbak gak inget pernah bergaya seperti itu.""Aku menggunakan imajinasiku dan menerka saat kamu sedikit lebih dewasa, Mbak." Jawab Santo menatap goresan-goresan tangannya sendiri pada potretku dalam lukisan."Begitukah?"Ia mengangguk, "lagipula, aku han
Mimpi.Jika di pergelangan tanganku yang masih menyalurkan rasa terbakar tidak ada saputangan yang melilit, rasanya aku masih merasakan pertemuanku dengan Santo barusan tidak nyata.Tapi, senyum adikku yang jadi sangat tinggi, suaranya yang jadi semakin berat, pun sentuhan dan kehangatannya yang masih sama, bukan ilusiku.Sekalipun aku jadi benar-benar disadarkan sudah selama apa waktu yang ku lewatkan tanpa ada disisi Santo.Empat tahun ..., 'sungguh waktu yang tidak sebentar.'Bagiku itu adalah waktu yang sangat lama dan menyiksa.Rasa yang tidak hanya milikku sendiri. Karena adikku yang sorot matanya merindukan bapak dan ibu, pasti merasakan hal yang sama. Mungkin, lebih dari diriku yang tinggal bersama mereka.Namun, senyum mampu mehiasi bibirku yang berjalan menyusuri lorong panjang pun anak-anak tangga."Taksi Mbak?" Ucap pria paruh baya yang baru menurunkan penumpang."Iya, Pak." Jawabku lalu masuk ke dalam taksi yang pengemudinya bertanya kemana aku akan pergi."Siap, Mbak." U
"Dek Runi, ini aku Clara. Rendra ...."Rasanya aku tak perlu banyak bertanya kenapa Clara yang mengaku sebagai temanku, menjeda kalimatnya."Saya sendirian di bawah, Mbak." Jawabku bisa mendengar suara Clara yang rasanya masih menyisakan serak habis menangis."O-oh."Nampaknya, Clara terkejut karena aku paham maksudnya yang hanya menyebut nama sang kekasih.Tapi, akan sebodoh apa diriku yang mampu melihat kebingungan dalam mata mbok Surti saat mengatakan temanku menelpon.Mungkin, mbok Surti yang mengenali suara Clara tahu, siapa yang ingin bicara denganku. Atau, bisa saja Clara yang menyuruh mbok Surti untuk tidak mengatakan siapa dirinya jika ada seseorang di sampingku.Tapi, yang manapun rasanya tidak penting.Karena aku tahu, tangis Clara dan pertengkarannya dengan mas Rendra tadi, nampaknya ada sangkut pautnya dengan keberadaanku."Mbak ada perlu dengan saya?" Ucapku membalikkan badan untuk menatap tangga karena suara dari lantai dua terdengar lebih hidup dengan protes Ares dan
Bukan tidak memikirkan akan bagaimana Clara yang sudah membaca pesanku, menanggapi. Tapi, nyatanya diriku memang sudah menetapkan pilihan. Membatalkan janji kami. "Lho gak jadi pergi, Ndok?" Wajah heran eyang sama persis dengan tatapan pak Bowo yang membuka gerbang untukku."Iya, Eyang, pertemuannya ditunda," jawabku yang matanya melihat televisi menyala meski tidak ada yang menonton."Mereka di atas." Eyang yang memperlihatkan senyum menyentuh pundakku."Saya ke atas dulu, Eyang." Pamitku yang dapat anggukan."Iya, Ndok."Rasanya, langkahku yang meninggalkan eyang, cepat. Apalagi saat kakiku menaiki anak-anak tangga.Aku bahkan harus mengatur nafas sebelum memijak ubin lantai dua yang mampu meloloskan suara dari salah satu kamar karena pintunya terbuka."Kan, gak asik kalo cuma kita doangan, Mas.""Mas pasti gak mastiin samma mbak Runni dullu, ia adda acara gak mallam inni.""Mas-qu payah sekali."Aku yang kembali melangkah, berhenti tepat di depan kamar yang pemiliknya tidak menjaw
Apa aku terkejut untuk ucapan lelaki yang masih menunjukkan senyum meski sorot matanya seolah menunggu bagaimana aku bereaksi?Rasanya tidak."Benar kan, Ren?"Ah, bukan hanya diriku yang ia tunggu reaksinya. 'Tapi juga lelaki di sebelahku yang sejak melihat Dedo datang bersama Riris dan Ares, tak menunjukkan sambutan hangat pada teman satu kantornya ini.'Namun, mas Rendra tak menjawab apapun sampai Dedo yang nampaknya paham kembali menoleh padaku. Mengabikan keterkejutan dua bocah kembar yang juga diam."Tubuh kalian begitu menyatu sampai tak menyisakan celah. Ku rasa, di ranjang Joenathan Makarov pun dia menyentuhmu seperti itu, ya?"Brak!Suara kursi dan meja yang terdorong keras, menyatu dengan teriakan kaget saat tubuh Dedo tersungkur jatuh.Dan mas Rendra yang sudah melayangkan tinju pada teman sekantornya itu langsung mencengkram kerah baju Dedo yang pasti tidak menyangka."Ayolah, Rendra, kita semua tahu siapa Joenathan Makarov dan pelacur-pelacurnya-," Dedo melirikiku, "wani
Brak!Pintu yang baru didorong kembali tertutup dengan keras. membuatku dan mas Rendra yang sama-sama terkejut menyusul Riris. Tapi, gadis yang juga membanting pintu kamarnya sendiri itu mengunci pintu."Kembalilah ke kamarmu, biar aku yang bicara pada Riris."Meski ingin protes, aku yang sadar pada tampilanku yang hanya menggunakan selembar handuk, mengangguk. Dan terus menajamkankan telinga setelah masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak benar-benar rapat ku tutup.Tok! Tok! Mendengarkan mas Rendra mengetuk pintu kamar Riris dan sesekali memanggil nama sang adik yang pasti sangat terkejut melihat kami berdua yang ..., 'rasanya tarikan nafasku begitu dalam saat meraih baju apa saja dan memakainya cepat.'"Mas, ada apaan sih, berisik banget?" Ares yang keluar dari kamarnya bertanya, "aku ikutan ya, kayanya seru."Tak lama, ketukan pintu yang membuat pendengaranku menajam, berubah jadi tabuhan."Riris, yuhu... keluar dong. Ngapain kunci-kunci kamar? Riris jelek keluar dong.""Beris
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re