Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 85. SALAH MASUK KAMAR

Share

85. SALAH MASUK KAMAR

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 15:23:47

"Jika mengikuti permainanmu bisa mempertemukan ku dengan Santo. Aku tak akan keberatan, Joenathan Makarov."

Manik sewarna abu milik Joe tampak terkejut. Pun membiarkan badannya dibasahi rintik hujan yang tak lagi halus.

Sedangkan aku yang tak lagi bisa membedakan tetes apa yang jatuh merambati pipi, melewatinya.

Rasanya, bibir Joe yang terbuka ingin memanggilku. Tapi, hanya suara hujan yang menemani langkahku yang masuk ke dalam mobil yang pintunya ku banting keras.

Lalu melajukan cepat, meninggalkan parkiran club yang nyatanya jadi tempat kerja gadis yang kucari selama ini.

Lais.

Gadis yang tatapannya begitu tajam, pun tak meninggalkan keramahan.

(Kau pasti kakak terbaik sejagad raya, ha?)

Dan sarkasme Lais yang diakui seluruh diriku, membuatku menghentikan laju karena pandanganku buram.

Bukan hanya karena rintik hujan ataupun malam. Tapi, mataku tak bisa berhenti meneteskan airmata saat wajah adikku yang tak ingin membela dirinya sendiri pada tuduhan keluarga bapak, begitu jelas!

Da
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   86. ANAK PEMBUNUH!

    Begitu aku masuk dalam kamar yang kasurnya rapi setelah meninggalkan mas Rendra yang pasti terkejut aku melemparnya dengan selimut, kutarik nafas dalam.Tidak ada yang salah dengan kalimat mas Rendra. Hanya saja aku yang sedang tidak bisa mengendalikan rasa, tidak bisa menghadapi keketusan dalam nada suaranya. "Betapa kekanakannya dirimu, Seruni." Dan aku yang bersender pada pintu dengan hanya memakai kemeja basah, melirik tembok penyekat yang membuatku memejamkan mata rapat sebelum meraih tas lalu mengisi daya ponselku yang mati total. Dengan rasa kesal yang masih bercokol, aku masuk ke kamar mandi dengan rasa kesal yang masih begitu bercokol. Membersihkan diri dengan air dingin.Dan saat aku menatap pantulan diri yang rambutnya sudah kukeringkan, rasanya tarikan nafasku menggema dalam kamar mandi.Ping!Bunyi pesan yang masuk membuatku keluar dari kamar mandi.Katakan saja kamu sedang menghabiskan waktu di taman jika Ares dan Riris tanya.Sebaris kalimat yang kubaca, membuatku me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-27
  • MENJADI ORANG KEDUA   87. MELUPAKAN CLARA

    Tapi, nyatanya aku tak berani mengatakan apa yang sudah melintas dalam benak.Rasanya ... 'aku jadi takut jika lelaki yang sedang melajukan mobil masuk area kantorku akan menatapku dengan sorot yang berbeda.'Karena aku tahu jika hati manusia mampu berubah begitu cepat dengan keadaan."Runi?"Mungkin, mas Rendra yang melihatku kembali menyatukan tangan di atas pangkuan heran, kenapa aku tak juga turun."Mas, menurutmu ... apa ia bisa bahagia?"Tanya sama yang semalam Riris katakan tentang nasib anak-anak yang ia kasihani, ku perdengarkan pada lelaki yang posisi duduknya jadi terarah padaku."Tentu bisa, Runi."Dan jawaban mas Rendra yang begitu yakin membuatku menoleh. "Oh benarkah? dan bagaimana caranya?"Nada olokan bahkan terdengar begitu jelas pada tengingaku sendiri yang berucap.Membuat mas Rendra tertawa lalu menarik nafas dalam sebelum menatapku, "tentu saja bisa, Runi, karena semua orang berhak untuk bahagia tidak perduli siapa dia.""Hanya itu?" ucapanku dengan nada ejekan y

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-27
  • MENJADI ORANG KEDUA   88. JADIKAN RAHASIA

    "Lho, kok gak bawa apa-apa? gak ketemu?"Nilam, gadis yang satu angkatan denganku melirik tanganku yang keluar dari ruang arsip tapi tak membawa apapun, "kurasa ada yang sudah mengambilnya.""Aneh," ucapnya dengan dahi berkerut, "padahal tiap dokumen yang keluar pasti ada laporannya. Coba nanti aku cek 'kan.""Terimakasih.""Ish, kayak sama siapa aja, Run. Tapi, siapa yang minta, nih, kak Tomas apa Pak botak?""Pak Bram," jawabku membuat Nilam alisnya terangkat."Kamu pasti akan dapet masalah kalo gak dapet laporan yang dimintanya." kata Nilam lalu tersenyum saat aku mengangkat bahuku.Akhir-akhir ini, pak Bram suka sekali memberiku tugas yang bahkan tak penting atau bisa ditunda, tapi harus segera terlaksana."Well, satu-satunya cara minta bantuan anak IT, mereka bisa mengakses bahkan dokumen puluhan tahun lalu dalam waktu singkat.""Kurasa begitu, tapi aku tak kenal satupun dari mereka.""Gampang itu! yang penting kamu traktir mereka makan siang," kata Nilam mengajakku naik ke lanta

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-27
  • MENJADI ORANG KEDUA   89. DIA MEMBENCIKU

    "Apa ini?"Pak Bram menerima map yang kuberikan, "berkas yang anda minta, Pak." Jawabku.Dan ia yang membuka sampul map, tampak terkejut untuk barisan kata juga angka. Pun memastikan laporan keuangan tahun berapa yang kini ada di tangannya."Saya hanya dapat salinan saja, Pak. Yang asli sudah dipinjam orang lebih dulu."Namun, tatapan pak Bram sedikit aneh dan ia mengatakan sesuatu yang membuat dahiku berkerut meski sedikit. "Saya sudah serahkan pada Bapak pagi tadi.""Benarkah!?"Ucapan pak Bram membuatku melihat tumpukan berkas di atas meja lalu mengambil map yang kukenali, "di dalam sini semua yang Bapak minta saya kerjakan cepat, dan untuk laporan yang satu lagi masih harus menunggu bagian pemasaran juga titipan pesan dari Pak Wiro yang menyuruh Bapak untuk tidak terburu-buru karena divisinya juga mengerjakan projek lain yang jauh lebih penting."Pupil pak Bram membesar untuk kalimatku yang membuatnya mendongak, mengalihkan pandangan dari salinan berkas yang tak bisa kutemukan dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-27
  • MENJADI ORANG KEDUA   90. ALASANNYA MEMBENCIKU

    "Bagaimana dengan kakimu?""Hanya mengenai kain, Kak. Aman."Kak Tomas yang berjalan menyusuri ruangan sepi memperhatikan langkahku. "Kamu yakin?"Dan aku yang tak perlu jadi tontonan mata penasaran mengingat ini masih jam makan siang, mengangguk. Ikut melangkah menuju pantri yang juga tak menyisakan seorangpun.Tampaknya, hari ini semua orang ingin makan di luar.Zraass!Guyuran air kran meredakan kulit tanganku yang panas dan perih di saat yang sama.Kurasa, sejak Calista mengatakan teh pesannya harus panas sekali, aku sudah merasa tak biasa. Tapi ini ..., 'aku sama sekali tidak curiga untuk jari tangan Calista yang menyenggol cangkir berisi teh yang uapnya masih mengepul tepat ke arahku.'Dan rasanya, gangguan macam ini tidak akan jadi yang terakhir, mengingat bagaimana tatapan Calista saat kak Tomas mengajakku keluar. Meninggalkannya yang terus merutuk dan memanggil sepupunya ini."Kamu yakin ini saja cukup, Runi?""Ya, Kak, terimakasih," ucapku menerima air berisi es batu dalam p

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   91. ADIKKU ADA DI SINI!

    "Mbak mau kemana? biar aku anter." Dengan seragam masih melekat di badan, remaja lelaki yang lesung pipinya tercipta saat bicara, menyapaku yang keluar dari apotek. "Bukannya kamu seharusnya masih sekolah?" "Iya, tapi males balik lagi," Arka, bocah besar yang mampu membuat pipi Riris bersemu ini pun bertanya, "Mbak Runi mau kemana? bukannya masih jam kerja." "Seharusnya, Ka, tapi Mbak disuruh pulang cepat hari ini." "Asik dong, Mbak." Arka menunjukkan senyum lalu melihat klinik di belakangku, "Mbak sakit?" tanyanya membuatku menggeleng. "Kamu dari mana? jangan bilang bolos ya." "Aku baru nganter mamaku pulang, Mbak," jawab remaja yang memakai jaket denim di atas seragam. "Di sekolah lagi ada acara kan, cuma mama gak bisa lama-lama karena ada pesenan kue hari ini." "Oh, mama kamu bikin kue apa?" "Macem-macem, Mbak. Dari yang dipanggang, dioven, dikukus, digoreng. Semuanya bisa," penuh kebanggaan Arka berucap. "Lain kali Mbak boleh pesen, dong?" "Boleh banget, Mbak, bahkan ki

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   92. KEHANGATAN YANG TAK MENGHILANG

    "Dia ... ada di sini?""Iya, Mbak."Jawaban Arka membuat jantungku berdetak begitu keras. Sementara mataku yang sedang menatap Arka, mampu melihat bayangan bocah lelaki yang wajah dan tawanya selalu kurindukan bahkan saat tidur."Lukisannya bagus kan, Mbak?"Aku yang ditanya pendapatku tentang lukisan yang ingin Arka tunjukkan, tak ingat jawaban macam apa yang kuberikan padanya, apa aku mengangguk? Ataukah menjawab "ya."Entahlah.Yang kutahu, lesung pipi Arka makin dalam saat ia tersenyum dan kembali menatap lukisan realis yang menyatukan tiga cat berbeda dalam kanfas yang ada di hadapan kami.Teknik plakat yang tiap garisnya begitu jelas dan tebal, membuat diriku berusaha keras untuk mendengar ucapan Arka saat debaran jantungku bertalu-talu, memekakan pendengaran!"Orang awan pun, pasti akan bisa merasakan tiap goresan kuas yang rasanya digores dengan penuh makna ini, Mbak."Aku yang diam di tempatku berdiri bahkan lupa bertanya, bagaimana tanggapan Arka untuk wajahku yang begitu mi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28
  • MENJADI ORANG KEDUA   94. KERINDUAN ADIKKU PADA ORANG TUANYA

    Suara keriuhan masih terdengar, menyusup dari celah ruangan yang mampu melihat diriku dan jemari adiku bertalian.Tak banyak kata terucap dari mulutku yang duduk bersandar pada bahu Santo, begitupun adikku yang selalu tersenyum tiap kali mataku mencuri pandangan.Diam, bersama, memastikan kami sama-sama nyata. Kurasa itu yang sedang kami lakukan detik ini.Merasakan panas tubuh Santo yang menenangkan juga mendengar denyut jantungnya yang beraturan. Kurasa, aku merasa begitu tenang. Sampai kudengar adikku tertawa pelan."Kalo aku tau Mbak akan sesenang ini hanya duduk diam denganku, kamu sungguh sederhana, Mbak.""Sederhana?" Ulangku mengingat ucapan lelaki yang mungkin masih berada dalam keramaian sekolah, ditemani dua adik kembarnya."Mbak gak inget pernah bergaya seperti itu.""Aku menggunakan imajinasiku dan menerka saat kamu sedikit lebih dewasa, Mbak." Jawab Santo menatap goresan-goresan tangannya sendiri pada potretku dalam lukisan."Begitukah?"Ia mengangguk, "lagipula, aku han

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-28

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status