"Lho, mau kemana, Le'?"Tanya eyang membuatku dan dua bocah kembar yang masih makan rambutan di depan televisi, menoleh."Keluar sebentar, Eyang.""Huh, bohong tuh Eyang. Sebentarnya Mas kan bisa berjam-jam." Celetuk Ares pada sang kakak yang tampilan kasualnya akan membuat banyak mata melirik untuk kedua kali dengan pipi bersemu."Palingan mau ketemu sama si itu," bisik Riris menyingkirkan tangan mas Rendra yang mengacak rambutnya.Sementara mata Mas Rendra menatapku yang mengangguk untuk pamitnya yang tanpa suara, "pergi dulu ya.""Hati-hati.""Iya, Eyang." Jawab mas Rendra yang tak lama deru kendaraannya terdengar. Menjauh dari rumah yang penghuninya memberiku tatapan tak enak."Kenapa sih, dia gak ngebiarin mas Rendra istirahat di rumah sebentar, besok juga ketemu kan?""Stt! Nih, daripada kesel makan rambutan aja." Ucap Ares yang melirikku dengan tersenyum, "Mbak, kamu keluar aja sama aku mau gak?""Mbak mau mandi terus tidur." Mendengar itu, Riris langsung duduk dan melirikku."
Musik menghentak yang menggetarkan ubin menyatu dengan teriakan semangat dari para pencari kesenangan malam.Rasa yang tidak pernah mampu menyapa diriku yang duduk diantara wajah-wajah semangat yang tawanya menggema. Menjerit sepenuh hati seolah ingin diakui jika merekah hadir pun mampu tertawa.Dan Damar yang masih ingin tahu jawaban dari tanya yang ia ucapkan, masih menatapiku yang memainkan jari di bibir gelas.'Apa perasaanku sedang buruk?' Jawaban apa yang harus kukatakan saat aku tidak pernah merasa baik-baik saja sejak adikku pergi. Meninggalkan tumpukan abu setelah membawa segala yang bisa mengingatkan diriku pada bocah yang ... 'rasanya aku yang terus memainkan telunjukku di bibir gelas akan terus Damar tatap sebelum ia mendengar jawaban dariku.'"Hanya sesuatu," jawabku pada akhirnya lalu menyapukan pandangan pada lantai dansa di lantai satu.Begitu riuhnya orang-orang yang berjubel menjadi satu itu bergoyang, meliuk-liukkan tubuh, mengikuti hentakan musik EDM dan teriakan
Gerimis yang tampak begitu halus jadi pemandangan bagiku yang tak lagi berdiri di atas lantai dansa.Keriuhan manusia pun dentum musik yang memekakkan telinga tak lagi kudengar. Hanya samar, karena saat ini aku duduk di atas kap mobilku sendiri."Pakailah." Sampai Joe yang ikut keluar, menyelimutkan jaket hangatnya pada punggungku lalu ikut bersender.Untuk beberapa lama kami diam, menatap langit gelap yang awan mendungnya nampak."Dimana adikku, Joe?"Pupil sewarna abu Joe menoleh padaku yang rasanya ingin tenggelam di dalam matanya, mencari jawaban dari tanya yang tidak pernah lelah kutanyakan.Sampai aku yang seharusnya terlelap di samping Riris malam ini jadi berpikir, 'apa aku hanya menyia-nyiakan waktuku karena Joe tetap diam tentang keberadaan Santo?""Aku senang mendengarmu bercerita tentang adikku, Joe."Mata Joe berkedip saat bibirku yang tidak ingin tertawa mengulas senyum tipis. "Tentang apa yang kalian bicarakan, tentang apa yang membuatnya tersenyum juga kesal. Pun makan
"Jika mengikuti permainanmu bisa mempertemukan ku dengan Santo. Aku tak akan keberatan, Joenathan Makarov."Manik sewarna abu milik Joe tampak terkejut. Pun membiarkan badannya dibasahi rintik hujan yang tak lagi halus.Sedangkan aku yang tak lagi bisa membedakan tetes apa yang jatuh merambati pipi, melewatinya.Rasanya, bibir Joe yang terbuka ingin memanggilku. Tapi, hanya suara hujan yang menemani langkahku yang masuk ke dalam mobil yang pintunya ku banting keras.Lalu melajukan cepat, meninggalkan parkiran club yang nyatanya jadi tempat kerja gadis yang kucari selama ini.Lais.Gadis yang tatapannya begitu tajam, pun tak meninggalkan keramahan.(Kau pasti kakak terbaik sejagad raya, ha?)Dan sarkasme Lais yang diakui seluruh diriku, membuatku menghentikan laju karena pandanganku buram.Bukan hanya karena rintik hujan ataupun malam. Tapi, mataku tak bisa berhenti meneteskan airmata saat wajah adikku yang tak ingin membela dirinya sendiri pada tuduhan keluarga bapak, begitu jelas!Da
Begitu aku masuk dalam kamar yang kasurnya rapi setelah meninggalkan mas Rendra yang pasti terkejut aku melemparnya dengan selimut, kutarik nafas dalam.Tidak ada yang salah dengan kalimat mas Rendra. Hanya saja aku yang sedang tidak bisa mengendalikan rasa, tidak bisa menghadapi keketusan dalam nada suaranya. "Betapa kekanakannya dirimu, Seruni." Dan aku yang bersender pada pintu dengan hanya memakai kemeja basah, melirik tembok penyekat yang membuatku memejamkan mata rapat sebelum meraih tas lalu mengisi daya ponselku yang mati total. Dengan rasa kesal yang masih bercokol, aku masuk ke kamar mandi dengan rasa kesal yang masih begitu bercokol. Membersihkan diri dengan air dingin.Dan saat aku menatap pantulan diri yang rambutnya sudah kukeringkan, rasanya tarikan nafasku menggema dalam kamar mandi.Ping!Bunyi pesan yang masuk membuatku keluar dari kamar mandi.Katakan saja kamu sedang menghabiskan waktu di taman jika Ares dan Riris tanya.Sebaris kalimat yang kubaca, membuatku me
Tapi, nyatanya aku tak berani mengatakan apa yang sudah melintas dalam benak.Rasanya ... 'aku jadi takut jika lelaki yang sedang melajukan mobil masuk area kantorku akan menatapku dengan sorot yang berbeda.'Karena aku tahu jika hati manusia mampu berubah begitu cepat dengan keadaan."Runi?"Mungkin, mas Rendra yang melihatku kembali menyatukan tangan di atas pangkuan heran, kenapa aku tak juga turun."Mas, menurutmu ... apa ia bisa bahagia?"Tanya sama yang semalam Riris katakan tentang nasib anak-anak yang ia kasihani, ku perdengarkan pada lelaki yang posisi duduknya jadi terarah padaku."Tentu bisa, Runi."Dan jawaban mas Rendra yang begitu yakin membuatku menoleh. "Oh benarkah? dan bagaimana caranya?"Nada olokan bahkan terdengar begitu jelas pada tengingaku sendiri yang berucap.Membuat mas Rendra tertawa lalu menarik nafas dalam sebelum menatapku, "tentu saja bisa, Runi, karena semua orang berhak untuk bahagia tidak perduli siapa dia.""Hanya itu?" ucapanku dengan nada ejekan y
"Lho, kok gak bawa apa-apa? gak ketemu?"Nilam, gadis yang satu angkatan denganku melirik tanganku yang keluar dari ruang arsip tapi tak membawa apapun, "kurasa ada yang sudah mengambilnya.""Aneh," ucapnya dengan dahi berkerut, "padahal tiap dokumen yang keluar pasti ada laporannya. Coba nanti aku cek 'kan.""Terimakasih.""Ish, kayak sama siapa aja, Run. Tapi, siapa yang minta, nih, kak Tomas apa Pak botak?""Pak Bram," jawabku membuat Nilam alisnya terangkat."Kamu pasti akan dapet masalah kalo gak dapet laporan yang dimintanya." kata Nilam lalu tersenyum saat aku mengangkat bahuku.Akhir-akhir ini, pak Bram suka sekali memberiku tugas yang bahkan tak penting atau bisa ditunda, tapi harus segera terlaksana."Well, satu-satunya cara minta bantuan anak IT, mereka bisa mengakses bahkan dokumen puluhan tahun lalu dalam waktu singkat.""Kurasa begitu, tapi aku tak kenal satupun dari mereka.""Gampang itu! yang penting kamu traktir mereka makan siang," kata Nilam mengajakku naik ke lanta
"Apa ini?"Pak Bram menerima map yang kuberikan, "berkas yang anda minta, Pak." Jawabku.Dan ia yang membuka sampul map, tampak terkejut untuk barisan kata juga angka. Pun memastikan laporan keuangan tahun berapa yang kini ada di tangannya."Saya hanya dapat salinan saja, Pak. Yang asli sudah dipinjam orang lebih dulu."Namun, tatapan pak Bram sedikit aneh dan ia mengatakan sesuatu yang membuat dahiku berkerut meski sedikit. "Saya sudah serahkan pada Bapak pagi tadi.""Benarkah!?"Ucapan pak Bram membuatku melihat tumpukan berkas di atas meja lalu mengambil map yang kukenali, "di dalam sini semua yang Bapak minta saya kerjakan cepat, dan untuk laporan yang satu lagi masih harus menunggu bagian pemasaran juga titipan pesan dari Pak Wiro yang menyuruh Bapak untuk tidak terburu-buru karena divisinya juga mengerjakan projek lain yang jauh lebih penting."Pupil pak Bram membesar untuk kalimatku yang membuatnya mendongak, mengalihkan pandangan dari salinan berkas yang tak bisa kutemukan dal