"Assalamualaikum."Aku terdiam di tempatku saat mendapati bapak pulang dengan wajah lelah. Tapi, mata tuanya berbinar saat melihatku. Pun, memperlihatkan senyumnya yang selalu kuingat."Siapa ini, kok, pulang gak bilang?" Bapak memelukku erat lalu melihat Ibu yang tersenyum menyentuh bahu mas Rendra yang mendekat."Lihat, anak kita pulang dengan siapa, Pak."Bapak yang masih memelukku mengangguk. Menatapi lelaki yang mengulurkan tangan dan mencium tangan bapak."Apa kabar, Pak?""Tidak pernah sebaik ini, Nak Rendra," bapak menatapku yang kepalanya ia usap. Pun, mengeratkan pelukannya sebelum melepas ku dan kembali menatap mas Rendra, "dateng kapan, to? Kok gak ada yang ngasi tau bapak ini lho.""Siang tadi, Pak.""Bu...?" Bapak melirik ibu yang berjalan ke dapur, lebih memilih untuk membuat air jahe untuknya."Kejutan, Pak, kejutan." Balas ibu yang membuat bapak menggeleng dengan hembusan nafas lama namun berakhir dengan senyum saat menatapku. "Gimana kabar orang rumah?""Baik, Pak
"Sama sepertimu, Pak, aku juga tidak perduli pada apa yang orang katakan. Karena aku adalah putri kalian."Pandangan bapak melembut untuk genggaman tanganku yang matanya melirik apa yang ada di meja.Berkas berisi nama-nama tak asing yang wajahnya pun bapak kenali."Dan meraka," ucapku kembali menatap bapak, "adalah orang-orang yang mampu dan mencintai perusahaan keluargamu, Pak. Aku yakin mereka bisa membimbing sepupu-sepupuku selama mereka mau belajar.""Kau pikir anak-anak manja itu mau, Runi?" Pandangan mata bapak berubah, tak lagi mengguratkan amarah saat hembusan nafasnya yang keras keluar."Bapak heran, apa yang sepupu-sepupumu pelajari di bangku sekolah." Bapak memandangku, tatapan matanya melembut tapi ada sedikit kesedihan di sana. "Maafkan Bapak, Ndok."Suara Bapak yang genggaman jarinya menguat, bergetar. Lalu menarikku yang tidak menjawab ucapan maafnya saat wajah Santo memenuhi benakku."Sungguh maafkan Bapak."Aku yang matanya terasa panas, mengangkat tangan. Membalas d
Dari pada ucapannya, aku lebih terkejut untuk senyum yang mas Rendra perlihatkan saat jarinya kembali mengusap sisa air mataku."Saat pulang, seringkali aku melihat barang pecah dan sedang dibersihkan pegawai rumah sementara adik-adikku bersembunyi dalam kamarku."Sementara suara serangga jadi tak berarti untuk kalimat yang mas Rendra ucapkan dengan begitu tenang."Aku tidak pernah merasa biasa untuk wajah adik-adikku yang ketakutan memeluku dengan sangat erat, seolah aku adalah satu-satunya tempat mereka bisa merasa aman."Ucapan mas Rendra yang nampaknya sudah berdamai dengan kehidupan masa kecilnya tak beriak, "dan entah sejak kapan aku punya pemikiran, untuk apa bersama jika saling menyakiti dan berteriak tidak perduli ada aku dan adik-adikku yang melihat."Mata mas Rendra yang tak berpaling rasanya melihat apa yang ia alami saat masih kecil."Rumah tidak pernah damai setiap ayahku pulang, Runi."Sorot mata mas Rendra yang rasanya melihat masa yang sedang ia bicarakan, tampak kese
"Lho, mau kemana, Le'?"Tanya eyang membuatku dan dua bocah kembar yang masih makan rambutan di depan televisi, menoleh."Keluar sebentar, Eyang.""Huh, bohong tuh Eyang. Sebentarnya Mas kan bisa berjam-jam." Celetuk Ares pada sang kakak yang tampilan kasualnya akan membuat banyak mata melirik untuk kedua kali dengan pipi bersemu."Palingan mau ketemu sama si itu," bisik Riris menyingkirkan tangan mas Rendra yang mengacak rambutnya.Sementara mata Mas Rendra menatapku yang mengangguk untuk pamitnya yang tanpa suara, "pergi dulu ya.""Hati-hati.""Iya, Eyang." Jawab mas Rendra yang tak lama deru kendaraannya terdengar. Menjauh dari rumah yang penghuninya memberiku tatapan tak enak."Kenapa sih, dia gak ngebiarin mas Rendra istirahat di rumah sebentar, besok juga ketemu kan?""Stt! Nih, daripada kesel makan rambutan aja." Ucap Ares yang melirikku dengan tersenyum, "Mbak, kamu keluar aja sama aku mau gak?""Mbak mau mandi terus tidur." Mendengar itu, Riris langsung duduk dan melirikku."
Musik menghentak yang menggetarkan ubin menyatu dengan teriakan semangat dari para pencari kesenangan malam.Rasa yang tidak pernah mampu menyapa diriku yang duduk diantara wajah-wajah semangat yang tawanya menggema. Menjerit sepenuh hati seolah ingin diakui jika merekah hadir pun mampu tertawa.Dan Damar yang masih ingin tahu jawaban dari tanya yang ia ucapkan, masih menatapiku yang memainkan jari di bibir gelas.'Apa perasaanku sedang buruk?' Jawaban apa yang harus kukatakan saat aku tidak pernah merasa baik-baik saja sejak adikku pergi. Meninggalkan tumpukan abu setelah membawa segala yang bisa mengingatkan diriku pada bocah yang ... 'rasanya aku yang terus memainkan telunjukku di bibir gelas akan terus Damar tatap sebelum ia mendengar jawaban dariku.'"Hanya sesuatu," jawabku pada akhirnya lalu menyapukan pandangan pada lantai dansa di lantai satu.Begitu riuhnya orang-orang yang berjubel menjadi satu itu bergoyang, meliuk-liukkan tubuh, mengikuti hentakan musik EDM dan teriakan
Gerimis yang tampak begitu halus jadi pemandangan bagiku yang tak lagi berdiri di atas lantai dansa.Keriuhan manusia pun dentum musik yang memekakkan telinga tak lagi kudengar. Hanya samar, karena saat ini aku duduk di atas kap mobilku sendiri."Pakailah." Sampai Joe yang ikut keluar, menyelimutkan jaket hangatnya pada punggungku lalu ikut bersender.Untuk beberapa lama kami diam, menatap langit gelap yang awan mendungnya nampak."Dimana adikku, Joe?"Pupil sewarna abu Joe menoleh padaku yang rasanya ingin tenggelam di dalam matanya, mencari jawaban dari tanya yang tidak pernah lelah kutanyakan.Sampai aku yang seharusnya terlelap di samping Riris malam ini jadi berpikir, 'apa aku hanya menyia-nyiakan waktuku karena Joe tetap diam tentang keberadaan Santo?""Aku senang mendengarmu bercerita tentang adikku, Joe."Mata Joe berkedip saat bibirku yang tidak ingin tertawa mengulas senyum tipis. "Tentang apa yang kalian bicarakan, tentang apa yang membuatnya tersenyum juga kesal. Pun makan
"Jika mengikuti permainanmu bisa mempertemukan ku dengan Santo. Aku tak akan keberatan, Joenathan Makarov."Manik sewarna abu milik Joe tampak terkejut. Pun membiarkan badannya dibasahi rintik hujan yang tak lagi halus.Sedangkan aku yang tak lagi bisa membedakan tetes apa yang jatuh merambati pipi, melewatinya.Rasanya, bibir Joe yang terbuka ingin memanggilku. Tapi, hanya suara hujan yang menemani langkahku yang masuk ke dalam mobil yang pintunya ku banting keras.Lalu melajukan cepat, meninggalkan parkiran club yang nyatanya jadi tempat kerja gadis yang kucari selama ini.Lais.Gadis yang tatapannya begitu tajam, pun tak meninggalkan keramahan.(Kau pasti kakak terbaik sejagad raya, ha?)Dan sarkasme Lais yang diakui seluruh diriku, membuatku menghentikan laju karena pandanganku buram.Bukan hanya karena rintik hujan ataupun malam. Tapi, mataku tak bisa berhenti meneteskan airmata saat wajah adikku yang tak ingin membela dirinya sendiri pada tuduhan keluarga bapak, begitu jelas!Da
Begitu aku masuk dalam kamar yang kasurnya rapi setelah meninggalkan mas Rendra yang pasti terkejut aku melemparnya dengan selimut, kutarik nafas dalam.Tidak ada yang salah dengan kalimat mas Rendra. Hanya saja aku yang sedang tidak bisa mengendalikan rasa, tidak bisa menghadapi keketusan dalam nada suaranya. "Betapa kekanakannya dirimu, Seruni." Dan aku yang bersender pada pintu dengan hanya memakai kemeja basah, melirik tembok penyekat yang membuatku memejamkan mata rapat sebelum meraih tas lalu mengisi daya ponselku yang mati total. Dengan rasa kesal yang masih bercokol, aku masuk ke kamar mandi dengan rasa kesal yang masih begitu bercokol. Membersihkan diri dengan air dingin.Dan saat aku menatap pantulan diri yang rambutnya sudah kukeringkan, rasanya tarikan nafasku menggema dalam kamar mandi.Ping!Bunyi pesan yang masuk membuatku keluar dari kamar mandi.Katakan saja kamu sedang menghabiskan waktu di taman jika Ares dan Riris tanya.Sebaris kalimat yang kubaca, membuatku me