Rasanya aku tidak bermimpi apapun semalam, kecuali merasakan kerinduan untuk adikku saat bangun. "Tumben Mbak Runni bangun sebelum aku." Pun, tanya heran Riris yang membangunkan diriku yang nyatanya benar-benar telat bangun. Tapi, lihatlah kini. Kakiku rasanya benar-benar terpaku saat lelaki berdarah Rusia yang menunggu, bangun dari sofa tempat ia duduk. Pun, tampak sekali tidak perduli pada decak kagum serta tatapan terpesona berpasang-pasang mata yang menjadikannya 'eye candy' gratisan. Termasuk gadis Betawi nyablak yang bahkan tak berkedip. Melupakan babang Tomas yang selalu ia puji dimanapun. Sementara Toro, menyentuh lenganku. "Siapa?" Tanyanya. Tapi, aku bahkan tidak yakin harus menjawab apa. Karena Joenathan Makarov bukan apa-apa bagiku yang ingin bertemu Santo. Ia hanya lelaki yang hasil foto dari kameranya, mampu mengabadikan potret adikku, gadis yang menghilang sejak aku mengirim DM, juga Lena. Tidak lebih dari itu. "Runi?" "... tunggu, ya." Jawabku yang sudah bi
"Kamu sudah merasa lebih tenang?"Joe menyerahkan tissu padaku yang menatapnya. "Dimana adikku, Joe?"Lelaki yang ku tanyai melirik tissu yang terpaksa kuambil dan hanya kugenggam sampai Joe yang ada di depanku berdiri tegak.Sementara aku yang terduduk di atas ubin, mendongak. Melihatnya menoleh pada lukisan adiku."Santo benar, kamu tak kan bisa bicara saat menangis melihat potretmu ini, Seruni."Joe mengulurkan tangan padaku yang diam menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaanku."Come on, atau minuman spesial buatan mbok Sumi jadi benar-benar dingin dan aku akan memintanya membuat lagi untuk kita."Aku terpaksa berdiri, menyambut tangan lelaki yang langkahnya kuikuti. Tidak ingin merepotkan wanita yang menyambutku dengan tatapan kaget sejak pertama kali mbok Sumi melihatku tadi."Duduklah."Tanpa perintah ke dua, aku yang diajak masuk lebih dalam, duduk di teras belakang.Taman dengan botsai yang tampaknya jadi koleksi, mempercantik kolam renang berbentuk oval yang airnya begitu
Aku yang meninggalkan seluruh barangku di kantor kecuali ponsel, mengunci mobil yang begitu mencolok di tempat parkir.Tanpa kata aku melangkah, ingin masuk ke dalam kantor sepi."Sore, Mbak Runi."Sampai sapaan pak Salim yang masih memakai seragam kerjanya membuatku menoleh, "selamat sore, Pak Salim. Bapak belum pulang?""Sudah Neng, tapi balik lagi," jawab pak Salim merogoh saku baju lalu menyerahkan kunci mobil yang kukenali. "Tadi, Mas Toro nitip ini pas saya bilang mau nungguin Mbak Runi. Barang-barang punya Mbak juga sudah di masukkan ke dalam mobil."Aku menatap Honda Civic yang ditunjuk telunjuk pak Salim, "terimakasih, Pak, maaf merepotkan," ucapku menerima kunci lalu bertanya, "kenapa Bapak nungguin saya?""Sama-sama Nang," jawabnya, "itu, keripik singkong pesanan Mbak Runi sudah jadi."Pandanganku menunduk, menatap kardus yang membuat pupil mataku membesar karena dua bocah yang duduk di samping kardus wajahnya tidak asing.Rama dan Mala, dua bocah kecil yang menjual keripik
Bantingan bola basket pada beton terdengar ramai saat dua remaja yang wajahnya serupa berebut bola."Aku tak tahu kamu bisa sejahil itu."Mas Rendra yang duduk di sampingku menoleh, mengalihkan pandangan dari dua adiknya yang ingin berkeringat setelah makan malam kami."Aku juga baru tahu kamu bisa setega itu mencabut rambutku."Mendengar ucapan Mas Rendra, aku tertawa lepas seketika.Tawa yang rasanya mejadi pandangan bagi lelaki yang benar-benar memperhatikan diriku, seolah apa yang ia lihat adalah hal langka.Langka? Tentu saja tawa lepasku adalah hal yang begitu luar biasa.Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali aku menunjukkan senyum tulus sejak adikku pergi empat tahun lalu.Tidak pada orang-orang yang kutinggalkan agar bisa mencari Santo, tidak pada Keiro yang kehadirannya menjadi biasa dalam hidupku, pun, tidak pada orang-orang yang kutemui di kota yang tanahnya kupijaki detik ini.Dan mas Rendra yang sorot matanya seolah ingin mengabadikan apa yang ia lihat, terus menatapiku s
Tok tok!"Masuk aja, Mbok, gak dikunci," ucapku yang tidak mengalihkan pandangan dari layar laptop yang sudah menyala lama. Pun, entah sampai kapan akan menyala."Apa yang terjadi dengan kamar ini?"Dan suara yang bukan milik mbok Surti ataupun mbak Imah, membuatku menoleh pada lelaki yang tangannya membawa nampan berisi minuman yang kuminta."Aku membawakan kopimu, Nona," ucap mas Rendra yang menutup pintu untuk sorot mataku yang rasanya bertanya apa yang sedang ia lakukan?"Terimakasih, Mas, tolong letakkan di ... dimana saja," ucapku yang matanya sudah berkeliling, mencari tempat."Ok." Jawab mas Rendra yang langkahnya makin dekat sementara aku kembali mengetiki keyboard meraba-raba lantai."Cari ini?" Tanya Mas Rendra menyerahkan USB yang langsung kucolokkan pada laptop dan menatap pria yang menggeser tumpukan kertas untuk meletakkan nampan, "terimakasih, Mas."Tapi, lelaki yang mengangguk untuk ucapanku justru duduk sampai aku menoleh padanya. "Kamu ada perlu denganku?" tanyaku
"Atas nama pribadi, saya sungguh-sungguh meminta maaf untuk ketidak nyamanan yang sudah pihak kami timbukan, Pak Noko." Lelaki yang menjabat tanganku mengangguk, "kuharap, hal seperti ini tidak perlu terulang di masa depan, Nak Seruni." "Kami akan terus membenahi diri Pak Noko." Dan jabatan lelaki yang menoleh pada cucunya menguat. "Kuharap begitu, Nak Seruni." Aku membungkuk untuk langkah lelaki yang keluar dari lounge salah satu hotel yang menjadi tempat pertemuan kami setelah mengatur janji temu. Begitupun lelaki muda yang membungkuk lebih dalam dariku, sebelum menyusul bosnya dengan surat perjanjian yang sudah diperbaharui. Sementara bocah perempuan yang pipinya begitu bulat, melambaikan tangannya padaku yang membalas. Apa aku merasa lega untuk hal yang nyatanya lebih mudah jika dibandingkan dengan beberapa hari terakhir? Saat aku harus terbang ke tempat lain lalu kembali ke kota ini di hari yang sama. Rasanya tidak. Karena apa yang akan kulakukan setelah pulang, jauh lebi
"Rumah hanya jadi sangat sepi kalau ibu tidak ada kegiatan, Ndok." Ucap ibu yang sorot matanya pun berubah.Bohong jika aku tidak merasakan apapun untuk tatapan ibu yang rasa kesepiannya pun mengetuki batinku.Aku, anak yang sudah dirawatnya dengan penuh kasih sejak umurku enam tahun, akan buta sekali jika tidak melihat kerinduannya padaku yang baru kali ini keluar dari rumah. Tidak pulang bahkan akan tinggal jauh darinya selama berbulan-bulan.Meski setiap pagi kami bertukar kata, juga pesan. Hal macam itu tidak akan mampu menghapuskan rindu yang ibu rasakan padaku.TIDAK AKAN MUNGKIN!"Tapi, Ibu tenang karena tahu kamu tinggal dengan orang-orang yang akan menjagamu, Ndok." Ibu melirik mas Rendra yang pasti juga mendengar perubahan nada suara ibu."Terimakasih ya, Nak Rendra."Mas Rendra mulutnya terbuka, sementara matanya nampak kaget untuk kalimat tulus ibu yang membuat wajahnya sedikit bermasalah. Apalagi saat tatapannya melihat bagian leherku yang masih menggunakan baju berkerah
Mas, kalau sudah bangun turun ya| Aku yang memencet tombol kirim, menoleh pada bunyi ponsel yang membuat obrolan ibu dan mbok Darmi yang sedang berdiskusi tentang apa yang ingin keduanya masak untuk menu besok, berhenti berucap. Ping! Rasanya, mata dua wanita yang tak lagi muda itu pun terkesima dengan kehadiran lelaki yang berhenti melangkah untuk melihat layar ponselnya itu. "Anak mantuku, Mbok." Sampai ucapnya ibu membuat diriku mengalihkan pandangan dari lelaki dengan polo shirt warna putih pun celana joger yang begitu pas melekat di badan mas Rendra. Dan tarikan nafasku membuat ibu tersenyum lalu menyambut lelaki yang langsung ia suruh duduk pun tawari macam-macam. "Teh saja, Bu." Ucap mas Rendra meletakkan ponsel di meja lalu menatapku dengan tanya, "kenapa?" "Kami mau ajak kamu makan di alun-alun, Mas." "Tehnya, Den." Mbok Darmi meletakkan cangkir berisi teh hangat. Minuman yang begitu cocok di sajikan untuk menikmati sisa hari. "Terimakasih, Mbok." Ucap mas Rendra pad