Siapa yang memulai? Entahlah. Atau bermula dari mana? Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, nafasku seakan habis saat Mas Rendra melepas pagutannya dari bibirku. Dan sebelum otakku yang seakan berhenti berpikir, bekerja lagi. Seperti tak perduli pada hal lain, Mas Rendra memagut bibirku kembali. Pun, memasukkan lidahnya, menyusuri tiap jengkal mulutku yang tak juga mengeluarkan penolakan! Kecupan yang awalnya hanya seperti salam, berubah makin dalam dan tak lagi bisa dihentikan. Lagi dan lagi dan lagi. DAN tanganku yang mendorong dada bidang mas Rendra, seakan tak bertenaga. Apalagi dengan satu tangannya saja, mas Rendra mampu memaku kedua lenganku yang ia tempelkan di pintu. Ruang gerakku makin tak bebas karena salah satu kaki Mas Rendra memisahkan kakiku. Entah kaki kanan ataukah kaki kirinya. Aku yang juga membalas ciuman mas Rendra, tak ingin memilih. Keiro, satu-satunya lelaki yang pernah menyapa bibirku tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku pun, bukan gadis lugu yan
"Tidak, Eyang. Saya hanya kurang tidur." Jawabku pada akhirnya. Jawaban yang tidak sepenuhnya kebohongan karena aku memang tidak bisa tidur. Sama sekali. Meski sudah memaksa diri. Dan nyatanya, pulasan make up tidak benar-benar mampu menutupi wajahku yang masih eyang perhatikan. Sampai tangan tuanya menyentuh lenganku. "Kamu kebanyakan di depan laptopmu, Ndok," ucap eyang yang usapan lembutnya membuatku merasa bersalah. "Padahal belum lama kamu sakit, Runi." "Iya, Eyang, ada ... yang harus saya kerjakan." ucapku pada wanita yang tatapannya selalu lembut saat menatapku. "Usahakan jangan terlalu capek, Ndok, atau ibumu benar-benar akan datang ke sini dan langsung membawamu pulang." "Iya, Eyang." Jawabku yang bisa merasakan tatapan lelaki yang bergabung begitu telat untuk sarapan. "Eyang, kalo mbak Runi dibawa pulang, aku boleh ikut mbak Runi gak?" "Habiskan saja sarapanmu." Dan jawaban eyang membuat bibir Ares manyun lalu memakan kerupuk yang bunyinya renyah sementara Riris men
"Maaf, saya tak bermaksud mengagetkan." Ucap mas Rendra yang langsung turun. "Kalo gak ganteng, lu udah gue gibag pake tas, Bang," balas Nora membetulkan rok pendeknya setelah berdiri tegak. "Saya benar-benar minta maaf." sesal Mas Rendra membuat Nora yang melirikku tersenyum. "Kite maafin, dah. Tapi, anterin kita makan dong, Bang. Cowok kemayu aw-!" Sesaat Nora yang pinggangnya Toro cubit melotot. "Maksud gue, cowok super macho di sebelah saya ini takut banget sama becek." Lirikan Toro tak berpengaruh apapun pada Nora. Apalagi mas Rendra mengangguk untuk ucapannya. "Ayolah, mau makan di mana? saya juga belum makan," balas Mas Rendra menatapku yang hanya memperhatikannya. Sementara benakku yang mulutnya rapat tertutup bertanya, 'sejak kapan ia menunggu?' Tidak mungkin sejak jam empat seperti yang kukatakan tadi pagi, bukan? Karena saat ini langit jingga di atas kami sudah bercampur dengan gelap. Dan itu bukan karena awan mendung yang tetesan airnya sudah menciptakan genangan.
"Ojek payung, Om!" Tawar bocah perempuan yang tubuhnya kuyup, tak lagi perduli pada tetes hujan yang terus saja turun tanpa perduli apa yang rintiknya basahi. "Ojeknya dua, ya?" Ucapan mas Rendra yang menurunkan kaca membuat binar dalam mata bocah perempuan yang nyatanya benar-benar ada, bukan hanya sebuah cerita. Bocah-bocah payung. Anak-anak yang menawarkan jasa untuk mendapat lembaran rupiah saat hujan turun. "Siap, Om!" Begitu semangat becah perempuan itu berucap lalu menoleh kebelakang, "Nono, kemari! Ada yang mau ojek!" Sementara aku yang baru kali ini melihat apa yang kudengar dari berita, memperhatikan bocah lain yang tubuhnya pun kuyup, berlari mendekat dengan payung kebesaran Tidak takut tersandung kakinya sendiri yang membuat cipratan pada tiap langkah. (Ui) Sementara senyum lebar sang bocah lelaki yang disuruh mendekat pada pintu di sampingku, membuatku diam. Karena aku bisa melihat adikku dalam diri bocah yang harus menunggu lama jika mas Rendra tidak menyentuh l
"Apa maksudmu, Mas Rendra?" Rasanya aku ingin bertanya seperti itu pada lelaki yang jarinya masih menyentuh garis senyumku. Tapi, tatapan lelaki yang sorotnya terasa begitu berbeda, membuat bibirku makin rapat dengan senyum yang memudar. Karena aku yang melihat sorot macam apa yang sedang mataku tunjukkan dalam pantulan kaca di belakang tubuh mas Rendra, rasanya sadar, 'seberapa kesepiannya sorot mataku saat ini.' Bahkan, cahaya lampu dari pigeot yang melewati kendaan kami tidak mampu menyamarkan tatapanku. Namun, "aku jadi kangen rumah saja, Mas." Jawabku, "ini kali pertama aku jauh dari bapak dan ibu." Aku yang melihat sorot mas Rendra ingin mencari kebenaran dalam kalimatku, rasanya ingin berpaling. Tapi, akan semencurigakan apa jika hal itu kulakukan? Saat aku sadar, aku harus meyakinkan diri mas Rendra jika aku hanya sedang merindukan rumahku, merindukan bapak dan ibuku. Tidak lebih dari itu! "Maaf membuatmu khawatir padaku, Mas." Dan kalimatku membuat ujung jari mas Ren
Send: Eyang, saya keluar sebentar. Aku yang tangannya sudah memegang kunci, menatap kamar pemilik rumah yang pasti sudah lelap mengingat ini lewat tengah malam. "Saya pergi dulu, Eyang." Pamitku pada telinga yang tidak mungkin mendengar, lalu masuk ke dalam Honda Civic yang membelah jalanan malam setelah melewati area perumahan yang pagar-pagarnya tinggi menjulang. "Hati-hati, Neng Runi." "Terimakasih Pak Bowo." Hanya itu kalimatku pada satpam yang tidak pernah bertanya akan kemana diriku malam-malam begini. Dengan kecepatan di atas rata-rata, aku menyalip kendaraan yang ada di depanku. Tidak perduli yang beroda dua ataupun empat. Mobilku yang tidak bisa dikatakan besar, derunya menggema dalam jalanan lengang meski gerimis turun. Bahkan, rasanya aku merutuk untuk tiap lampu merah! Sampai mobil yang ku kendarai seperti orang tak beradab, memasuki kawasan yang tempat parkirnya penuh sesak meski sudah lewat tengah malam. Begitu turun dari mobil alunan musik yang menggetarkan pavi
Angin dingin menyambutku begitu keluar gedung yang ternyata hangat. Sementara langit malam yang mendung, menambah kemuraman dengan gerimis halus yang mudahnya terbang dibawa angin. Ping : Terimakasih, Mbak Runi. Kalau butuh informasi lagi tentang Joe, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Barisan chat dari waitres yang sengaja menubrukkan badannya padaku tadi, masuk Bersama bunyi pintu mobil yang kututup. Aku yang rasanya tidak akan lagi meminta bantuannya di masa depan, tetap membalas "ya" pun, membubuhi emotikon senyum meski mulutku rapat terkatup. Ping : senang berkenalan dengan anda, Mbak Runi. Aku tidak ingin menebak adakah kejujuran dalam kalimat waitres yang begitu pandai berakting agar kamara yang menyorot kami, tidak melihat ucapkan macam apa yang ia katakan padaku. Ping: jika butuh bantuan lagi saya akan senang membantu. Karena aku sadar, aku hanya orang kesekian yang meminta bantuannya untuk sebuah informasi dengan imbalan beberapa lembar rupiah. Send : terimakasih
"Aye gorengan aje, Pak, pake uangnya Runi juga." Nora mengerling padaku. Sementara pak Salim mencatat pesanan kami."Nasi rendang, coklat sama gorengan," ulang Pak Salim menatap catatan di bukunya pada kami yang mengangguk."Terimakasih, Pak." Sementara ucapan itu kami katakan serempak pada lelaki yang kumis tebalnya sudah bercampur uban."Untung ye?""Apanya?""Pak Salim-lah, Cowok kemayu," jawab Nora. "Ongkos jalan tiap orang ngasih minimal goceng dikali 10 orang bisa jadi bisnis sendiri, tuh.""Jangan salah lo!" Balas Toro yang suaranya agak meninggi lalu menatap arah pak Salim pergi."Asal Lo tahu ya, Mpok, ada orang tega yang cuman ngasih ucapan makasih doang."Ucapan Toro membuat dahi Nora berkerut."Apalagi kalo sekelompok kayak kita gini. Dipikir, jalan ke sana ke sini gak capek apa? kadang disuruh pake uangnya dulu lagi. Iya kalo orangnya bayar, kadang pura-pura lupa dan baru bayar kalo ditagih. Itupun kalo orangnya mau bayar, kalo gak? Tekorlah pak Salim. Uang gak dapet, cap