Seratus tiga puluh hari setelah Ayah pergi, Ibu menghadirkan lelaki lain di rumah ini. Pernikahan kedua yang menyakiti hati kami. Dalam semalam saja, Dia berubah, dari Ibu paling sempurna menjadi Ibu yang pantas dibenci. Tapi ternyata, ada sebuah rahasia yang tak pernah kutahu. Kubiarkan Ibu pergi, setelah menorehkan luka terdalam di hatiku dan Kiara, adikku yang masih terlalu kecil untuk mengerti. aku harus kuat, berdiri di atas kakiku sendiri, juga menjadi penopang bagi Kaki Tiara. segala rintangan itu akan ku singkirkan meski harus berdarah-darah. aku Keysha, usiaku tujuh belas tahun. Dan inilah kisahku
View MorePERNIKAHAN KEDUA 1
"Malam ini, bawa Kiara tidur bersamamu, dan jangan ganggu Ibu."Aku tertegun sejenak. Kutatap lagi wanita cantik bergelar Ibu itu. Masih ada sisa-sisa riasan bekas akad nikah yang dilaksanakan pagi tadi. Ya, Ibu baru saja menikah lagi, setelah tepat seratus tiga puluh hari Ayah pergi.Kiara memandangku, menatap tangannya yang kugenggam, lalu berakhir pada wajah Ibu. Masih kuingat bagaimana Ibu menepis tangannya tadi, saat adikku ingin ikut Ibu masuk kamarnya."Kau dengar kan Key? Sekarang, Ibu sudah punya suami. Tanggung jawab Ibu bukan hanya mengurus kalian.""Tapi Bu…""Key…" Ibu menghela nafas. Dia berjalan mendekat dan memegang kedua bahuku."Kita butuh penopang, butuh seseorang yang memberi kita nafkah. Kamu tahu? Ibu lelah sekali jika harus bekerja setiap hari. Setidaknya, sekarang ada yang memberi Ibu uang belanja. Jangan lupakan biaya sekolahmu, dan juga lima bulan lagi Kiara akan masuk TK."Aku menggigit bibir. Apa yang Ibu katakan benar, meski tak sepenuhnya persis begitu. Ayah baru saja pergi empat bulan lebih sepuluh hari. Ayahku meninggalkan tabungan yang cukup banyak. Selain itu, ada rekening khusus yang merupakan simpanan Ayah dan diperuntukkan untuk tabungan pendidikan bagiku dan Kiara. Seharusnya, semua itu cukup untuk kami hidup sederhana selama beberapa tahun ke depan. Namun sayangnya, Ibu tak terbiasa hidup sederhana.Ibu lalu menunduk, memandang Kiara, pada air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Seharian ini aku terus berusaha membujuknya agar tak mendekati Ibu. Usai akad nikah, saat semua tamu bergembira menikmati hidangan, aku membawa Kiara ke dalam kamar, memeluk dan berusaha menghentikan tangisnya, sementara air mataku sendiri tak mau berhenti mengalir.Haruskah secepat ini Bu? Kami baru kehilangan Ayah. Dan kini, harus kehilangan Ibu juga."Ara, mulai sekarang, tidurlah dengan Kak Keysha. Ara sudah besar, sudah harus tidur terpisah dari Ibu. Kau dengar?"Bibir Kiara bergetar-getar. Aku tahu dia berusaha menahan tangis agar tak meledak keluar. Tapi air mata itu telah mewakili rasa sedih dalam dadanya. Dua bulan lagi usianya baru akan lima tahun. Dia masih butuh bermanja.Merasa tak mendapat jawaban, Ibu lalu melangkah menuju kamarnya. Kupeluk Kiara erat-erat, menahan tubuhnya yang hendak mengikuti Ibu. Dan ketika pintu kamar itu tertutup di depan kami, tangisku tak terbendung lagi.Mungkin, memang harus secepat ini. Mungkin, setelah kehilangan Ayah untuk selamanya, kami harus pula bersiap kehilangan Ibu juga.***Aku terbangun mendengar suara tangis Kiara. Penerangan kamar yang remang-remang membuatku harus menyesuaikan penglihatan lebih dulu. Di sampingku, Kiara tidur memeluk guling menghadap tembok, matanya terpejam, tapi air mata itu deras membasahi pipi."Ara…" Aku menyentuh lengannya. Tangisnya makin menjadi. Kini dia terisak sementara punggungnya bergetar-getar. Kemarin, Ara masih tidur dengan Ibu. Berkali-kali Ibu bilang untuk pindah tidur ke kamarku, tapi rupanya dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Malam tadi, ketika pintu kamar Ibu tertutup, Kiara tak mau beranjak, dia duduk di sofa depan kamar Ibu sampai akhirnya tertidur dan aku menggendongnya ke dalam kamar."Ara mau tidur sama Ibu." Dia merengek."Nggak boleh Dek. Sekarang di kamar Ibu sudah ada… Om… Om Yudha." Suaraku ragu."Tapi kenapa nggak boleh? Dulu waktu sama Ayah, Ara boleh tidur sama Ibu."Bagaimana caraku menjelaskan? Bahwa lelaki yang ada di kamar sebelah itu, hanya suami bagi Ibu, dan selamanya tak mungkin jadi Ayah kami. Karena di hari pertama saja, dia telah merenggut Ibu dari adikku.Akhirnya aku hanya mengusap-usap kepala Kiara, tak mampu berkata apa-apa. Aku baru enam belas tahun, tapi mungkin, akan segera menjadi Ibu bagi adikku."Ara mau susu dot?"Kiara mengangguk. Aku terpaksa menawarinya dot lagi meski Ibu sudah melarang. Aku tak tahu cara membujuknya. Ku suruh Kiara menunggu sementara aku bersijingkat ke dapur hendak membuat susu. Melintasi kamar Ibu, suara-suara aneh terdengar, membuatku berdebar. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi yang jelas itu bukan sesuatu yang boleh kulihat.Mengapa rumah ini sekarang terasa berbeda? Kemana perginya rasa damai yang dulu diciptakan Ayah untuk kami?"Key?"Aku menoleh, menatap Ibu yang baru masuk ke dapur. Aku menunduk, merasa malu melihat daster Ibu yang terbuka kancingnya, memperlihatkan kulit leher dan dada Ibu yang putih. Belum lagi pendeknya sampai nyaris ke pangkal paha. Kenapa Ibu harus memakai baju seperti itu?Kuteruskan mengguncang botol susu. Mata Ibu memperhatikan gerakanku."Kenapa bikin susu lagi? Kan Ibu bilang…""Ara nangis semalaman. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi membujuknya."Ibu mendesah."Sekali ini saja. Besok nggak boleh lagi. Biasakan Ara minum susu dengan gelas. Nanti pelan-pelan, hentikan susunya. Dia sudah besar."Aku mengangguk, lalu berjalan ke depan, menuju kamar. Tepat di depan kamar Ibu, pintu terbuka dan lelaki itu muncul. Dia bertelanjang dada dan memandangku lekat. Aku langsung berlari masuk dan menutup pintu kamar. Tatapan mata itu, entah mengapa membuatku takut.Di kamar, Ara masih menunggu. Dia langsung menyambut botol dot dari tanganku. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega saat susunya habis dan Ara kembali terlelap. Kupandangi wajah mungil itu, membayangkan hari-hari yang akan kami lalui di depan sana. Entah mengapa, tapi firasat ku mengatakan bahwa ini tak akan mudah bagi kami.***Tidak ada sarapan tersedia. Tak seperti hari-hari kemarin saat Ayah masih ada, atau bahkan setelah Ayah pergi. Kemarin sehari sebelum akad nikah, Ibu bahkan masih membuat nasi goreng untukku.Aku bergegas membuat susu dalam gelas untuk Ara, memanaskan sisa makanan pesta kemarin dan sarapan dalam diam. Di hadapanku, Ara cemberut memandangi gelasnya."Ara minumlah. Kakak mau berangkat sekolah."Ara menggeleng. Bibirnya berkedut, siap menangis lagi."Ara mau apa?""Mau Ibu."Aku mendesah dengan putus asa. Bagaimana aku bisa meninggalkannya di rumah sendirian? Sementara sejak tadi Ibu dan Lelaki itu sudah menghilang."Sebentar lagi Ibu pulang. Minumlah dulu. Nanti Ibu marah."Baru selesai aku bicara, suara Ibu dan suami barunya terdengar bercakap-cakap sambil memasuki rumah. Di depan meja makan, mereka berhenti. Aku menundukkan kepala, tak mau memandang tangan Ibu yang lekat menggandeng lengan lelaki itu. Rasanya seperti, seseorang merenggut jantungmu dengan paksa. Sakit."Mau sekolah?"Aku mengangguk.Ibu melirik suaminya sebentar. Kulihat itu dari sudut mata."Berangkatlah. Tapi bersiaplah mencari kerja setelah lulus nanti. Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu."Aku mendongak, tak percaya pada pendengaranku sendiri. Aku tahu selain uang pribadi di rekening yang ditinggalkan Ayah, Ayah juga punya tabungan pendidikan untukku dan Kiara."Tapi kata Ayah, aku bisa kuliah sampai lulus. Ayah sudah menyiapkan dananya."Wajah Ibu mengernyit, membuatnya tak sedap dipandang. Ibu tampak begitu bahagia dengan pernikahannya sehingga dirinya tampak terlihat semakin cantik saja. Tapi wajah bahagia itu seketika berubah mendengar suaraku."Ayahmu sudah ma-ti. Dan yang perlu kau turuti sekarang hanya perkataan Ibu. Apa kau dengar itu?"***PERNIKAHAN KEDUA 62 (ENDING)Jam sepuluh malam, pesta telah sepenuhnya usai. Rumah lengang meski dekorasi taman belum dibongkar. Para ART, Kiara dan kedua anakku dibawa Tante Arumi ke rumahnya. Mereka semua ingin membiarkan kami hanya berdua malam ini karena aku menolak kamar pengantin di hotel. Aku ingin berada disini. Di tempat aku bertemu mereka berdua. Tempat aku memulai takdirku. Dengan bergandengan tangan, kami naik ke lantai atas. Kamar Diaz telah disulap Lea menjadi kamar pengantin yang indah. Begitu membuka pintunya, aroma wangi mawar langsung menerpa hidung. Membawaku pada kenangan tujuh belas tahun silam. Aku mengerjap, memaksa diriku untuk menyadari bahwa tangan yang kugenggam ini bukan tangannya. "Nggak apa-apa kan kita disini? Dibawah…"Diaz membungkam bibirku dengan jarinya. Kami berdiri berhadapan, dengan tatapan lembut di matanya. Kemarin, aku memang meminta untuk tidak menempati kamarku bersama Bang Zaid, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku merasa nyaman de
PERNIKAHAN KEDUA 61 Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zakia langsung berseru-seru memanggil Kiara. Kebetulan sekali hari ini Kiara pulang kuliah lebih awal. Adikku itu terkejut, berlari keluar dengan wajah tegang. Setelah banyak kejutan sepanjang hidupnya, dia sepertinya telah bersiap akan satu kejutan terakhir."Kia, ada apa?!" Suara Kiara panik.Tapi keponakannya itu malah melompat-lompat kegirangan. Perlahan, wajah Kiara mengendur."Oh, kamu dapat nilai terbaik? Lulusan terbaik?"Zakia mengangguk, masih melompat-lompat."Hemm… Alhamdulillah. Keponakan Tante kan memang pintar.""Ada lagi. Coba tebak!""Apa?"Aku tersenyum melihatnya. "Aku akan punya Papa! Yeaaayyy!"Mata Kiara melebar. Lalu dia menyadari bahwa aku dan Diaz berdiri mengawasi. Tatapan matanya menyorot, meminta penjelasan. Lalu, tangan Diaz yang menggenggamku-lah yang menjadi fokusnya. Kiara tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berlari menghambur dan memelukku erat-erat."Jadi?"Aku mengangguk.Kiara menar
PERNIKAHAN KEDUA 60 "Mama, sembuh dong. Besok kan hari perpisahan sekolah aku."Zakia sibuk mengusap dahiku dengan kompres. Aku tersenyum melihatnya. Sejak semalam, aku terserang demam. Badanku panas dan kepalaku pusing sekali. Aku tahu bahwa aku tak boleh sakit. Besok, akan ada perpisahan sekolah. Zakia akan lulus SD.Ya. Lima tahun lagi telah berlalu sejak kepergian Bang Zaid. Zakia kini berusia dua belas tahun dan akan segera lulus SD, sementara aku masih setia hidup dalam kenangan bersamanya. Setiap malam, aku tidur sendirian, memeluk sepi, dan dia selalu hadir dalam mimpi meski tanpa kuminta."Sayang, jangan siksa dirimu seperti ini. Menikahlah lagi. Aku ikhlas."Itulah mimpi yang sering datang. Dan di dalam mimpi, aku menangis. Tangis yang kemudian terasa hingga aku bangun. Bantalku yang basah oleh air mata menyadarkan bahwa mimpiku merasuk hingga ke dasar jiwa. Dan semalam, Tiba-tiba saja aku demam tinggi. Kiara sudah memanggilkan dokter dan kata dokter aku baik-baik saja dan
PERNIKAHAN KEDUA 59Muhammad Zaidan Adhyaksa. Nama itu akan terukir indah di sanubariku selamanya.Suamiku telah menepati janjinya. Penyakit itu tak mampu mengalahkan semangat hidupnya yang tinggi. Lima tahun setelah operasi, kami kembali hidup normal dan bahagia, tanpa pernah menyangka takdir menghampirinya sore itu. Aku tak akan pernah melupakan sore itu, tiga bulan yang lalu, Lea datang ke rumah dengan wajah sembab. Dia memintaku duduk, mengambilkan segelas air dan meminta Kiara membawa Zakia dan Zen ke dalam. Menatap wajahnya, hatiku berdebar kencang. Lebih dari dua puluh tahun lamanya kami bersahabat. Aku tahu dengan pasti kapan sesuatu yang serius terjadi."Le, ada apa?"Lea memelukku. Mengusap-usap punggungku, persis Bang Zaid."Kamu percaya takdir kan?" Suaranya bergetar.Aku mengangguk. Bagiku tak ada yang perlu diragukan dari ketetapan-Nya. Tapi, mendengar pertanyaannya, selarik perasaan gelisah menyambar hatiku dengan cepat. Lalu aku teringat bahwa Bang Zaid tidak di rumah
PERNIKAHAN KEDUA 58Untukmu, yang tengah bertarung melawan kerasnya hidup, dan kamu, yang sedang meniti takdir. Kamu hanya harus terus berjuang, bersabar, dan berdoa. Karena apa yang menjadi takdir Tuhan, hanya bisa diubah dengan doa. Aku tak pernah bersujud syukur selama ini sebelumnya. Setelah kecemasan selama empat jam terhapus sudah oleh kabar bahagia. Operasi berhasil dan kini tinggal menunggu keduanya sadarkan diri. Dari balik kaca ruang observasi, aku melihat keduanya terbaring berdampingan. Air mataku menetes dengan deras, menciptakan kabut yang mengaburkan pemandangan.Sungguh, kasih sayang seorang saudara kandung seharusnya tak perlu diragukan. Diaz yang bengal, yang selama ini kerap membuat masalah dan selalu menguras emosi Bang Zaid, telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanya tanpa pamrih."Aku tak suka melihatmu menangis Key. Cintamu pada Bang Zaid itu sungguh indah. Rasanya, bagai aku yang menjadi dia. Seperti aku yang merasakan dicintai olehmu. Maka, apa saja akan k
PERNIKAHAN KEDUA 57"Diaz!"Diaz menghentikan langkah. Dia berbalik dan mendapati Abangnya berusaha duduk dengan tegak. Jika biasanya Bang Zaid selalu menjadi penguatku, hari ini akulah yang menjadi penopangnya. Kurengkuh kedua bahunya, hingga dia bisa duduk dengan tegak."Abang sedang mencari donor. Abang tidak menerima donor darimu."Mata Diaz melebar. Dia kembali menghampiri ranjang dan menatap Abangnya lekat-lekat."Apa maksud Abang?""Kamu masih muda. Belum menikah dan jalan hidupmu masih panjang. Kamu tak boleh mengorbankan dirimu untuk Abang.""Jadi Abang merasa sudah tua? Dan kenapa memangnya kalau aku belum menikah? Mau sampai kapan menunggu donor yang belum tentu langsung cocok? Lalu bagaimana dengan Key dan keponakanku? Tidak, Bang. Aku pulang untuk Abang. Jangan mencegahku atau aku akan pergi dan tak akan kembali lagi."Tanpa menunggu jawaban Sang Abang, Diaz berjalan dengan langkah lebar. Bang Zaid menghela napas, meminta tanganku untuk digenggam. Aku menarik kursi dan du
PERNIKAHAN KEDUA 56Air mata yang meluncur tanpa kendali ini mengaburkan penglihatanku. Rasa perih bagai diremas-remas menguasai hati. Bang Zaid sengaja menyembunyikan penyakitnya dariku karena dia tak mau melihatku sedih. Dia menyimpannya sendiri. Sudah sejak kapan Bang Zaid sakit? Ya Allah, istri macam apa aku ini? Yang tak tahu bahwa suamiku sakit separah itu. Ya, aku tahu bahwa penyakitnya serius. Karena kini, Bang Zaid berjalan memasuki klinik hemodialisa.Adakah yang terlewat di mataku? Selain wajahnya yang sesekali pucat dan lemas, juga kebiasaannya pergi ke luar kota dua minggu sekali, tak ada yang aneh. Ya Allah, bukankah penyakit itu sakit sekali rasanya? Bagaimana dia bisa menahan semua itu dan bersikap biasa saja di depanku?Kuhapus air mata, meski rasanya sulit sekali untuk berhenti. Perlahan, aku mengikuti langkahnya yang tenang dan penuh percaya diri. Dia tak pernah kehilangan wibawanya meski dalam keadaan sakit. Langkahnya tetap setenang biasa. Dia tak tahu, bahwa aku
PERNIKAHAN KEDUA 55Lagu itu meresap ke dalam jiwa, mengobrak-abrik perasaanku hingga ke relung hati terdalam. Betapa banyak kematian memisahkanku dengan orang-orang yang kucintai. Apalagi ketika aku tahu bahwa yang menyanyikan lagu itu bukan Diaz, tapi Bang Zaid. Tentu saja, apa yang kupikirkan? Diaz jauh di London sana. Dia tak mungkin bisa muncul tiba-tiba.Sambil memeluk tanganku sendiri, meredam rasa gelisah, aku meneruskan langkah hingga ke balkon yang menghadap taman belakang. Pantas saja Bang Zaid tak mendengarku pulang. Di kursi malas yang biasa diduduki Diaz, dia duduk sambil memeluk gitar kesayangan adiknya itu. Aku tak menduga kalau dia juga pintar bermusik dan suaranya indah.Dari belakang, siluet dirinya duduk di situ saja sudah membuatku bergetar. Kenapa Bang Zaid harus menyanyikan lagu sepedih ini? Kemana dia pergi selama ini? Benarkah masalah kerjaan? Dan mengapa? Semakin hari, tubuhnya semakin kurus saja?Air mataku menetes bahkan sebelum aku sempat menyentuh bahuny
PERNIKAHAN KEDUA 54Aku memasukkan tiga stel baju Bang Zaid ke dalam travel bag, beberapa pakaian dalam, handuk dan peralatan mandinya. Sambil cemberut, ku masukkan juga charger ponselnya ke dalam kantong kecil di samping tas berwarna hitam itu."Hey, jangan cemberut. Abang hanya pergi dua hari saja."Aku mendongak."Kenapa akhir-akhir ini Abang sering sekali pergi ke luar kota? Aku kesepian, anakmu di dalam sini, selalu saja rewel kalau Abang nggak di rumah."Bang Zaid tertawa kecil, meraih tanganku dan melingkarkan nya di lehernya sendiri sementara dia memeluk pinggangku. Kami saling bertatapan dan aku tak bisa tak terpesona melihat ketampanan wajahnya."Hemm… yang rewel, anakku ataukah Ibunya?"Aku ikut tertawa, malu karena tebakannya yang jitu. Kami memang baru saja mendapat kabar gembira, kehamilan yang telah kami rencanakan sejak aku lulus kuliah tiga bulan lalu langsung dikabulkan oleh Allah. Usia kandunganku kini sepuluh minggu dan aku bersyukur tidak mengalami emesis berlebiha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments